GEOGRAFI INGATAN (28): Dari Buruh Pabrik Jadi Penulis Budaya Sunda
Seandainya tetap bertahan di pabrik, saya akan bernasib seperti kawan-kawan saya sekarang. Dengan sistem kerja outsourcing, nasib kawan-kawan jadi terkatung-katung.
Penulis Atep Kurnia15 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Entah sejak kapan saya menyelipkan selembar kuitansi di belakang buku agenda yang kedua. Apakah setelah hari pertama menerimanya pada tahun 2006? Atau sebelumnya sempat disimpan pada suatu tempat, lalu saya selipkan ke buku itu? Saya tidak ingat lagi persisnya.
Namun, yang pasti, pada kuitansi tersebut tertera fakta yang sangat penting bagi saya. Mengapa sangat penting? Karena itulah bukti satu-satunya tanda pengunduran diri saya dari pabrik tekstil tempat bekerja sejak 1998, selepas sekolah menengah atas.
Mari saya bagikan faktanya. Kuitansi yang beraksara hijau dan berlatar putih itu diberi titimangsa 25 Mei 2006. Di situ tertulis “Sudah terima dari PT. Filamenindo L” dan “Banyaknya uang dua juta sembilan ratus enam ribu tujuh ratus rupiah”. Disertai keterangan “Untuk pembayaran upah dan uang kebijaksanaan pengunduran diri Atep Kurnia, Bag. Sizing”. Penanda tangannya tidak terang. Namun, bila menilik gurat-gurat aksaranya sepertinya tanda tangan Bu Ida, dari bagian administrasi di pabrik.
Lima bulan sebelum titimangsa itu, saya bersama istri dan anak masih mengikuti acara yang diselenggarakan kawan-kawan di pabrik, yaitu liburan ke Dunia Fantasi di Jakarta. Kebetulan saya mencatatnya dalam buku agenda dengan titimangsa 3 Desember 2005. Di situ antara lain saya menulis begini: “Mun pareng, engke tanggal 31 Desember 2005, pamajikan, katilu budak rek ngadon indit ka Dufan (Ancol) – ngadon ulin. Tapi da lain sosoranganan, rombongan ieu mah. Ti pabrik. Mayarna Rp. 175.000/urang ...” (Bila sesuai rencana, nanti tanggal 31 Desember 2005, saya, istri, bertiga dengan anak akan pergi ke Dufan [Ancol] – hendak bermain. Tapi tidak sendirian, melainkan berombongan. Dari pabrik. Biayanya sebesar Rp. 175.000/orang ...).
Rencana itu memang mewujud. Karena saya menemukan buktinya dari rol film yang berisi foto-foto sebelum berangkat dan selama di Dufan. Dari rol film yang tidak sempat dicetak tetapi masih bisa dialih-mediakan ke format gambar (.jpeg) di daerah Wastukencana itu, saya jadi dapat melihat-lihat lagi potret-potret saya ketika di pabrik, mengenakan sergam kerja. Juga foto-foto sekeluarga ketika berliburan di Jakarta, saat anak sulung saya baru berumur sebelas bulan. O ya, bila disatukan dengan masa kerja sebagai pegawai harian lepas, saya bekerja di pabrik tekstil selama delapan tahun. Sementara sebagai karyawan tetap, sejak 26 April 1999, yang berarti saya bekerja di PT. Filamenindo Lestari Tekstil itu selama tujuh tahun lebih delapan bulan.
Sebenarnya, banyak kawan di pabrik yang menyayangkan keputusan saya untuk mengundurkan diri. Mereka menyarankan saya untuk tetap bertahan beberapa lama. Tapi saya bergeming, karena sudah mantap dengan keputusan yang saya ambil. Meski sebenarnya apa-apa yang disarankan kawan-kawan itu memang terbukti. Tidak lama setelah saya mengundurkan diri, terjadi PHK besar-besaran, sebagai imbas dari kebijakan outsourcing. Karena bukan pengunduran diri atas kemauan sendiri, kawan-kawan saya mendapatkan uang pesangon berkali-kali lipat daripada yang saya dapat.
Sudah dibilang, saya tetap bergeming dengan pilihan yang saya buat. Ada beberapa hal yang membuat saya demikian bersikeras. Pertama-tama adalah suasana kerja di pabrik yang terasa jadi demikian menekan. Paling tidak, demikianlah yang saya rasakan saat itu, sehingga tidak kuat untuk tetap bertahan. Suasananya jauh berbeda dengan keadaan beberapa tahun sebelumnya.
Baca Juga: Geografi Ingatan (24): Sajak dan Surat Penolakannya
Geografi Ingatan (25): Majalah Lokal Bilik dan Cupumanik
Tawaran Kerja di Penerbit Buku Sunda
Faktor lainnya yang menyebabkan saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari pabrik adalah tawaran kerja dari direktur penerbit Kiblat Buku Utama, Kang Rachmat Taufiq Hidayat (RTH).
Seingat saya, paling tidak sejak awal 2006, berkali-kali Kang RTH menawari saya untuk bekerja di penerbit yang dipimpinnya. Lama saya menimbang tawaran itu. Saya bincangkan juga dengan keluarga, terutama istri. Karena konsekuensinya, saya harus tinggal di Bandung dan baru akhir pekan bisa pulang kampung ke Cikancung. Apalagi harus pula meninggalkan anak semata wayang yang masih balita.
Setelah dipertimbangkan matang-matang, termasuk setelah diobrolkan dengan Kang Hawe Setiawan, saya sepakat menerima tawaran Kang RTH. Menjelang atau malah setelah saya memutuskan mengundurkan diri dari pabrik, saya menemui Kang RTH yang saat itu masih tinggal di daerah Citamiang, Cicadas. Tidak lama setelah bertemu, saya secara resmi menjadi karyawan PT. Kiblat Buku Utama.
Kapan saya mulai bekerja di Kiblat Buku Utama? Sayang sekali, dalam buku agenda saya tidak mencatat pertemuan dengan Kang RTH termasuk awal kerja di penerbit buku Sunda itu. Namun, untungnya dalam buku agenda ada jejak yang dapat dijadikan ancar-ancar awal kerja saya di Bandung itu. Pada 25 Juni 2006, saya mencatat pertemuan dengan Kang Apung S.W., ahli tembang Sunda cianjuran dan pengarang Sunda senior yang tinggal di daerah Banjaran, Kabupaten Bandung.
Di bagian awal tulisan, saya memberi keterangan demikian: “APUNG SW (srg RTH) 25/06/06, 09.00-11.45”. Keterangan tersebut tentu mengandung arti saya berangkat ke Banjaran bersama Kang RTH. Saya juga ingat persis, saya membonceng Kang RTH yang mengendarai motor ke rumah Kang Apung yang ada di pinggir jalan, dilingkungi persawahan luas. Keterangan itu mengandung arti sudah berjarak hampir sebulan setelah pengunduran diri dari pabrik. Sehingga dapat disimpulkan saya mulai bekerja di Kiblat Buku Utama pada awal Juni 2006. Barangkali persisnya pada 1 Juni 2006.
O ya, sekalian mengenang Kang Apung yang kini sudah almarhum, saya akan membagikan lagi beberapa catatan selama pertemuan itu. Karena agaknya selama Kang RTH dan Kang Apung berbincang, saya mencatat obrolannya. Saat itu Kiblat Buku Utama akan menerbitkan buku Kang Apung yang berisi dangding-dangding khusus yang berpautan dengan Bandung. Judulnya Lagu Liwung Urang Bandung.
Saya antara lain mencatat pengalaman Kang Apung. Katanya, dia adalah murid bungsu M.A. Salmun, di samping Wahyu Wibisana dan Saleh Danasasmita. Maksud murid bungsu itu adalah dalam hal mengarang dalam bahasa Sunda. Kebetulan saat itu, Kang Apung bekerja di majalah Sunda Sari, yang dikelola oleh M.A. Salmun.
Kang Apung merasakan tegas dan kerasnya didikan M.A. Salmun. Konon, suatu kali dia menulis cerita pendek berbahasa Sunda yang diberi judul “Ceurik Oma” (Tangisan Oma). Setelah selesai lalu diperlihatkan kepada sang guru. Bukannya mendapatkan pujian, Kang Apung mendapatkan dampratan. Cerpennya harus diperbaiki lagi dan lagi. Konon pula, saat disuruh M.A. Salmun untuk membedakan cerpen dan dongeng ternyata Kang Apung tidak bisa, naskah yang sedang dipegang gurunya itu dilemparkan.
Selain menyampaikan pengalaman belajar mengarang, saat berbincang Kang Apung banyak membahas ihwal tembang. Misalnya, tentang arti kata “rangecik” yang muncul dalam lirik cianjuran. Menurut Kang Apung, kata itu merujuk kepada amfibi yang besarnya di atas katak tetapi di bawah kodok (“luhureun bancet sahandapeun bangkong”). Kemudian anggapan tentang kecapi yang bersifat feminin, sementara perkakas maskulinnya menurut Kang Apung adalah suling. Sedangkan menurut etnomusikolog dari Belanda Wim van Zanten, bagian yang maskulin itu pemetiknya.
Itulah beberapa kutipan dari catatan saya selama bertemu dengan Kang Apung. Lalu apa kerja saya di Kiblat Buku Utama, sehingga diajak Kang RTH untuk menemui seniman dan pengarang senior itu? Untuk menjawabnya, saya akan menguraikannya minggu depan.
Sekarang, untuk memungkas tulisan ini, saya hendak menggarisbawahi bahwa keputusan yang saya ambil ketika mengundurkan diri dari pabrik ternyata dapat dibilang tepat. Seandainya tetap bertahan di pabrik, saya akan bernasib seperti kawan-kawan saya sekarang. Dengan sistem kerja outsourcing, nasib kawan-kawan jadi terkatung-katung, apalagi kini ditambah pandemi Covid-19.
Sementara saya boleh dibilang beruntung lebih memilih menulis sebagai jalan kehidupan. Tentu saja untuk itu saya mesti banyak bersyukur. Saya juga harus berterima kasih banyak atas saran dan bimbingan Kang Hawe Setiawan, demikian pula ajakan Kang RTH untuk bergabung di penerbit yang dipimpinnya.