• Cerita
  • Geografi Ingatan (25): Majalah Lokal Bilik dan Cupumanik

Geografi Ingatan (25): Majalah Lokal Bilik dan Cupumanik

Saya tergugah saat membaca keterangan penulis untuk tulisan itu: Pagawe pabrik tekstil di Cikancung; redaktur majalah lokal Cicalengka.

Majalah lokal Bilik yang hanya terbit satu edisi (belakang) dan edisi perdana majalah Cupumanik (depan). (Sumber: Atep Kurnia)

Penulis Atep Kurnia24 September 2021


BandungBergerak.idKantor Bilik, April 2003. Demikian yang saya tulis di bawah tiga sajak, sebagai titimangsa mentiknya. Sajak-sajak tersebut masing-masing berjudul “Lanskap”, “Hujan”, dan “Dunia Batas”. Ketiganya dapat dikatakan pendek, karena masing-masing terdiri atas 11, 5, dan 17 larik.

Namun, bila menilik masing-masing ujungnya, terbaca titimangsa 2002 sebagai masa penulisannya. Saya jadi curiga, apakah ketiga sajak tersebut sajak-sajak yang sama yang sempat saya kirimkan kepada salah satu di antara tiga koran? Kemungkinannya sangat terbuka, mengingat awalnya saya tulis dengan menggunakan mesin tik. Kemudian setelah ikut kursus komputer, saya tulis ulang dan simpan dalam disket.

Yang jelas, sepanjang ingatan saya, sajak-sajak itu merupakan buah pesona terhadap karya-karya Sapardi Djoko Damono yang penuh imaji, puitika Goenawan Mohamad yang demikian sarat enigma, dan A.G.S. Dwipayana tentang hal-hal keseharian yang remeh-temeh. Buku puisi dan kliping sajak ketiga penyair itu kerap saya bawa ke pabrik. Di waktu senggang, saya sering membaca dan mempelajarinya. Kadang-kadang malah sengaja ditulis ulang, agar dapat lebih memahami cara mereka menulis.

Lalu, Bilik itu apa? Kata Sunda bermakna anyaman bambu untuk dinding rumah itu merupakan nama majalah mungil berukuran A5 yang diterbitkan bulan Juni 2003 di Cicalengka. Saya termasuk di antara yang terlibat sedari awal persiapan penerbitannya. Bahkan Bilik pula media pertama yang mewadahi tulisan-tulisan saya, sekaligus jadi jalan bagi saya untuk menulis dalam majalah Sunda Cupumanik.

Oleh karena itu, dalam tulisan ini, saya hendak merekonstruksi prosesnya. Karena kecuali ketiga sajak di atas, satu-satunya edisi Bilik yang sempat terbit, Cupumanik edisi pertama, brosur Teater Kendan, dan satu catatan dalam agenda 2002, saya tidak dapat mengandalkan dokumentasi lainnya. Karena dalam buku agenda kedua, yang mulai saya isi sejak 15 April 2003, tidak ada catatan yang berkaitan dengan Bilik dan Cupumanik. Dengan demikian, saya mengandalkan ingatan untuk merekonstruksinya.

Majalah Lokal dari Cicalengka

Entah siapa yang mula-mula mengajak saya untuk turut bergabung mempersiapkan penerbitan majalah di Cicalengka. Besar kemungkinan M. Asep Sudrajat dan S.T. Wahyu Joko, dua kawan seangkatan di SMUN Cicalengka. Keduanya hanya berbeda kelas. Ketika mengajak saya, Asep yang selulus SMU kuliah di jurusan jurnalistik UIN Bandung dan sempat bekerja menjadi wartawan di Jakarta. Sementara Joko yang akrab disapa Bob Udjo sempat kuliah di jurusan teater STSI Bandung.

Saat itu, keduanya tengah aktif-aktifnya menyelenggarakan kegiatan sastra di Cicalengka. Di antara yang saya ingat dan ada dokumentasinya adalah mereka sempat menyelenggarakan pementasan drama karya Anton Checkhov, Pinangan. Acaranya dihelat Sabtu, 15 Februari 2003, di Gedung Pertemuan Rakyat Siliwangi Cicalengka atau Gedung Nasional. Grup teater yang mementaskannya adalah Teater Kendan yang didirikan Bob Udjo dan kawan-kawan. Setelah saya lihat lagi brosur pementasannya, ternyata yang menjadi penanggung jawab produksinya adalah M. Asep Sudrajat.

Setelah saya membuka-buka catatan tahun 2002, pementasan Pinangan itu bukan kali pertama saya menonton teater yang dihelat Teater Kendan. Sebab, pada catatan 20 Mei 2002, saya menulis pengalaman pertama kali menyaksikan pagelaran drama. Dalam buku agenda, saya menulis begini:

“Pertama kali menonton teater. Judulnya BSH – Barisan Sakit Hati, dimainkan oleh Komunitas Teater Kendan di Gedung Nasional, Cicalengka. Nonton bareng sohibku, Hendarto”.

Barangkali pementasan 15 Februari 2003 itu kali kedua saya menyaksikan aksi teatrikal Teater Kendan, setelah beberapa bulan sebelumnya di gedung yang sama mementaskan BSH. Bedanya, bila Mei 2002 belum terbetik gagasan untuk menerbitkan majalah, sementara Februari 2003 mulai ada gelagatnya ke arah sana.

Baca Juga: Geografi Ingatan (24): Sajak dan Surat Penolakannya
Geografi Ingatan (23): Anggota Klub Buku Girimukti
Geografi Ingatan (22): Langganan Majalah Horison dan Kursus Komputer
Geografi Ingatan (21): Mencatat Buku yang Sempat Dibaca
Geografi Ingatan (20): Demi Bacaan, Berkirim Surat ke Inggris dan Kuwait

Karena yang saya ingat juga, saat pementasan Pinangan, saya dikenalkan oleh Bob Udjo kepada pegiat literasi dan teater mendiang Kang Agus Sopandi, yang nantinya menjadi pendukung pertama saya agar terus membaca dan menulis. Dari koleksi pribadinya, saya kerap meminjam buku-buku dan majalah sastra, termasuk buku Catatan Pinggir Goenawan Mohamad, bundel Horison edisi lama, dan lain-lain.

Ya, nampaknya pada Februari 2003, gagasan penerbitan majalah di Cicalengka sudah mulai ada. Oleh Asep dan Bob, saya dikenalkan kepada kawan-kawan senior di SMUN Cicalengka, yang punya niat yang sama. Saya dibawa ke sebuah rumah di sekitar pasar Cicalengka. Beberapa meter sebelah timur bekas kantor Kewedanaan Cicalengka, terpisah selokan kecil yang mengalir dari selatan ke utara. Tepatnya di Jalan Dipati Ukur 4/41. Paviliun rumah milik keluarga Dadan Mutaqien inilah yang dijadikan kantor Bilik. Tempat saya dan kawan-kawan merumuskan dan memutuskan berbagai hal terkait penerbitan majalah.

Setelah berbagi tugas, saya diangkat menjadi salah seorang redakturnya, di samping Bob Udjo. Untuk edisi perdana itu, saya juga diminta membuat liputan. Dengan lugu, karena tidak punya pengalaman sebelumnya, saya membuat reportase seputar ojek di Cicalengka, dengan tajuk “Cicalengka, Kota Ojeg Nasional?” Selain itu, saya menulis cerita pendek yang pendek sekali, sehingga tepat bila disebut cerita mini, berjudul “Upal”, dengan menggunakan nama samaran Jaro Bantahan.

Satu lagi tulisan, yang tidak saya rencanakan sebelumnya untuk dimuat di Bilik adalah “Akub Sumarna: (Teu Weleh) Nyorang Mangsa ka Tukang” atau Akub Sumarna: (Senantiasa) Meninjau Masa Lalu. Meski sebenarnya baru setengah, tapi dimuat juga dalam Bilik. Barangkali perancang isinya mendapati ruang kosong, sehingga dia memutuskan memasukkan tulisan tersebut ke dalam majalah. Karena semua tulisan yang saya hasilkan, termasuk yang ditulis kawan-kawan lain, diketik pada satu-satunya komputer di kantor Bilik. Dengan demikian, semua file tulisan ada di komputer itu.        

Majalah Bilik terbit Juni 2003 atau sekitar dua bulan setelah saya turut mengetik ketiga sajak di atas. Dalam boks redaksi yang diberi tajuk “Di Balik Bilik” disajikan nama-nama orang yang terlibat. Di antaranya pemimpin umum M. Sofyan Assidiqi, pemimpin perusahaan Trirs Hendarsah, pemimpin redaksi M. Asep Sudrajat, redaktur pelaksana dan perancang grafis Yanyan NB Kaelani, redaksi S.T. Wahyu Joko dan Atep Kurnia, fotografer Dadan Mutaqien, karikatur Moch. Rizal F, iklan Agus Sudiana, dan sirkulasi Kiki Budiman. Penerbit majalah ini adalah Koperasi Tatali Wargi Jawa Barat.

Lalu, apa maksud penerbitan majalah ini? Pada “Dapur Redaksi” disebutkan: “Majalah Lokal Bilik terbit sebagai respons terhadap masyarakat Cicalengka. Bukan hanya penyajian fakta tetapi memberikan ruang dialog untuk masyarakat Cicalengka sebagai lalu lintas opini guna membantu pemerintah dan masyarakat Cicalengka agar mendapatkan informasi seputar daerah Cicalengka, mempertahankan ciri khas Cicalengka, dan menempatkan citra Cicalengka di benak masyarakat.”  

Itulah cita-cita Bilik. Meski akhirnya harus menghadapi kenyataan edisi perdana itu sekaligus menjadi edisi terakhirnya. Saya tidak tahu persis, apa penyebab tidak berlanjutnya penerbitan Bilik. Padahal untuk edisi keduanya, kami dari redaksi sudah berbuat maksimal. Di antaranya, M. Asep Sudrajat sebagai pemimpin redaksi mengajak saya berkunjung ke rumah Kang Hawe di Ledeng.

Majalah Sunda Kepanjangan Lalayang Girimukti

Suatu malam, setelah Bilik terbit, saya diajak Asep untuk mengunjungi Kang Hawe Setiawan di rumahnya. Asep tentu saja sudah mengenal Kang Hawe, lebih dulu dari saya, karena Kang Hawe sempat mengajar di jurusan jurnalistik UIN Bandung. Jadi, Asep adalah bekas mahasiswanya Kang Hawe.

Maksud kedatangan kami ke Ledeng adalah untuk menyerahkan Bilik, juga memohon kesediaan Kang Hawe untuk turut mengisi majalah yang kami kelola. Malam itu adalah perkenalan kembali saya dengan Kang Hawe oleh Asep, setelah sebelumnya membaca karya-karyanya yang dimuat dalam Mangle, Pikiran Rakyat, dan Lalayang Girimukti, melihatnya untuk pertama kali saat KIBS I dan pada pertemuan-pertemuan Panglawungan Girimukti di kantor Kiblat Buku Utama.

Pertemuan dengan Kang Hawe malam itu menjadi berkah tersendiri bagi saya. Karena beberapa lama setelah bertemu, Kang Hawe memberikan disket kecil berisi tulisan mengenai Cicalengka sebagaimana yang dibacanya dari buku bacaan anak-anak sekolah dasar, Taman Pamekar karya Sanusi dan Samsudi. Sayang, tulisan tersebut tidak sempat diterbitkan, karena Bilik-nya tidak lagi terbit. Saya sendiri, setelah malam itu, ditawari menulis untuk majalah yang akan diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama: Cupumanik.

Sebagaimana yang sudah diungkap sebelumnya, Cupumanik adalah kepanjangan tangan newsletter terbitan Kleub Buku Girimukti. Majalah bulanan berbahasa Sunda yang juga berukuran mungil itu mulai diterbitkan sejak Agustus 2003 atau dua bulan setelah Bilik terbit. Dalam boks redaksi edisi No. 1 Taun I Agustus 2003, antara lain tertulis pemimpin umumnya Rachmat Taufiq Hidayat, pemimpin redaksi Hawe Setiawan, dan dewan redaksi yang terdiri atas Hawe Setiawan, Rachmat Taufiq Hidayat, Purwanto, dan Ready Susanto.

Maksud penerbitan Cupumanik terbaca dari rubrik “Dur Panjak” sebagai tajuk rencananya. Pada paragraf pertama editorial yang diberi judul “Pancakaki” terbaca, “Bisi disaha-saha, rek pancakaki heula. Ieu majalah Cupumanik miang tina kahayang nu geus lila ngancik. Lain kahayang si itu atawa si eta, tapi sasatna kahayang balarea, babakuna urang Sunda. Kapan cenah ge basa katut budaya Sunda teh salawasna kudu hirup jeung huripna. Nya tangtu kudu aya lolongkrangna, geusan mageuhan tali mimitranana, paranti nepikeun hojahna”.

Bila saya terjemahkan, kira-kira berarti: “Sebagai pendatang, kami akan memperkenalkan diri terlebih dulu. Majalah Cupumanik ini berangkat dari kehendak sudah lama kami kandung. Bukan kemauan si A atau si B, tetapi kehendak umum, khususnya orang Sunda. Karena konon bahasa dan budaya Sunda selamanya harus tumbuh-mekar. Oleh karena itu, harus ada peluangnya, agar memperkuat jalinan kemitraannya, sebagai wahana untuk menyampaikan alasan keberadaannya”.

Untuk edisi perdana itu, saya ditawari oleh Kang Hawe menulis resensi buku Sunda Saija karya R.T.A. Sunarya. Barangkali tulisan tersebut juga saya ketik di kantor Bilik, lalu setelah disimpan dalam disket kecil, saya bawa ke Bandung. Setelah diperiksa oleh Kang Hawe dan diberi judul baru, jadilah tulisan saya yang berjudul “Nu Pateuh jeung Nu Teu Adeuh”. Barangkali inilah tulisan berbahasa Sunda saya yang pertama yang tersiar agak luas. 

Yang demikian membuat saya tergugah lagi adalah saat membaca keterangan penulis untuk tulisan itu: “Pagawe pabrik tekstil di Cikancung; redaktur majalah lokal Cicalengka Bilik” (buruh pabrik tekstil di Cikancung; redaktur majalah lokal Cicalengka Bilik). Saya tergugah karena kebaikan hati Kang Hawe untuk menyemangati agar saya terus belajar menulis. Untuk sementara, saya diarahkan untuk menulis resensi buku dan tulisan-tulisan bersifat ensiklopedis.

Dengan terus belajar di bawah bimbingan Kang Hawe, hingga Desember 2003, ada dua lagi tulisan saya yang dimuat dalam Cupumanik. Untuk No. 2 Taun I September 2003, saya menulis resensi buku Pengantar Sejarah Kesusastraan Jerman karya R. Sobri Hardjapamekas yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya. Tulisan yang dimuat dalam rubrik “Sempalan Cupumanik” itu diberi judul “Ngobet Kabeungharan Sastra Jerman” (menggali khazanah sastra Jerman).

Satu lagi dimuat dalam No. 5 Taun I Desember 2003. Kali itu saya membahas karya-karya Ki Umbara dan dimuat dalam rubrik “Lalayang Girimukti”. Judul tulisannya “Sastra Da’wah Ki Umbara”. Untuk keterangan penulisnya, disertai keterangan begini, “Atep Kurnia nganjrek di Cikancung, Kab. Bandung. Sapopoena digawe di pabrik tekstil. Resep maca buku, tur kalan-kalan macaan buku teh selang-selang tina ngurus mesin di pabrikna” (Atep Kurnia tinggal di Cikancung, Kab. Bandung. Sehari-hari bekerja di pabrik tekstil. Gemar membaca buku dan kadang-kadang membaca buku itu dilakukannya saat luang mengurusi mesin di pabrik).

Selain terus belajar menulis dalam bahasa Sunda, pergaulan dengan para penulis Sunda jadi bertambah luas. Dalam Cupumanik No. 5 Taun I Desember 2003 itu dimuat pula satu potret yang memperlihatkan para penulis Sunda yang turut serta dalam acara peringatan ulang tahun sastrawati Sunda Tini Kartini. Saya satu di antaranya. Saya ada diapit di sebelah kiri oleh Kang Teddi AN Muhtadin dan di sebelah kanan oleh Kang Hawe Setiawan. Selanjutnya ada Kang Dadan Sutisna, Kang Godi Suwarna, Kang Rosyid E. Abby, Kang Tedi Permadi, dan Kang Usman Supendi.

Yang juga membanggakan bagi saya adalah tulisan “Sastra Da’wah Ki Umbara” itu berbuah hadiah. Untuk penilaian Hadiah Sastra Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS) tahun 2003, tulisan itu dianugerahi juara ketiga kategori esai. Itu semua tentu saja berawal dari kantor Bilik di sekitar Pasar Cicalengka dan dipupuk oleh bimbingan Kang Hawe Setiawan. 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//