• Cerita
  • Geografi Ingatan (23): Anggota Klub Buku Girimukti

Geografi Ingatan (23): Anggota Klub Buku Girimukti

Klub Buku Girimukti menjadi pintu masuk ke kebudayaan Sunda. Di edisi pertamanya, Cupumanik yang merupakan metamorfosis Lalayang Girimukti, memuat karya penulis.

Lalayang Girimukti merupakan nawala yang diterbitkan oleh komunitas Klub Buku Girimukti. Hingga kini, penulis masih mengoleksi lima edisi Lalayang Girimukti, terbitan Januari 2002 hingga April 2003. (Sumber foto: Atep Kurnia)

Penulis Atep Kurnia10 September 2021


BandungBergerak.idSaya mengulangi catatan pada 23 Maret 2002. Di dalam buku agenda saya menulis demikian, “Balik gawe, jam sapuluh peuting, di imah kasampak majalah Horison edisi bulan Maret jeung surat ondangan ti Kleub Buku Girimukti. Memang mimiti bulan Maret nepi ka Juli, kuring langganan majalah Horison jeung jadi anggota KBG ti mimiti Februari.” (Sepulang kerja, pukul sepuluh malam, di rumah sudah ada majalah Horison edisi Maret dan surat undangan dari Klub Buku Girimukti. Memang sejak Maret hingga Juli, saya berlangganan Horison dan menjadi anggota KBG sejak Februari.)

Ihwal berlangganan majalah Horison, sekaligus belajar mengoperasikan komputer dengan ikut kursus, sudah saya tuliskan sebelumnya. Sekarang, saya akan membahas tentang Klub Buku Girimukti. Bagi saya pribadi, KBG adalah wahana penting bagi perkenalan, perluasan, dan pemahaman berbagai hal yang berkaitan buku dan kebudayaan Sunda. Pada beberapa hal tertentu, bahkan dapat dikatakan menjadi salah satu pintu masuknya.

Buku Sunda

Apa dan bagaimana Klub Buku Girimukti? Untuk menjawabnya, saya dapat melihat-lihat lagi newsletter yang diterbitkan oleh klub buku tersebut: Lalayang Girimukti (LG). Pada rubrik “Jaleuleu” dalam LG edisi ka-1, Tn-I/Januari 2002 (Hal. 8), terbaca bahwa “ieu organisasi teh minangka hiji wadah keur masarakat anu resep maca buku Sunda.” (Organisasi ini merupakan sebuah wadah bagi masyarakat yang gemar membaca buku Sunda.)

Adapun tujuan didirikannya KBG ada dua, yaitu demi meningkatnya minat dan daya apresiasi masyarakat terhadap buku Sunda dan hidup-berkembangnya penerbitan berbagai macam buku Sunda.

Klub Buku Girimukti menawarkan tiga keuntungan bila bergabung dalam klub tersebut. Anggotanya akan dikirimi newsletter LG setiap bulan, yang isinya di antaranya informasi mengenai buku Sunda. Anggotanya bisa memesan buku Sunda apa saja dan dari penerbit mana saja, pengurus KBG yang akan mengurus dan mengirimkannya. Dan anggota bisa mengikuti kegiatan Panglawungan Girimukti (PG) yang diselenggarakan sebulan sekali di Jalan Karawitan No. 46, Bandung.

Syarat-syaratnya? Syaratnya relatif ringan dan mudah. Calon anggota cukup membeli buku Sunda paling tidak 20.000 rupiah, di KBG atau Toko Buku Kiblat dan mengisi serta mengirimkan formulir disertai bon pembelian buku ke sekretariat KBG di Jalan Karawitan.

Para pengurus Klub Buku Girimukti terdiri atas pembina, antara lain Edi S. Ekadjati, H. Uu Rukmana, dan Erry Riyana Hardjapamekas. Selanjutnya ketuanya Rachmat Taufiq Hidayat, wakil ketuanya Tatang Sumarsono dan Ready Susanto. Di antara pengurus tersebut, Kang Hawe Setiawan yang mengepalai seksi hubungan masyarakat.

Kebiasaan ke Bandung untuk berbelanja buku, ditambah pengalaman mengikuti Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) 1 pada Agustus 2001, tentu saja menyebabkan saya lebih dekat ke arah wacana kesundaan. Kedekatan itu pasti di antaranya terbangun dari kunjungan-kunjungan ke Kiblat Buku Utama di Karawitan 46, untuk membeli buku-buku sastra dan sejarah, yang diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama, Girimukti Pasaka, dan Pustaka Jaya. Dapat dipastikan, pada salah satu kunjungan di bulan Februari 2002 itulah saya masuk menjadi anggota KBG.

Sebagaimana yang tertulis dalam Lalayang Girimukti di atas, setelah tercatat sebagai anggota KBG, saya mendapatkan layanan berupa LG yang setiap bulan rutin dikirim ke rumah. Kiriman-kiriman dari pengurus KBG itu sekarang masih saya simpan. Paling tidak, hingga sekarang saya masih mengoleksi LG sebanyak lima edisi, yakni edisi pertama (Januari 2002), kedua (Februari 2002), kelima (Agustus-Oktober 2002), keenam (November-Desember 2002), dan edisi ketujuh (Januari-April 2003).

Diskusi Buku

            Selain dikirimi Lalayang Girimukti, saya juga mendapatkan undangan untuk mengikuti acara diskusi buku yang diselenggarakan KBG melalui PG. Bila melihat lagi edisi pertama LG di atas, ternyata KBG, LG, dan PG semuanya merupakan “Bagian tina Lajuning Laku KIBS” (bagian dari tindak lanjut KIBS).

Itu sebabnya, dalam pengantar edisi pertama LG, Kang Hawe menyatakan: “Kapan sarerea ge apal KIBS teh geus mere rekomendasi anu sakitu imeutna. Eta rekomendasi teh dina seuhseuhanana mah mangrupa agenda budaya pikeun miara sarta mekarkeun deui budaya Sunda dina lawang saketeng abad ka-21 ieu” (Kan semua orang mafhum, KIBS sudah memberi rekomendasi yang demikian teliti. Rekomendasi tersebut pada dasarnya merupakan agenda budaya untuk memelihara dan mengembangkan lagi budaya Sunda pada pintu abad ke-21).

Dalam kerangka tersebut, dia mengatakan bahwa di samping melakukan lagi pelbagai upaya konkrit terkait pemeliharaan dan pengembangan budaya Sunda, sebaiknya tidak bosan pula mendiskusikan hal-ihwal yang berkaitan dengan kebudayaan Sunda. Itulah gagasan yang mendasari eksistensi PG.

Kang Hawe menerangkan ihwal nama tersebut sebagai berikut: “Dingaranan Panglawungan Girimukti, dumasar kana kereteg hate sarta pamadegan nu jadi tatapakanana. Sok sanajan tempatna mah heureut, tapi anu jadi angkeuhanana mah lega: hayang nepunglawungkeun sing saha bae nu miboga karep ngolah budaya, babakuna budaya Sunda” (Disebut PG karena berdasarkan kepada kehendak hati dan prinsip yang menjadi dasarnya. Meskipun tempatnya sempit, tapi yang menjadi cita-citanya luas: hendak mempertemukan siapapun yang memiliki kehendak untuk mengolah budaya, terutama budaya Sunda).

Dalam buku agenda, saya mencatat dua kali pengalaman ikut acara di PG. Catatan pertama malah agak mencengangkan, karena di situ, saya mencatat pengalaman pertama kali mengikuti peluncuran buku. Pada 29 April 2002 itu, saya merekam demikian: “Untuk pertama kalinya mengikuti acara ‘launching’ [peluncuran] buku baru, yaitu buku Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch karya Dinar Rahayu di Panglawungan Girimukti.”

Catatan kedua pada Senin, 29 Juli 2002. Di dalam buku agenda tertulis begini: “Ari poe ieu, kuring ngahaja cuti sapoe, pikeun ngilu ngareuah-reuah acara bedah buku di Kleub Buku Girimukti, sabab kuring jadi salah sahiji anggotana. Nu bakal dibahas teh nyaeta ngeunaan wayang golek ‘ditinjau’ tina jihat estetika” (Untuk hari ini, saya sengaja mengambil cuti sehari, untuk turut memeriahkan acara bedah buku di KBG, sebab saya menjadi salah satu anggotanya. Yang akan dibahas yaitu mengenai wayang golek ditinjau dari perspektif estetika).

Baca Juga: Geografi Ingatan (22): Langganan Majalah Horison dan Kursus Komputer
Geografi Ingatan (21): Mencatat Buku yang Sempat Dibaca
Geografi Ingatan (20): Demi Bacaan, Berkirim Surat ke Inggris dan Kuwait

Pintu Masuk

Klub Buku Girimukti bisa dikatakan menjadi salah satu pintu masuk saya ke dalam kebudayaan Sunda karena LG berubah menjadi majalah Cupumanik pada Agustus 2003. Ihwal perubahan tersebut dapat disimak dalam pengantar redaksi Cupumanik edisi pertama itu.

Di situ antara lain tertulis: “Ais pangampih ieu majalah saméméhna kungsi medalkeun Lalayang Girimukti (LG). Medalna dua bulan sakali, sok dibagi-bagikeun ka balaréa nu mikaresep buku-buku Sunda, babakuna anggota Keleup Buku Girimukti (Redaksi majalah ini sebelumnya sempat menerbitkan LG. Terbitnya dua bulan sekali, biasanya dibagikan kepada khalayak yang menggemari buku-buku Sunda, terutama anggota KBG).

Setelah LG terbit selama setahun, menurut redaksi, ada gagasan memperluas ruangan dan isinya. Karena di samping dunia pustaka Sunda, konon, masih banyak yang belum terwadahi, termasuk potensi kesundaan dalam bidang sastranya.

Oleh karena itulah, “Nya jorojoy wé hayang medalkeun Cupumanik minangka hasil tina kamekaran lalayang téa. Demi “Lalayang Girimukti” jadi salah sahiji rohangan dina ieu majalah” (Terbetiklah gagasan untuk menerbitkan Cupumanik sebagai hasil dari perkembangan LG. Sementara “Lalayang Girimukti” menjadi salah satu rubrik dalam majalah ini).

Klub Buku Girimukti juga bisa dikatakan sebagai salah satu pintu masuk saya ke dalam kebudayaan Sunda karena hasil metamorfosis LG, yakni Cupumanik, memuat tulisan saya pada edisi pertamanya. Itulah yang menandai awal karier saya sebagai penulis dalam bahasa Sunda. Namun, bagaimana prosesnya sehingga dapat menulis untuk Cupumanik, saya akan menuliskannya untuk Anda minggu depan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//