Geografi Ingatan (21): Mencatat Buku yang Sempat Dibaca
Bila direnungkan sekarang, buku-buku yang terbaca pada masa dua dasawarsa lewat itu berkontribusi besar pada pembentukan kesadaran dalam diri saya.
Penulis Atep Kurnia27 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Ada masanya saya rajin mencatat buku-buku yang sempat terbaca. Saksi bisu kebiasaan menuliskan waktu mulai dan selesai bacanya adalah buku agenda. Buku tersebut memang difungsikan sebagai wahana untuk merekam kegiatan sehari-hari saya selama bekerja di pabrik. Bahkan, banyak di antaranya yang dibuat saat memantau mesin yang berpusing-pusing.
Buku-buku apa saja yang saya baca waktu itu? Mari kita telusuri saja buku agenda. Setelah dibuka-buka, ternyata dalam buku catatan antara 1998-2002 itu, rekaman kronologi buku-buku terbaca itu ada sejak 2001. Sebagai kelanjutan minat besar pada sastra yang terpupuk sejak bergelut di perpustakaan SMUN Cicalengka, kebanyakan buku yang saya nikmati selama bekerja di pabrik berupa novel, drama, cerpen, sejarah, dan kajian sastra. Dalam bahasa Indonesia maupun Sunda.
Dari Taras Boulba hingga Gadis Pantai
Dua judul pertama yang tercatat adalah Taras Boulba karya Nikolai Gogol dan Faust karangan Goethe. Novel Gogol saya baca pada 21 April 2001, selesai pukul 08.00. Sementara drama Goethe mulai dibaca pada 30 April 2001 pukul 23.00 dan selesai pada 4 Mei 2001.
Antara 13-24 Juni 2001, saya membaca Syakuntala karya Kalidasa, Sanyasi karangan Rabindranath Tagore, Pintu Tertutup karya Sartre, Baruang ka nu Ngarora buah cipta D.K. Ardiwinata, Kalepatan Putra Dosana Ibu Rama karya Joehana, dan Mundinglaya di Kusumah: Carita Pantun Sunda yang diusahakan Ajip Rosidi. Karya Kalidasa dan Sartre dinikmati di pabrik, karena di ujung keterangan saya tulis FL, inisial dari Filamenindo, pabrik tempat kerja.
Selain itu, sejak Taras Boulba hingga Mundinglaya saya kasih nomor dari 1 hingga 8. Ini berarti antara 21 April-24 Juni 2001, saya membaca 8 judul buku.
Ayo kita telusuri lagi. Selama 2-28 Juli 2001, ada 15 judul yang terbaca. Saya membaca Kuil Kencana karya Yukio Mishima, Lutung Kasarung karangan Sayudi, Jiwa-jiwa Mati ciptaan Nikolai Gogol (dengan keterangan ‘selesai dibaca jam 03.20, 8 Juli 2001, 3 hari berturut-turut, shift malam dan di rumah), Senandung Ombak karya Yukio Mishima, Wawacan Panji Wulung karangan R. H. Moehamad Moesa, Ngawadalkeun Nyawa ciptaan Moh. Ambri, Carios Raden Ustama karya R. Ardiwinata, dan lain-lain.
Satu buku terbaca dari ujung Juli hingga awal Agustus 2001, yaitu Sebatang Kara karya Hector Malot. Buku ini mulai dibaca pada 31 Juli 2001 dan selesai pada 4 Agustus 2001 pukul 10.05. Lumayan lama, karena bukunya tebal dan barangkali waktunya tidak senggang.
Selanjutnya, antara 1-19 Agustus 2001, saya membaca 12 judul. Di antaranya Arjuna Wiwaha karangan Mpu Kanwa, Seni Mengarang karya Aoh K. Hadimadja, Petualangan Pinokio ciptaan Carlo Collodi, Wirahma Sajak karya Abdullah Mustappa, Daerah Salju karangan Yasunari Kawabata, Rahasia Hati karya Natsume Soseki, serta Kawan Bertikai: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942) karya Karel Steenbrink.
Selama sisa Agustus hingga pertengahan Oktober 2001, saya tidak membuat catatan. Selama itu saya tidak membaca buku? Bila melihat kecenderungannya, bisa jadi saya tetap membaca, tetapi abai mencatatnya sehingga catatannya baru ada pada 16 Oktober 2001, ketika merampungkan Para Priyayi karangan Umar Kayam.
Setelah Para Priyayi, saya menuliskan judul antara lain Memuja Siluman karya Moh. Ambri, Sosok Seorang Pejuang karya Chinua Achebe, Memoar Seorang Dokter Perempuan karya Nawaal El-Saadawi, Segalanya Berantakan karya Chinua Achebe, Fontamara karya Ignazio Silone, Catatan Harian Seorang Gila karya Lu Xun, dan Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi yang saya baca pada 7-8 November 2001, dari pukul 22.20 hingga 06.37.
Lama tidak menuliskan judul buku yang tamat dibaca. Catatannya baru muncul pada 22 Februari 2002, saat saya menamatkan Ziarah karya Iwan Simatupang. Kemudian Sri Sumarah karangan Umar Kayam pada 24 April 2002, Diwadalkeun Nyawa karya Ki Umbara pada 25 April 2002, Cerita Horor Edgar Allan Poe, serta Larung buah karya Ayu Utami pada 28 April 2002.
Dua minggu lebih selanjutnya, pada 18 Mei 2002, saya mencatat telah menamatkan Desa Kita karya Thornton Wilder. Lalu Wisanggeni karangan Seno Gumira Ajidarma (18-19 Mei 2002) dan cerpen-cerpen antara lain “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”, “Pekan Ikan Paus”, “Suatu Malam Bersama Bunda”, karya Umar Kayam.
Karangan Goethe lainnya, Ifigenia di Semenanjung Tauris, tamat pada 3 Juni 2002. Dalam catatan bertitimangsa 9 Juni 2002, saya antara lain menulis begini: “Selama seminggu ini, terhitung hari Minggu malam [shift malam pertama] sampai dengan Jumat malam dan Sabtu pagi, aku menyelesaikan membaca 4 novel berturut-turut”. Novel-novel tersebut adalah Ifigenia (agaknya baru selesai), Tuan Izrail karangan Yusuf As-Siba’i, Siddharta karya Herman Hesse, dan Kantapura karya Raja Rao.
Saya dapat mencatat lagi buku yang rampung dibaca sebulan kemudian, yaitu Antara Ayah dan Anak karya Ivan Turgenev, pada pukul 00.45, 29 Juli 2002, di rumah. Sementara buku terakhir yang tercatat dalam buku agenda adalah Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Buku tersebut mulai saya baca antara pukul 06.30 hingga 12.30 dan ditamatkan antara pukul 19.00-19.45, 27 Agustus 2002.
Lagi-lagi, apakah sesudah Gadis Pantai saya tidak membaca lagi buku? Saya masih terus membaca. Namun, karena barangkali tidak sempat lagi mencatat, kronologinya tidak dapat disaksikan dalam buku agenda.
Baca Juga: Geografi Ingatan (20): Demi Bacaan, Berkirim Surat ke Inggris dan Kuwait
Geografi Ingatan (19): Mengikuti Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS)
Geografi Ingatan (18): Kuliah yang Gagal
Meminjam dan Membeli
Lalu, dari mana buku-buku tersebut diperoleh? Sumbernya macam-macam. Ada pinjaman dari Perpustakaan Daerah Jawa Barat di Jalan Cikapundung dan Jalan Sukarno-Hatta, karena saya menjadi anggota pada keduanya. Ada juga yang saya pinjam dari Perpustakaan Umum Dinas Pendidikan & Kebudayaan Kotamadya Bandung di Jalan Ahmad Yani, seperti Sebatang Kara.
Buku-buku itu juga banyak yang saya beli saat ke Bandung. Seperti yang sudah ditulis sebelumnya, saya kerap berbelanja buku dan majalah di Palasari, Cikapundung, Palaguna, Cihapit, Pasar Cihaurgeulis, termasuk di showroom Penerbit Kiblat Buku Utama di Jalan Karawitan dan Toko Buku Gramedia di Jalan Merdeka.
Bahkan, ada buku-buku yang saya beli dari Shopping Centre, saat bersama kawan karib (alm.) Hendarto bermain ke pamannya yang tinggal di Gondomanan, Yogyakarta. Dari perjalanan pertama kali ke Yogyakarta berkereta api, antara 31 Mei-2 Juni 2002, itu saya membeli Siddharta, Kantapura, Antara Ayah dan Anak, dan lain-lain.
Saya juga beroleh bacaan dengan meminjam kepada kawan. Kebanyakan buku Pramoedya Ananta Toer dapat dibilang saya baca dari koleksi Yadi Mulyadi. Tetralogi Pulau Buru, Bukan Pasar Malam, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, termasuk Gadis Pantai, saya pinjam dari kawan karib sejak SMU itu. Menurut catatan dalam buku agenda, Gadis Pantai saya pinjam dari rumah Yadi di Babakan DKA, Cikuya, hari Minggu, 26 Agustus 2002.
Sastra dan Sunda
Bila direnungkan sekarang, buku-buku yang terbaca pada masa dua dasawarsa lewat itu berkontribusi besar pada pembentukan kesadaran dalam diri saya. Buku-buku itu menunjukkan minat saya terhadap kesusastraan, sehingga menentukan pandangan saya hingga sekarang tentang apa yang dikatakan orang dikotomi karya sastra dan populer. Saya cenderung lebih banyak membaca karya serius, ketimbang menikmati karya populer.
Kegemaran membaca buku Sunda ternyata membuka mata saya ke arah karier kepenulisan dan pergulatan dalam wacana kesundaan. Selain arahan yang saya terima dari Kang Hawe Setiawan, sebagai mentor, buku-buku tersebut menentukan pandangan saya terhadap bahasa dan budaya Sunda. Terbukti, dalam buku agenda, saya mulai menulis dalam bahasa ibu tersebut, jauh sebelum memulai karier sebagai penulis Sunda.
Bahkan hasil kegiatan membaca ini menjadi hasrat terpendam dalam alam bawah sadar. Bila membaca lagi judul-judul buku yang saya sebutkan di atas, banyak di antaranya berupa terjemahan dari bahasa asing, terutama Inggris. Ternyata berbagai terjemahan tersebut akhirnya mengendap dalam alam bawah sadar saya menjadi cita-cita untuk turut menjadi penerjemah dan melanjutkan kuliah ke jurusan sastra.
Atas kebaikan hati Kang Hawe Setiawan, saya dapat memulai menerjemahkan cerpen dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Sunda. Seperti belajar bersepeda, mula-mula saya tertatih-tatih dibantu Kang Hawe. Lama-lama setelah boleh dibilang lancar, saya dibiarkan dapat jalan sendiri. Bahkan saya kemudian memutuskan untuk memperdalam bahasa Inggris dengan masuk kuliah ke Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UIN Bandung pada tahun 2008.
Kiranya benar belaka yang dibilang Walter J. Ong, “writing restructures consciousness”. Dengan kata lain, buku-buku sekalian dengan proses membacanya merupakan hal dan aktivitas yang dapat membentuk dan mengubah kesadaran orang. Meski ungkapan Ong itu terkesan sangat deterministik, tetapi saya mengalaminya sendiri. Buku-buku yang saya baca terasa membentuk diri ini.