Geografi Ingatan (18): Kuliah yang Gagal
Namun sangkaan saya ihwal manajemen meleset, karena di jurusan tersebut juga ada mata kuliah yang berpautan dengan hitungan. Itulah akuntansi.
Penulis Atep Kurnia6 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Barangkali karena kehendak untuk melanjutkan pendidikan sudah tidak tertanggungkan, pada pertengahan tahun 2000, saya mencari-cari informasi seputar Universitas Terbuka (UT), lalu mendaftar di situ. Namun, di antara jurusan-jurusan yang ada di sana, tidak ada yang benar-benar sesuai dengan kehendak hati, yakni jurusan yang berkaitan dengan sastra. Akhirnya, dengan berat hati, saya memilih jurusan manajemen.
Barangkali karena kekurangan minat itulah, saya tidak mencatatnya secara rinci dalam buku agenda. Padahal biasanya, saya agak rajin menuliskan apa saja yang terlintas dalam kepala, apalagi pengalaman penting dalam kehidupan sehari-hari. Bila dipikir-pikir kini, agak aneh juga mengapa demikian.
Memang ada juga sebenarnya oret-oretan di dalam buku agenda, yang terkait dengan kegiatan kuliah itu, yaitu berupa daftar buku diktat yang harus saya beli untuk belajar di rumah. Namun di sana tidak tercantum titimangsanya, sehingga yang dapat saya lakukan adalah melihat catatan sebelum dan sesudah oretan-oretan tersebut ditambah melakukan beberapa perkiraan.
Menghindari Hitung-Menghitung dan Rumus
Alhasil, untuk merekonstruksi pengalaman kuliah di jurusan manajemen Universitas Terbuka itu saya harus mengandalkan ingatan yang serba terbatas ini. Termasuk menyangkut awal mula timbulnya gagasan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Sekarang saya berusaha lagi mencari-cari kemungkinannya. Salah satu kemungkinan yang agak besar peluangnya adalah karena sempat membaca pengumuman atau iklannya dalam salah satu surat kabar yang kerap saya beli secara ketengan, seperti Pikiran Rakyat, Republika, Kompas, dan lain-lain. Kemungkinan tersebut memang beralasan karena saya mendapatkan alamat persis universitasnya.
Yang terang, pada suatu hari di bulan Juni tahun 2000, saya pergi ke Jalan Raya Panyileukan, Kota Bandung. Barangkali saat itu, saya menggunakan bus Koperasi Bina Usaha Transport RI (Kobutri) jurusan Majalaya-Cicaheum, yang dapat saya cegat persis di mulut gang rumah saya. Setiba di Jalan Raya Panyileukan, saya bertanya-tanya kepada tukang becak yang mangkal di depan jalan. Namun, saya lupa lagi, apakah saya berjalan kaki menuju lokasi kampus UT atau naik becak yang sebelumnya saya tanya penariknya?
Di kampus itu, tentu saja saya bertanya-tanya kepada pegawai administrasi tentang syarat-syarat kuliah, jurusan-jurusan yang ada di situ, dan lain-lain. Setelah melihat-lihat kemungkinannya, saya berusaha memilih jurusan yang agak kurang banyak urusan berhitungnya. Terus terang saja, meski ketika di SMU saya dimasukkan ke jurusan IPA, sebenarnya saya tidak terlalu tertarik pada soal hitung-hitungan. Malah saya lebih cenderung banyak membaca buku yang termasuk rumpun humaniora, terutama kesusastraan.
Oleh sebab itu, di Universitas Terbuka, saya memutuskan memilih jurusan manajemen ketimbang jurusan ekonomi karena teringat, pastilah ekonomi sangat berkaitan dengan urusan hitung menghitung dan rumus-rumus. Namun sangkaan saya ihwal manajemen meleset, karena di jurusan tersebut juga ada mata kuliah yang berpautan dengan hitungan. Itulah akuntansi. Padahal ketika kelas dua SMU, saya sempat mendapatkan pengalaman tidak mengenakkan dengan pelajaran akuntansi. Lupa lagi persisnya, apa alasan dulu saya dikeluarkan ketika pelajaran akuntansi berlangsung. Barangkali karena mengerjakan tugas dengan tidak benar, asal-asalan, atau perhatian saya tidak tertuju kepada pelajaran tersebut.
Namun, mau tidak mau, ketika melihat dan membandingkan jurusan-jurusan yang ada di UT, saya memilih jurusan manajemen. Barangkali saat itu terpikir ada keuntungannya bila memilih jurusan tersebut, mengingat saya sedang bekerja di pabrik tekstil, dengan masuk ke jurusan manajemen dan akhirnya lulus, karier di pabrik jadi dapat meningkat. Tidak lagi harus berurusan dengan kerja berat sebagai operator mesin, melainkan dipromosikan ke bagian administrasi, yang erat kaitannya dengan membaca dan tulis-menulis.
Lagi-lagi saya lupa. Apakah setelah bertanya-tanya dan melihat-lihat jurusan di UT, saya mengurusi administrasinya sekalian atau baru pada kunjungan kedua ke kampus itu. Bila sebelumnya saya sudah mempersiapkan segalanya sejak awal, ada kemungkinan pada kunjungan pertama itulah saya lakukan semuanya, termasuk menentukan jumlah angka kredit yang akan diambil pada semester kesatu dan membeli diktat-diktat mata kuliahnya. Sungguh saya tidak ingat lagi.
Yang jelas, bila saya lihat lagi oretan-oretan yang saya tulis di buku agenda, saat itu saya mengambil 18 SKS untuk semester pertama. Saya mengambil mata kuliah yang dipersyaratkan untuk semester pertama, berupa mata kuliah wajib Pengantar Akuntansi 1 dan MKDU Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewiraan, Ilmu Budaya Dasar, dan Pendidikan Agama Islam. Selain itu, saya juga menuliskan untuk mata kuliah pada semester kedua, yakni Pengantar Ekonomi Makro, Ilmu Alamiah Dasar, dan Bahasa Indonesia. Pada catatan paling atas, saya menuliskan jadwal ujian semester pertama, yakni pada bulan Desember 2000 dan melingkari waktu-waktu ujiannya: 2). 08.45-10.15; 4). 12.45-14.15; dan 5). 14.30-16.00.
Namun, pada oretan-oretan halaman sebelahnya, saya juga mencatat mata kuliah-kuliah yang termasuk ke jurusan Ilmu Komunikasi, antara lain Ilmu Budaya Dasar, Ilmu Alamiah Dasar, Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan/Kewiraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris I, Pendidikan Agama Islam, dan Pengantar Sosiologi. Apakah ini juga menjadi bahan pertimbangan saya waktu itu mengenai jurusan yang akan diambil? Bisa jadi. Tetapi barangkali karena kekurangan informasi ihwal jurusan tersebut, saya tidak memilihnya. Atau barangkali karena hasrat untuk naik derajat ke bagian administrasi di pabrik lebih besar, sehingga saya tetap memilih manajemen.
Baca Juga: Geografi Ingatan (17): Membaca di Kolong Mesin
Geografi Ingatan (16): Manusia Masa Lalu
Geografi Ingatan (15): Buku Agenda Buruh Pabrik
Meninggalkan Kuliah, Menjual Diktat
Bukti keseriusannya tentu saja ditandai dengan membeli buku-buku diktat mata kuliahnya. Namun, apakah hal tersebut jadi jaminan saya mengikuti kuliahnya dengan serius? Ternyata tidak. Karena barangkali pada dasarnya saya memang tidak tertarik pada jurusan tersebut, apalagi ditambah dengan adanya mata kuliah yang sempat membuat saya trauma ketika SMU, saya jadi abai.
Ketika datang waktu ujian bulan Desember pun nampaknya tidak saya gubris. Mengenai kepastian saya tidak datang mengikuti ujiannya dapat diikuti dalam buku agenda. Pada catatan-catatan menjelang akhir tahun 2000, tidak ada sebaris pun kalimat yang berkaitan lagi atau membicarakan ihwal kuliah. Yang ada adalah warta-warta kepergian saya ke Bandung untuk mencari-cari dan membeli buku.
Kuliah yang gagal? Jelas dapat disebut demikian. Menyesal? Sebenarnya tidak terlalu menyesali apa yang sudah terjadi, meskipun saya telah mengeluarkan uang yang lumayan banyak. Bagaimana nasib buku-buku diktat kuliah? Karena bisa jadi saya sedang membutuhkan uang untuk membeli buku-buku yang lain, masih pada tahun 2000 atau sudah menginjak 2001, saya menjual diktat di Bursa Buku Palasari. Dan harganya tentunya lebih murah daripada saat membelinya, karena namanya juga buku yang pernah digunakan, pasti termasuk buku bekas. Itulah pengalaman pertama saya menjual buku selama hidup.
Namun, pengalaman sebentar berkutat dengan diktat-diktat itu tetap memberi bekas yang dalam, membuat keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tetap menyala, meskipun hanya tinggal berupa bara. Keinginan tersebut baru terlaksana delapan tahun kemudian dan akhirnya lulus empat tahun selanjutnya, dalam keadaan sudah berumah tangga dengan anak satu saat masuk dan menjadi tiga saat selesai kuliah tahun 2012.
Selain itu, pengalaman sebentar mengenyam pendidikan di Universitas Terbuka juga ada manfaat praktisnya. Apa itu? Untuk membahas lebih lanjut soal tersebut, saya akan menuliskannya minggu depan.