• Cerita
  • Geografi Ingatan (15): Buku Agenda Buruh Pabrik

Geografi Ingatan (15): Buku Agenda Buruh Pabrik

Karena jadi punya pendapatan bulanan itulah, meski kecil jumlahnya, saya menjadi kian rutin pergi ke Bandung untuk mencari-cari dan membeli majalah dan buku bekas.

Bagian depan pabrik tempat penulis bekerja antara tahun 1998 hingga 2006. Selama bekerja, penulis tetap rajin menulis dalam buku agenda yang masih awet tersimpan hingga sekarang. (Foto: Atep Kurnia)

Penulis Atep Kurnia16 Juli 2021


BandungBergerak.idSuatu sore, beberapa minggu lalu, sepulang kerja dari Bandung, saya naik ojek dari perempatan Warunglega. Orang yang membawa saya adalah kawan semasa bekerja di pabrik tekstil: Abet. Ia berasal dari Kampung Lio, Desa Cikasungka, yang ada di utara kampung tempat sekarang saya tinggal. Selama dalam perjalanan, saya bertanya-tanya ihwal keadaan pabrik yang hingga sekarang jadi tempatnya bekerja.

Katanya, selama pandemi, bahkan sebelumnya, pabrik tidak beroperasi seperti waktu saya tinggalkan 15 tahun lalu. Kini pabrik hanya berjalan bila ada order belaka. Bila tidak ada pesanan, berarti buruhnya dirumahkan. Dan itu artinya tidak akan ada gaji karena sistem kerja yang berlangsung sekarang adalah outsourcing.

Itu sebabnya, Abet dan kawan yang lain ada nyambi menarik ojek di perempatan Warunglega. Seperti Yaya, kawan saya sepabrik tekstil. Dia yang telah lama berhenti dari pabrik, sekarang bekerja di pabrik lain di Majalaya. Apalagi kawan sekerja yang usianya sepuh, seperti Bah Encu, sudah lama sekali berhenti dari pabrik.

Setiba di mulut gang ke rumah, saya turun dan mengucapkan terima kasih banyak kepada Abet. Saat berjalan menuju rumah, pikiran masih terpaut pada obrolan dengan Abet. Betapa saat ini dapat dibilang saya lebih beruntung dari kawan-kawan sepabrik. Mereka harus berkutat dengan tenaga dan pikiran bila kesempatan bekerja masih ada, sementara bila sedang tidak bekerja, tenaga dan pikirannya bisa-bisa lebih keras diperas demi mendapatkan nafkah hidup sehari-hari. Karena dari pabrik tidak dapat lagi dijadikan jaminan hidup setiap hari.

Ah, betapa jauh berbeda dengan saat-saat saya masih bekerja di sana! Dulu statusnya masih pekerja tetap. Gaji sebulan penuh. Dapat cuti bulanan. Ada koperasi untuk meminjam uang bila kepepet.

Ketika tiba di rumah, saya sampaikan lagi pertemuan dengan kawan itu kepada istri. Saya katakan bahwa kita sekarang harus bersyukur, meski kini demikian getir dengan keadaan pandemi yang nampaknya belum akan berakhir, tetapi untuk kebutuhan sehari-hari masih dapat dikatakan aman sebab masih menerima gaji bulanan dari kantor, ditambah sedikit-banyak dari nyambi menulis, menyunting, dan menerjemahkan. Alhamdulillah, dengan tiga anak sendiri dan dua anak kakak yang tinggal di rumah, keluarga saya masih dapat hidup dengan layak.

O ya, pengalaman saya selama bekerja di pabrik tekstil dapat disimak dari catatan-catatan yang saya buat dalam buku agenda. Semuanya ada dua buku agenda. Yang pertama berisi catatan-catatan dari awal saya masuk kerja di pabrik hingga tahun 2003, sementara yang kedua berisi catatan-catatan setelah saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari pabrik dan memilih bekerja di sebuah penerbitan buku di Bandung pada 2006.

Seperti pada catatan yang saya buat sebelumnya dalam carik-carik kertas lepas antara 1995 hingga 1998, dalam buku agenda pertama yang mencakup rentang waktu 1998 hingga 2002, termuat catatan-catatan peristiwa yang saya anggap penting saat itu. Untuk kali ini, saya akan membatasi tulisan ini pada pengalaman pertama bekerja di pabrik. Pada tulisan selanjutnya, saya akan membahas sebagian lagi isi buku agenda tersebut.

Guru-guru Mengaji

Saya pertama kali menulis dalam buku agenda berwarna hijau tua itu pada 15 Desember 1998. Dalam catatan hari itu, saya menulis bahwa pada Sabtu-Minggu, 12-13 Desember 1998, saya mengantarkan pembantu guru mengaji saya, Ir. Amang Lukman, ke rumahnya, di daerah Malangbong. Sementara pada 14 Desember 1998, saya menulis bahwa pada malam Selasa itu, saya diajak guru mengaji yang lain lagi, Mang Ajang, untuk turut menghadiri kenduri dan membacakan kitab Barzanji atas kelahiran seorang bayi di Kampung Peundeuy.

Dari dua catatan tersebut, dapat ditarik kesimpulan, walaupun saya sudah tamat SMU pada Mei 1998, tetapi kegiatan mengaji, terutama kitab kuning, tetap berjalan. Dan pada praktiknya, saya mengaji tidak hanya kepada seorang guru, melainkan sekaligus kepada beberapa orang. Paling tidak ada empat orang. Di atas ada Ir. Amang Lukman, yang tinggal di Babakan Garut, bekerja di PT DI, kemampuan tata bahasa Arabnya jempolan dan koleksi bukunya sangat banyak. Berbeda dengan guru-guru mengaji yang lain, yang ditekankan oleh Amang adalah cara belajar mandiri, dengan membaca buku sendiri. Bahkan Amang sendiri yang membelikan bukunya dan membagikannya kepada kami, muridnya, secara gratis.

Kemudian Mang Ajang, yang tinggal di Babakan Sindangsari, seberang kampung tempat saya tinggal. Ia adalah menantu Ustaz Dudung, guru mengaji saya juga. Selain Mang Ajang, ada H. Enen Tamami (dan putranya Mang Entang) dan Mang Uus yang seperti Amang, tinggal di Babakan Garut. Alhasil, mereka adalah guru-guru mengaji saya hingga masa transisi saya kerja di pabrik, selama bekerja non-shift, dari jam 08.00 hingga 16.00, sebelum kemudian akhirnya dipindahkan untuk bekerja pagi-siang-malam, di-shift.

Sayang, dalam buku agenda pertama, saya tidak menuliskan latar belakang mengapa akhirnya bekerja di pabrik. Barangkali karena buku agenda tersebut baru saya beli dan saya isi saat sudah bekerja di pabrik dan punya duit untuk membelinya. Bila saya ingat-ingat lagi sekarang, saya pertama kali ditawari bekerja di pabrik oleh kawan sepermainan sekaligus kerabat, Ade Ani, yang sudah lebih dulu bekerja di situ.

Saat itu, bila tidak salah, saya sudah menganggur beberapa bulan selepas SMU. Padahal dulu inginnya saya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, tetapi keadaan keuangan keluarga tidak memungkinkan. Bapak saya harus membiayai empat adik saya, yang dua di antaranya masih sekolah. Saya pun pasrah.

Namun, posisi yang ditawarkan oleh Ade Ani bukanlah buruh pabrik, melainkan pekerja harian lepas, karena saat itu ada pemasangan mesin tenun baru. Harapannya, setelah pemasangan selesai, saya dapat diangkat menjadi buruh di pabrik tersebut. Saya pikir, daripada menganggur tidak tentu kerja, lebih baik menerima tawaran tersebut. Akhirnya, suatu hari saya dibawa oleh kawan itu ke pabrik, untuk menemui kenalannya, yang sedang melakukan pemasangan mesin: Pak Heru, orang Cirebon.

Baca Juga: Geografi Ingatan (14): Kronik Kecil
Geografi Ingatan (13): Naluri Ensiklopedis
Geografi Ingatan (12): Pertama Kali Membeli Buku di Bandung

Tugas Pertama di Pabrik

Kesan pertama datang ke lokasi pabrik adalah suara bising memekakkan telinga, yang keluar dari mesin twisting dan tenun.       Lalu saat melewati ruang reservoir dan chiller, terasa sengatan panas yang sebentar kemudian berganti menjadi hawa dingin menyebabkan gigil. Kesan satu lagi yang takkan dapat lupakan hingga sekarang adalah bau cairan kanji untuk merekatkan benang-benang, agar twisting-nya mati sekaligus tidak berbulu lagi.

Saat itu saya dibawa Ade Ani menemui Pak Heru di mes yang masih ada di lokasi pabrik. Persis ada di ujung kiri bangunan pabrik yang memanjang dari mulut Jalan Raya Cicalengka-Majalaya masuk ke dalam kawasan yang dulunya merupakan persawahan. Setelah berkenalan dan mengobrol sebentar, Pak Heru menerangkan tugas yang harus saya kerjakan selama membantunya. Di ujung obrolan, saya diminta datang untuk bekerja esoknya atau lusanya. Saya lupa lagi persisnya. Barangkali saat Ade Ani mengajak saya adalah hari Sabtu atau Minggu, dan Pak Heru menyuruh datang bekerja pada hari Senin.

Yang terang, setelah datang dan mulai bekerja, saya tahu bahwa tugas saya adalah menjadi asisten Pak Heru untuk membuat levelling atau dudukan mesin tenun. Tugas saya adalah membawa-bawa teodolit dalam tas, tripod, dan tongkat panjang mirip penggaris sebagai pengukurnya. Bila tiba di lokasi, tas saya buka, lalu memasang teodolit pada tripod.

Setelah terpasang, saya membawa penggaris ke titik yang ditunjukkan oleh Pak Heru. Dari tempat teodolit berdiri, Pak Heru akan mengeker ke penggaris yang saya tegakkan dan geser-geser sesuai perintah Pak Heru. Demikianlah pekerjaan awal saya di pabrik.

Karena Pak Heru tidak selalu ada di lokasi pabrik, pekerjaan saya jadi tidak menentu. Atas perintah manajemen pabrik, saya dapat membersihkan kotoran-kotoran bekas adukan semen pada dudukan mesin yang baru terpasang. Selain itu, karena di lokasi yang sama juga sedang dilakukan pembangunan ruang reservoir dan chiller yang baru, saya juga kadang-kadang membantu para kuli bangunan yang sedang bekerja di sana. Selepas itu, pekerjaan saya membersihkan bekas adukan semen di jalan menuju lokasi pabrik. Hingga akhirnya, saya dipekerjakan untuk membantu kerja buruh bagian gudang dan ekspedisi. Di situ saya turut membantu membongkar dan memuat kain-kain yang akan dikirimkan.

Itu dilakukan bahkan ketika sedang bulan puasa. Dalam catatan agenda saya, pada 19 Januari 1999, tertulis demikian: “Alhamdulillah, akhirnya aku dapat menyelesaikan puasa ini (20 Des 1998-19 Jan 1999) walaupun aku bekerja keras di gudang ataupun di proyek”.

Gaji yang saya terima juga berbeda baik dengan buruh pabrik maupun kuli bangunan. Sebagai harian lepas, gaji saya, yang pekerjaannya malah lebih mirip kuli bangunan, dapat dibilang lebih rendah dari keduanya. Namun, kalau bisa disebut keistimewaan seorang harian lepas adalah gajiannya diberikan langsung oleh direksi atau penanggung jawab pabrik. Waktu itu direksinya adalah Pak Edi dan Pak Heri, dua orang Tionghoa peranakan dari Lampung. Alhasil, setelah mengobrol sebentar di meja Pak Edi, saya kemudian bergeser ke meja Pak Heri untuk menerima urang bayaran.

Makin Sering Ke Bandung

Meskipun gajinya kecil, tetapi tetap saja saya punya penghasilan. Karena jadi punya pendapatan bulanan itulah, saya menjadi kian rutin pergi ke Bandung untuk mencari-cari dan membeli majalah dan buku bekas. Kebiasaan tersebut kentara sekali dari catatan-catatan awal yang saya tulis di agenda. Pada 25 Desember 1998, saya menuliskan pengalaman pertama kali salat Jumat di Alun-alun Bandung (Masjid Kaum Bandung). Saat itu yang menjadi imam dan khatibnya adalah K. H. A. F. Ghazali.

Demikian pula hari Minggu, 17 Januari 1999. Sepulang mengantarkan lagi dua orang pembantu guru saya ke Malangbong, saya pergi ke Bandung dengan menggunakan KRD (kereta rel diesel) pukul 13.00 dari Stasiun Cicalengka. Di Bandung saya membeli buku Setanggi Timur karya Amir Hamzah, Ajaran dan Pengalaman Sufi karya Jalaludin Rumi, dan membeli majalah Intisari, titipan kawan saya Asep Rohimat.

Sebulan kemudian, pada 18 Februari 1999, karena penasaran mengenai keberadaan Perpustakaan Prof. Doddy A. Tisnaamidjaja, saya mencari-carinya di daerah Buahbatu. Dalam catatan saya hari itu tertulis: “... Ternyata benar ada, tapi sayang perpustakaan tsb tdk ada istilah anggota, so tidak ada pinjam-meminjam buku dong. Jadi aku rugi sendiri, tapi juga sedikitnya menambah wawasan serta pengalamanku ...”.

Seminggu kemudian, pada 25 Februari 1999, saya kembali lagi ke Bandung. Kali itu untuk membuat kartu kuning di Soreang. Setelah urusan selesai, dengan menggunakan angkot Leuwipanjang-Soreang disambung Damri jurusan Jatinangor, saya “Sampai perpustakaan daerah Jabar Jl. Sukarno Hatta No. 629. Setelah melihat-lihat di perpustakaan, aku naik mobil jurusan Cicadas-Cibiru ke Kiaracondong ...” Dari catatan tersebut, saya jadi menduga, itulah kali pertama saya mengunjungi Perpustakaan Daerah Jawa Barat. Barangkali itu juga karena terdorong rasa penasaran pula, untuk membuktikan keberadaannya.

Perjalanan ke Bandung memang jadi catatan istimewa dalam agenda saya. Setiap kali pergi, pasti ada catatannya. Pada perjalanan pada 14 Maret 1999, saya berkunjung ke Palasari dan Jalan Dewi Sartika. Di sana saya membeli buku Suratan Takdir (Voltaire) seharga 5.000 rupiah dan Mengelilingi Dunia dalam 80 Hari (Jules Verne) seharga 5.000 rupiah. Di Jalan Dewi Sartika saya membeli majalah bekas seharga 2,000 rupiah. Lalu hampir sebulan kemudian, tercatat pada 13 April 1999, saya ikut memfotokopi majalah Sastra sebanyak 20 lembar di Perpustakaan Daerah yang ada di Cikapundung. Selain itu, saya membeli majalah bekas Amanah, Jakarta-jakarta, dan Hai. Semuanya 1.500 rupiah saja.

Motif pembuktian terjadi lagi pada 17 April 1999. Pagi itu saya pergi ke Cicaheum untuk mencari-cari kantor penerbit Mizan. Dalam catatan, saya menulis demikian: “Sampai di Cicaheum aku berkeliling, berjalan mencari penerbit Mizan. Alhamdulillah kudapat menemukannya stlh menanyakannya pada sana-sini (kebanyakannya pd tukang beca). Penerbit Mizan dpt dicapai melalui Jln Cikutra lewat Gang Sukarapih V atau Jalan Bekamin 14”. Setelah menemukan Mizan, saya pergi ke Jalan Dewi Sartika. Di sana membeli buku Cara Kerja Komputer dan Leonardo Da Vinci. Perjalanan hari itu dipungkas di Gramedia Merdeka, dengan membeli buku Pembatasan Pemerintahan dan Hayy bin Yaqzan.

Selain sekian banyak perjalanan ke Bandung itu, ada peristiwa yang membuat saya tambah bahagia. Mulai Senin, 26 April 1999, saya menjadi buruh tetap PT. Filamenindo Lestari Textile, meskipun jabatannya sekadar office boy atau tukang sapu dan lap lokasi pabrik. Hari itu, dalam agenda, saya menuliskannya begini: “Senin, 26 April 1999 mulai jadi karyawan tetap di PT. Filamenindo Lestari Tekstil di bagian umum (weaving)-kebersihan, setelah hari Sabtu dipanggil personalia; diberitahu bahwa hari Senin mulai jadi karyawan dan mulai ngetok. Perasaan ngetok, gugup juga”.

Maksud kabar tersebut adalah sejak 26 April 1999, saya menjadi buruh tetap di pabrik tempat saya sempat menjadi harian lepas selama beberapa bulan sebelumnya. Posisi pertama saya adalah petugas kebersihan yang merupakan bagian urusan umum, bukan weaving atau di bagian mesin tenun. Melainkan, saya dan kawan seorang lagi bertugas membersihkan dua lokasi tempat mesin-mesin tenun beroperasi. Untuk lebih rincinya, akan saya gambarkan minggu depan ya. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//