• Cerita
  • Geografi Ingatan (14): Kronik Kecil

Geografi Ingatan (14): Kronik Kecil

Saya pikir, waktu sangat penting untuk diabadikan, agar tidak terlupa, agar kenangan terhadapnya tetap hidup.

Penulis dan ayahnya berfoto di Pantai Pangandaran pada Sabtu atau Minggu, 28-29 Oktober 1995. Tanggal kunjungan itu diketahui berkat kegemaran mencatat kronik di lembar-lembar kertas. (Sumber: dokumentasi Atep Kurnia)

Penulis Atep Kurnia9 Juli 2021


BandungBergerak.idSaya menemukan lagi kronik kecil yang sempat saya tulis antara tahun 1995 hingga 1998, atau dari kelas tiga SMP hingga kelas tiga SMU. Kronik kecil tersebut ditulis di atas carikan kertas tulis berukuran folio. Barangkali bekas laporan Pak Ode, ayah teman saya Yoseph Rivalda, yang bekerja di PJKA (PT. KAI sekarang), karena di ujung-ujung atas catatan itu, ada tulisan PJKA. Barangkali suatu saat entah kapan, saya bertandang ke rumah Yoseph, dan ia memberikan kertas itu kepada saya.

Kronik kecil itu semuanya ada empat halaman atau dua lembar kertas. Tapi dari ruang sependek itu, saya dapat menulis 27 catatan dalam rentang 1995 hingga 1998. Bila dihitung-hitung, catatan pada 1995 hanya ada dua. Yang paling banyak tahun 1996, sebanyak 23 catatan. Sementara itu, untuk 1997 tidak ada catatan, dan 1998 hanya satu catatan. Karena ditulis berbeda-beda waktunya, maka warna tinta dari alat tulis yang saya gunakan dan jenis aksara yang saya tuliskan jadi berbeda-beda. Ada yang hitam, biru, bahkan merah.

Bila dikelompokkan, isi kronik singkat itu melingkupi catatan-catatan kegiatan di rumah atau kampung, kegiatan selama sekolah di SMUN Cicalengka, kegiatan menyalurkan hobi berupa bepergian ke Bandung untuk membeli buku dan majalah bekas, serta filateli. Ditulisnya hanya satu kalimat, kadang dua atau tiga kalimat, tetapi ada pula yang agak panjang. Namun, umumnya singkat-singkat.

Dari Pantai Pangandaran hingga Piala Eropa

Catatan paling lama bertitimangsa Sabtu-Minggu, 28-29 Oktober 1995. Di situ saya menulis “pergi ke Pangandaran dengan rombongan dari Tanjunglaya”. Dengan catatan ini, berarti saya jadi punya waktu pasti untuk potret yang mengetengahkan gambar saya berdua bapak, berdampingan, latar belakangnya Pantai Pangandaran. Itu berarti terjadi antara Sabtu atau Minggu, 28 atau 29 Oktober 1995.

Sepulang dari Pangandaran, saya mengikuti kegiatan Djuantika Cup XV yang diselenggarakan Pramuka SMUN Cicalengka. Menurut catatan, peristiwa itu terjadi antara Jumat hingga Minggu, 3-5 November 1995. Kegiatannya diseleggarakan di Paslon, Nagreg. Untuk kegiatan lomba yang melibatkan Pramuka tingkat SD dan SMP di Cicalengka dan sekitarnya itu saya dipercaya sebagai panitia seksi keamanan. Ini juga menjadi salah satu bukti bahwa selama SMU, saya turut aktif dalam kegiatan Pramuka, di samping ikatan remaja masjid.

Saya juga baru teringat bahwa meski dipercayai di seksi keamanan, waktu kegiatan di Nagreg itu, saya juga diminta mengurusi pembuatan memento. Jadinya, selama beberapa jam saya berjaga di tukang obras di sekitar Alun-Alun Cicalengka, hingga memento selesai.

Nah, beberapa bulan kemudian, dengan dua kali berangkat, yaitu antara 26 dan 29 Maret 1996, saya mengunjungi Pameran Flateli Remaja Sedunia yang diselenggarakan di Jalan R. E. Martadinata. Saya waktu itu membeli perangko luar negeri yang sudah dicap. Catatan ini juga menegaskan kembali apa yang saya tulis sebelumnya, bahwa antara lain dengan Eko Anggara saya berangkat ke Bandung untuk menyaksikan pameran filateli, sekaligus bila ada yang murah harganya akan membelinya beberapa.

Karena barangkali dari dulu suka sepak bola, final Piala Eropa 1996 pun saya tonton dan catat dalam kronik kecil ini. Pada 1 Juli 1996, Senin, 00.30-03.25, saya menulis “nonton Piala Eropa: pemenang Piala Eropa 96 (Euro 96) di Inggris adalah Jerman, kunci kemenangannya Jerman berada di kaki: Oliver Bierhoff, yang mencetak 2 gol”. Jadi ingat, kali ini pun beberapa saat lagi kita akan menyaksikan final Piala Euro 2021 antara Inggris versus Italia. Tidak tahu apakah saya akan menontonnya atau tidak. Kita lihat saja nanti ya.

Pada tanggal yang sama, antara pukul 09.00 hingga 10.20, saya mengikuti cerdas cermat dalam kegiatan pesantren SSI alias Santri Islam Intensif. Tim saya menang dan besok akan masuk final. Esoknya, 2 Juli 1996, antara jam 13.30 hingga 14.30 saya mengikuti final cerdas cermat dan menjadi juara pertama. Berdasarkan catatan, tim saya diberi hadiah buku Sidu, 9 buah.

Dua lembar catatan, isinya bolak-balik, berisi kronik antara 1995 hingga 1998. (Sumber: Atep Kurnia)
Dua lembar catatan, isinya bolak-balik, berisi kronik antara 1995 hingga 1998. (Sumber: Atep Kurnia)

Bandung dan Buku

Sementara itu, kegiatan-kegiatan pergi ke Bandung untuk membeli buku dan majalah bekas mulai tercatat pada 21 Juli 1996. Saat itu hari Minggu. Sendirian, saya pergi ke Bandung membeli buku dan majalah Adzan No. 7 dan 32 serta buku Medicine & Man. Demikian pula pada Sabtu, 28 September 1996. Antara pukul 12.00 hingga 17.00 saya ke Bandung untuk membeli majalah Adzan edisi 18 (1991) dan tiga edisi majalah Bobo.

Mengapa saya saat itu suka membeli dan mengumpulkan majalah Adzan? Sebab paling mungkin adalah karena majalah mungil seukuran Intisari atau Warnasari tersebut menyajikan banyak pengetahuan umum, hal yang begitu saya gandrungi saat itu.

Kejadian-kejadian yang berkisar di sekitar meminjam buku pun tidak luput saya catat. Pada 26 September 1996, saya tercatat meminjam buku Conversational English dan Hikayat Kalilah dan Dimnah dari perpustakaan. Pada Selasa, 19 November 1994, saya meminjam dua buku di perpustakaan, yaitu Kronologi Pergerakan Kemerdekaan Indonesia dan Menyingkap Tirai Alam Barzakh. Waktu itu saya pinjam juga 30 Kisah Teladan dari seorang teman. Kemudian pada 19 Desember 1996, Kamis, saya meminjam Protes Sosial dan Sastra karya Saini KM dan Kamus Kecil Kesusastraan Indonesia karya Sofyan Zakaria.

Pertanyaaannya sekarang: itu perpustakaan mana? Saya pikir, besar kemungkinan adalah perpustakaan SMUN Cicalengka. Karena bila meminjamnya dari Perpustakaan Daerah di Cikapundung, pasti akan tercatat kepergiannya ke Bandung. Dari dua catatan tersebut, saya baru ngeh bahwa sudah sejak lama sudah tertarik pada dunia sastra. Meskipun pada akhirnya dimasukkan ke kelas IPA, minat saya terhadap sastra jadi surut. Bahkan sebaliknya, dapat dibilang menggebu-gebu.

Baca Juga: Geografi Ingatan (13): Naluri Ensiklopedis
Geografi Ingatan (12): Pertama Kali Membeli Buku di Bandung
Geografi Ingatan (11): Hobi Filateli

Mengawetkan Ingatan

Dari hal-hal di atas, saya pikir waktu sangat penting untuk diabadikan, agar tidak terlupa, agar kenangan terhadapnya tetap hidup. Termasuk ada yang mencengangkan bila dibaca sekarang, yaitu catatan Jumat, 6 September 1996. Di situ tertulis “aku pertama kali menelepon selama hidup. Meneleponnya ke Teh Enung untuk memberi kabar bahwa api PON akan segera diberangkatkan dari Alun-Alun Cicalengka”.

Bila dibaca sekarang, mengherankan betapa sempatnya saya teringat untuk merekam peristiwa tersebut. Bila diingat-ingat lagi, pengalaman menelepon pertama kali itu dilakukan di telepon umum di sekitar Alun-alun Cicalengka. Dengan menggunakan uang logam seratus rupiah. Sekaligus kenyataan tersebut berkaitan dengan masih jarangnya di kampung saya yang memiliki nomor telepon rumah, apalagi handphone.

Kronik kecil pada carikan-carikan kertas berlepasan itu hingga kini masih saya simpan dalam perpustakaan pribadi. Kronik kecil itu saya anggap sangat berharga karena menjadi media yang dapat menyimpan dan mengawetkan sebagian ingatan saya. Tanpa catatan-catatan itu, sudah pasti khazanah ingatan saya pada sebagian pengalaman masa lalu akan menguap begitu saja.

Bila dikaitkan dengan kebiasaan saya menulis catatan, kronik kecil ini juga menjadi semacam transisi ke arah yang lebih tetap, saat saya sudah mampu membeli buku catatan sendiri, yakni ketika mulai bekerja di pabrik tekstil, selepas SMU.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//