Geografi Ingatan (11): Hobi Filateli
Tugas yang diberikan oleh Pak Kustaman menyebabkan saya bisa mengumpulkan 12 album perangko dan benda-benda pos lainnya.
Penulis Atep Kurnia18 Juni 2021
BandungBergerak.id - Saya tidak menyangka hobi bisa juga terjadi karena adanya sebuah tugas. Ini saya alami ketika ditugaskan untuk mengumpulkan perangko bekas dan menyusunnya dalam sebuah album saat kelas dua sekolah menengah pertama (tahun ajaran 1993-1994). Meskipun tidak seserius mengumpulkan buku, hingga sekarang saya berhasil mengumpulkan 12 buah album perangko.
Jadi, izinkanlah saya mengenang kembali peristiwa yang berlangsung 27 tahun yang lalu itu. Demi kepentingan tersebut, sempat juga saya membuka “Buku Catatan Pribadi Siswa” kala saya lulus SMP (1995). Pada halaman mengenai “Minat” (1995: 8) terbaca selama SMP saya duduk di kelas 1D (1992-1993), 2G (1993-1994), dan 3H (1994-1995).
Pada kolom bidang studi yang sungguh-sungguh sesuai, tertulis bahasa, dari kelas satu hingga kelas tiga. Untuk ekstrakurikuler yang diikuti terisi PKK, PKK, dan elektro. Nah, yang menarik, dalam kolom hobi atau kegemaran selama tiga tahun tetap tertulis filateli. Padahal, saya rasa kegemaran mengumpulkan perangko baru terbentuk saat kelas dua. Ah, hobi filateli itu tercatat dalam rekaman resmi saya selama di SMP.
Kini gilirannya mengingat-ingat pembentukan kesukaan terhadap benda pos itu. Bila tidak keliru, saya dan kawan-kawan sekelas sempat mendengar bahwa bila Pak Kustaman, guru geografi, mengajar kelas dua, sudah dapat dipastikan akan diberi tugas mengumpulkan perangko. Eh, betul. Guru yang bertubuh tinggi, berkumis, dan tinggal di daerah Cikuya itu meminta kami untuk mengumpulkan perangko dalam sebuah album. Entah apa alasan Pak Kustaman menyuruh demikian. Apakah geografi juga terkait dengan perangko? Barangkali ada sangkut-pautnya dengan kandungan gambar pada permukaan benda pos tersebut?
Baca Juga: Geografi Ingatan (10): Menyalin Kamus Sunda
Geografi Ingatan (9): Buku Tulis dari Rumah Ma Enting
Geografi Ingatan (8): Bungkus Pindang dan Jelajah Jarian
Bantuan Tetangga Jauh dan Pameran di Bandung
Terus terang, bagi saya tugas itu termasuk sangat berat karena di lingkungan keluarga tidak pernah ada yang sempat surat-menyurat. Lagi pula rata-rata mereka tidak mampu membaca dan menulis. Salah satu jalan keluarnya, saya bertanya kepada kawan-kawan yang lebih senior. Dengan pertolongan mereka, saya terhubung dengan Teh Iin, tetangga jauh, yang barangkali juga satu almamater dengan saya. Dari dia saya mendapatkan agak banyak perangko bekas untuk tugas.
Selain dari Teh Iin, saya mendapatkan perangko dari Teh Ela, tetangga jauh juga, yang tinggal di daerah Babakan Garut. Rumahnya persis berada di tepi Jalan Raya Cicalengka-Majalaya. Kalau tidak salah, saya mendapatkan perangko Arab Saudi dari perempuan yang kemudian menikah dengan teman saya, Yana, itu. Saya lupa lagi dari mana dia mendapatkan perangko tersebut. Saya tak dapat memastikannya. Namun, yang jelas, dari kedua sumber itulah koleksi awal perangko saya.
Setelah dikumpulkan dan dinilai oleh Pak Kustaman, masing-masing koleksi perangko dikembalikan lagi kepada saya dan kawan-kawan sekelas. Agaknya selama melakukan pencarian perangko dan menyusunnya, saya dibuat jatuh hati. Tentu saja, awalnya saya jatuh cinta pada gambar-gambar di permukaan perangko. Gambar-gambarnya banyak yang elok. Oleh karena itu, koleksi perangko bekas tugas pelajaran geografi itu terus saya simpan hingga kini.
Namun, karena filateli bukan kegemaran utama, saya tidak terlalu ngotot mencarinya. Apalagi harus membeli secara rutin bila terbit seri yang baru. Jadinya, filateli adalah hobi sampingan saya selain membaca dan mengumpulkan pelbagai pustaka. Bila ada yang memberikan cuma-Cuma, barulah koleksi saya jadi bertambah. Misalnya ketika sudah masuk sekolah menengah umum negeri (SMUN) Cicalengka, teman sekelas kelas satu, saya ingat, sempat memberikan perangko Malaysia bekas.
Selanjutnya saat kelas dua SMU (1996), saya kerap memperhatikan poster pengumuman tentang pameran filateli remaja sedunia di papan majalah dinding yang ditaruh di depan sekretariat OSIS. Dalam pengumumannya tertulis “Pameran Filateli Remaja Sedunia, Indonesia 1996” akan diselenggarakan di Bandung, pada 21-30 Maret 1996. Tempatnya di Gedung Kantor Pusat PT POS INDONESIA (Pesero), Jalan Martadinata 38 Bandung 40115.
Selain itu, kata-kata yang mengharu biru saya adalah: “Pastikan dan pastikan sekali lagi Anda ada di sana ketika semua ini berlangsung. Agar kelak, ketika anak cucu kita membaca sejarah filateli abad 20 dan bertanya tentang ‘Indonesia 1996’, Anda bisa berkata dengan bangga: ‘Waktu itu saya ada di sana’”. Itu adalah ungkapan pamungkas dalam penguman tersebut.
Barangkali karena terpukau oleh acara itu dan sedikit-banyak terpengaruh pengumumannya, saya bersepakat dengan beberapa kawan seminat untuk menyambangi tempat pameran. Di antaranya yang sekarang masih saya ingat adalah Eko Anggara, kawan yang waktu itu tinggal di Permata Hijau, Rancaekek. Maka saya dan beberapa kawan pergi ke Jalan Martadinata Nomor 38 atau Jalan Banda, antara 21-30 Maret 1996. Dari beberapa gerai yang turut berpameran, saya membeli beberapa perangko luar negeri yang gambarnya indah-indah dan mempunyai nilai sejarah. Antara lain perangko yang menampilkan buku Isaac Newton, peringatan Charles Dickens (1812-1870), Alexander Graham Bell, peristiwa Mayflower, “Liverpool and Manchester Railway 1880”, dan lain-lain.
Beberapa lama setelah mengunjungi pameran itu, poster berisi pengumuman di tempat mading pun dicopot karena sudah usang. Nah, agar menjadi bagian dari “Waktu itu saya ada di sana”, poster pameran filateli itu saya ambil dan saya simpan. Dua lembar poster itu terus saya rawat hingga sekarang.
Irisan dengan Buku
Bagaimana selanjutnya? Karena sampingan atau musiman, filateli memang tidak pernah jadi prioritas saya. Oleh karena itu, setelah masa SMU, saya baru bisa menambah lagi koleksi perangko sesudah bekerja di pabrik dan penerbit buku (1998-2008). Ya, saya memulung perangko dari amplop-amplop bekas surat atau pemberian teman kerja yang tahu saya suka mengumpulkan perangko.
Tambahan lebih banyak saya peroleh ketika kuliah S1 di UIN Sunan Gunung Djati. Dari Si Babeh yang berjualan buku bekas di depan kampus, saya mendapatkan tiga album seukuran B5 yang berisi perangko-perangko belum terpakai, souvenir sheet, dan materai. Karena harganya terbilang murah, yaitu masing-masing 25 ribu rupiah, ketiganya saya beli. Di tempat indekos, masing-masing tepi halaman pertama saya kasih titimangsa 21 Juli 2011, yang berarti hampir persis tahun ketiga kuliah.
Apakah setelah tamat kuliah saya juga masih mengumpulkan perangko? Iya. Setelah lulus pada 2012 dan punya pekerjaan rutin, saya sempat berkali-kali membeli album perangko. Bahkan kemudian ditambah dengan pelbagai sampul hari pertama dan perangko-perangko bertema Bandung, Jawa Barat, Priangan, kereta api, peringatan letusan gunung api, dan lainnya.
Perkembangan minat tersebut baru muncul beberapa waktu lalu, karena mulai terpikir tentang irisan antara filateli dengan hobi mengumpulkan buku yang selama ini saya geluti. Irisan pertamanya adalah gambar-gambar indah pada perangko mengingatkan saya ke masa awal ketertarikan pada buku. Irisan keduanya, karena dari perangko-perangko yang berhasil saya kumpulkan ternyata bersambung dengan kegandrungan saya terhadap catatan fakta-fakta sejak sekolah dasar. Dengan kata lain, seperti buku, perangko mampu merekam berbagai peristiwa penting, riwayat hidup tokoh-tokoh masyhur, flora dan fauna langka, tempat-tempat eksotis, dan sebagainya. Tidak heran bila Sudarsono Katam pernah menulis buku-buku terkait Bandung tempo doeloe yang antara lain rujukannya berupa perangko.
Kesadaran tersebut bisa jadi tidak akan lahir seandainya 27 tahun lalu tidak ditugaskan oleh guru geografi. Tugas yang diberikan oleh Pak Kustaman menyebabkan saya bisa mengumpulkan 12 album perangko dan benda-benda pos lainnya, yang nanti barangkali bisa bertambah lagi. Tugas yang diberikan oleh Pak Kustaman itu juga ternyata seiring-sejalan dengan kesukaan saya pada dunia pustaka.