Geografi Ingatan (10): Menyalin Kamus Sunda
Secara tidak disadari, sebenarnya saya tengah memupuk kecintaan terhadap bahasa Sunda yang pengaruhnya tetap terasa hingga sekarang.
Penulis Atep Kurnia11 Juni 2021
BandungBergerak.id - Sejak 13 Juli 1992, saya mulai tercatat sebagai salah seorang murid di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Cicalengka, di Jalan Alun-alun Cicalengka, Kabupaten Bandung. Sekolah ini berada di sebelah selatan alun-alun, terpisah oleh jalan. Di samping kanan, sekolah bersebelahan dengan kantor pos. Agak ke timur ada kantor polsek dan pasar Cicalengka. Di seberang kantor polsek ada kantor kewedanaan Cicalengka. Di sebelah kiri, sekolah saya bersebelahan dengan rumah penduduk dan di seberangnya Masjid Agung Cicalengka.
Mengapa saya masuk SMPN 1 Cicalengka, padahal tempat tinggal lebih dekat ke SMPN Cikancung? Dari desa saya, Tanjunglaya, ke Alun-alun Cicalengka sekitar 4,7 kilometer, sementara dari Tanjunglaya ke Cikancung sekitar 2,5 kilometer.
Sebabnya barangkali saat itu, saya bersikeras kepada orang tua untuk didaftarkan ke Cicalengka karena banyak kawan sedesa yang melanjutkan ke sana. Juga karena letak sekolahnya ada di kota. Entah, apakah kala itu saya juga sudah tahu bahwa SMPN 1 Cicalengka adalah sekolah favorit di sekitar Cicalengka, Nagreg, Rancaekek, dan Cikancung. Yang terang, kawan seangkatan dari Tanjunglaya antara lain Teni, Dadan Hamdani, Elah Tarmilah, Reni Komalasari, dan Nia Kurniasih. Namun, kawan-kawan satu SD lebih banyak memilih ke Cikancung karena lebih dekat dan kerap dapat ditempuh dengan jalan kaki.
Kesan pertama saat masuk SMPN 1 Cicalengka adalah keluasannya dan bangunannya, terutama gedung kantor guru, sangat tinggi dan pintunya menjulang. Yang saya ingat, jajaran di kanan lingkungan sekolah adalah ruangan untuk kelas satu dari A hingga D, di tengah ada gedung untuk kantor yang menyatu dengan perpustakaan. Di belakangnya ada laboratorium biologi, toilet, dan ruang kelas dua yang berbatasan dengan rel kereta api jalur Bandung-Garut. Di samping kiri gedung kantor merupakan lapangan bola basket, lalu labotorium fisika dan ruang untuk kelas tiga.
Kemudian kesan lain yang terus membekas adalah saat mengikuti masa orientasi sekolah. Sama-sama mencari balon gas untuk dibawa esok paginya tentu pengalaman paling mengesankan, karena banyak di antaranya yang kempis duluan sebelum dibawa ke sekolah. Pengalaman pertama naik angkot keor warna hijau tanpa pengawasan orang tua, yang ongkosnya sekali pergi agaknya cukup seratus rupiah. Lalu wangi jeruk yang dikupas di dalam kelas terus saja mengisi relung dalam ingatan ini, serasa masih terhirup hidung.
Bahan Bacaan
Saya dimasukkan ke kelas 1D. Teman-teman sekelas kebanyakannya berasal dari sekitar Cicalengka, dan satu-dua yang berasal dari Nagreg, Cikancung, dan Rancaekek. Aneka latar belakang keluarga teman-teman di kelas satu itu membuat kian luasnya perkenalan saya dengan pelbagai bahan bacaan. Dua orang di antaranya melalui Childan dan Guslan alias Tutus.
Childan tinggal di Jalan Dewi Sartika, dekat Gang Andu. Ayahnya bekerja sebagai pegawai kantor urusan agama (KUA) Cicalengka dengan latar belakang keluarga pesantren. Bahkan bila tidak salah, termasuk anggota keluarga besar pengasuh Pesantren Santiong. Karena masuk siang, saya kerap singgah ke rumah Childan. Dalam berbagai kesempatan, saya sering ditunjukkan pelbagai koleksi buku baik koleksi ayahnya maupun kakak perempuannya.
Salah satu buku yang ditunjukkan oleh Childan dan terus terkenang adalah Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'lam. Salah satu yang membuat saya ketagihan membuka-buka buku tersebut adalah sebagian kata-kata yang bertinta merah serta gambar-gambar tokoh, peta, tabel, dan hewan sehingga terkesan lebih dekat ke ensiklopedia. Bila membaca keterangan dari internet, kamus tersebut disusun oleh dua orang pendeta Katholik dari Lebanon, Louwis bin Naqula Dhahir al-Ma’luf al-Yassu’i atau Louis Maalouf (1867-1946) dan Bernard Tottel al-Yassu’i. Edisi pertamanya diterbitkan oleh Catholic Press di Beirut pada 1908. Sementara yang saya lihat di rumah Childan barangkali terbitan Daar al-Masyriq, Beirut, tahun 1986.
Sementara dari Guslan, saya pertama kali berkenalan dengan kamus bahasa Sunda. Guslan tinggal di daerah Santiong, beberapa ratus meter di sebelah barat SMPN 1 Cicalengka. Rumahnya ada di gang, beberapa meter dari mulut Jalan Raya Cicalengka-Nagreg. Saya sempat diajak ke rumahnya beberapa kali. Suatu saat, ia memperlihatkan buku Sunda yang tebal berwarna kuning. Saking penasaran, saya mohon untuk dapat meminjamnya. Bisa jadi setelah meminta izin kepada ayahnya yang bekerja sebagai guru bahasa Sunda, Guslan meminjami kamus.
Baca Juga: Geografi Ingatan (9): Buku Tulis dari Rumah Ma Enting
Geografi Ingatan (8): Bungkus Pindang dan Jelajah Jarian
Geografi Ingatan (7): Lintasan Lakon Wayang
Kata Sunda Aneh dan Asing
Apa yang membuat saya tertarik pada buku tersebut? Jawabannya adalah kata-kata Sunda yang aneh-aneh, asing dan tidak saya ketahui sebelumnya. Karena tidak mampu membeli bukunya, tetapi keinginan mengetahui kata-kata Sunda demikian kuat, yang dapat saya lakukan adalah menyalinnya dalam buku tulis. Untuk keperluan tersebut, saya sengaja membeli buku tulis agak tebal yang kerap disebut “buku kiridit” karena sering dipakai tukang kredit barang kelontong keliling kampung untuk mencatat cicilan barang.
Sayang, sekarang buku catatan saya itu tidak ada. Barangkali karena beberapa kali sempat pindah rumah, buku tulis itu secara tidak sengaja terbuang atau hilang. Sayang sekali.
Namun, teringat, saya sempat mencatat ungkapan dan peribahasa (babasan-paribasa) Sunda disertai maknanya dan istilah-istilah yang memerlukan penjelasan seperti kata-kata yang berkaitan dengan wanci (waktu), seperti haneut moyan, pecat sawed, tengange, lingsir ngulon, harieum beungeut, sareupna, sareureuh budak, sareureuh kolot, janari gede dan janari leutik. Demikian pula yang berkaitan dengan hasil panen padi yang menggunakan ani-ani (etem) seperti eundan, geugeus, pocong dan caeng. Pelbagai kosa kata dan ungkapan Sunda itu saya kelompokkan berdasarkan kategorinya.
Banyak hal lainnya yang juga sempat saya rekam dalam buku itu. Bahkan ada satu kata yang akhirnya membuat saya tersipu-sipu, sebab sempat ditanyakan kepada teman perempuan, untuk mengujinya apakah dia mengetahui atau tidak. Tetapi ternyata yang mengomentari pertanyaan yang saya jawab sendiri itu adalah neneknya. Dengan lugu, saya bertanya kepada kawan perempuan apakah kata halus untuk “susu” (maksudnya payudara). Setelah katanya tidak tahu, saya tidak ragu-ragu mengatakan “pinareup”. Lalu apa yang dibilang oleh neneknya? “Ah, nu kitu-kitu wae ditanyakeun” (Ah, hal demikian saja ditanyakan).
Betapapun, dari kamus yang bertahun-tahun kemudian akhirnya saya miliki, yakni Kamus Umum Basa Sunda susunan tim Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS) dan dikeluarkan oleh penerbit Tarate di Bandung, kosa kata Sunda yang saya kuasai jadi kian banyak. Barangkali dengan jalan ngagulanggaper (menggeluti) buku tersebut pula, secara tidak disadari, sebenarnya saya tengah memupuk kecintaan terhadap bahasa Sunda yang pengaruhnya tetap terasa hingga sekarang.