• Cerita
  • Geografi Ingatan (9): Buku Tulis dari Rumah Ma Enting

Geografi Ingatan (9): Buku Tulis dari Rumah Ma Enting

Dengan demikian, bekas catatan Kang Alo bagi saya semacam hadiah besar sebagai media penyalur minat.

Kliping rubrik “Kamus Galura” dalam buku tulis dari rumah Ma Enting. Selain klipling, buku tulis itu juga berisi salinan pantun dan sisindiran. (Sumber: Atep Kurnia)

Penulis Atep Kurnia4 Juni 2021


BandungBergerak.idSuatu hari ketika saya kelas enam sekolah dasar (tahun ajaran 1991-1992), rak di rumah Ma Enting dibereskan. Kebetulan waktu itu saya sedang bertandang ke rumahnya, kayaknya sedang bermain dengan anak Ma Enting, yaitu Ujang Suherman atau Ujang Ma Enting untuk membedakan dengan Ujang-ujang lainnya, seperti Ujang Ceu Nanih alias Ujang Jipang, Ujang Pa Amir dan Ujang Ceu Ating. Atau mungkin saya bermain dengan anak bungsu Ma Enting, yaitu Agus Doblang. Yang jelas saya ingat, di rak kayu albasia itu ada banyak sekali buku.

Ma Enting tetangga saya. Rumahnya ada di utara rumah saya, terhalang rumah Ceu Rokayah. Suami Ma Enting adalah Kang Emer, guru pertama saya belajar mengaji Al-Qur’an semenjak tempatnya hanya berupa tajug kecil di depan rumah Ceu Itit hingga menjadi masjid permanen di kiri depan rumah keluarga Ma Enting. Dari delapan anak pasangan Ma Enting dan Kang Emer, saya bersahabat dengan Ujang Suherman yang setahun lebih tua dari saya serta Agus Doblang yang umurnya beberapa tahun di bawah saya.

Rak dan buku-buku yang sedang dibereskan hari itu adalah bekas koleksi anak lelaki pertama Ma Enting, Kang Alo, yang sudah menikah dan pindah mengikuti istrinya. Di antara buku-buku yang dibereskan, ada satu buku tulis seukuran B5 berwarna coklat. Setelah diperiksa, ternyata di dalamnya banyak halaman yang tidak ditulisi. Karena bagian mukanya saja yang digunakan, sementara bagian belakangnya dibiarkan kosong. Apakah waktu itu terbetik gagasan untuk memintanya atau malah diberikan kepada saya? Yang jelas, buku tulis yang sudah agak kumal itu saya bawa pulang ke rumah.

Bila saya lihat-lihat lagi sekarang, ternyata buku catatan Kang Alo berisi salinan pelbagai lirik lagu yang sedang populer masa itu atau yang lagu-lagunya diminati oleh Kang Alo. Sekadar menyebutkan beberapa contohnya, di dalam buku tulis tersebut antara lain dimuat lirik lagu bertajuk “Sia-sia”, “Khana”, dan beberapa lagu karya Rhoma Irama lainnya. Tetapi terselip pula di antaranya “Sawer Panganten” atau “Senandung untuk Mempelai”, yaitu puisi Sunda yang disenandungkan untuk mengiringi prosesi sawer pada perkawinan ala Sunda.

Kemudian, apa alasan saya mengambil atau menerima pemberian buku tulis peninggalan Kang Alo? Salah satu hal yang pasti, perlu buku tulis untuk mendedahkan ketertarikan saya pada beberapa hal karena masa itu agak sukar bagi saya mendapatkan buku tulis baru. Biasanya orang tua membelikan buku hanya pada tahun ajaran baru. Di luar itu, tampaknya sulit bagi emak dan bapak untuk dapat membelikannya. Barangkali uang lebih baik digunakan untuk keperluan sehari-hari. Dengan demikian, bekas catatan Kang Alo bagi saya semacam hadiah besar sebagai media penyalur minat.

Dari Fakta hingga Pantun

Minat apa saja yang tercermin dari catatan saat kelas satu dan dua SMP antara 1992-1994 itu? Saat membuka lagi buku tulis bekas kepunyaan Kang Alo, saya mendapati pelbagai catatan fakta, salinan pantun dan khazanah tradisi lisan Sunda, serta kliping dari media berbahasa Sunda. Dengan catatan, bila menilik jenis tulisannya, bisa jadi penulisan kumpulan fakta adalah kegiatan awal, disusul penyalinan pantun dari buku-buku pelajaran bahasa Indonesia, penyalinan rajah-rajah pantun Sunda dari pelajaran bahasa Sunda, pencatatan khazanah tradisi lisan Sunda dari Ma Erah dan Kang Ubed, dan terakhir adalah kliping.

Bukti bahwa catatan fakta lebih awal terlihat dari penempatan serta penulisan kata yang saya gunakan. Catatan fakta sudah saya tulis sejak halaman belakang jilid depan, sekaligus membuktikan bahwa saat itu saya belum dapat membedakan penggunaan huruf besar dan kecil pada nama orang dan tempat serta semata-mata mengandalkan pendengaran. Berikut saya tulis lagi beberapa fakta dalam buku itu: “akbar tarkam mentri pertahanan iran”, “Dato megat juni mentri dalam negri malaisya”, “julio endroti adalah presiden italia”, “kota Baitapong terdapat di afsel (aprika selatan)”, “TV Jepang=Fuji TV”, dan “Frank suamitrong ialah presiden prancis”.

Lucu, bukan? Tetapi demikianlah ketertarikan saya pada dunia fakta saat itu. Sumber informasinya adalah radio dan televisi hitam putih yang ada di rumah. Sudah barang tentu, saya hanya mencatatkan apa saja yang terdengar di telinga. Ketertarikan pada dunia fakta tersebut terus berlanjut hingga kelas dua dan tiga SMP. Pada kesempatan berikutnya, saya akan tunjukkan buku catatan dari periode itu.

Dari buku-buku pelajaran bahasa Indonesia saya menyalin pantun-pantun. Pantun apa saja yang menarik waktu itu? Eh, ternyata yang pertama-tama pantun jenaka. Ini terlihat dari penempatannya di halaman-halaman awal buku catatan. Di situ antara lain, saya menyalin pantun ini: “menanam limau di bukit tinggi, mati dipijak anak badak, melihat bangau sakit gigi, gelak terbahak anak katak” serta “dari ambon menuju Demak, singgah sebentar di semarang, si jalil mencuri kerak, hitam hidungnya kena arang”.

Selain pantun jenaka, ada juga pantun adat, agama, dan nasihat. Kemudian, saat mengingat-ingat latar belakang melakukan penyalinan dan perekaman khazanah tradisi lisan Sunda dari beberapa narasumber, terutama dari Ma Erah dan Kang Ubed, saya lupa. Apakah karena saat itu saya terbiasa mendengarkan bapak yang kerap memutar lagu-lagu calung Darso yang di dalamnya banyak terdapat sisindiran? Apakah ini juga membuktikan jejak yang ditinggalkan kebiasaan mendengarkan wayang golek di rumah Mang Moon dan pengalaman menontonnya secara langsung? Atau karena pengaruh buku pelajaran bahasa Sunda saat sekolah dasar? Saya tidak tahu persisnya yang mana. Barangkali karena kelindan semuanya.

Baca Juga: Geografi Ingatan (8): Bungkus Pindang dan Jelajah Jarian
Geografi Ingatan (7): Lintasan Lakon Wayang
Geografi Ingatan (6): Terima Kasih, Bu Umin dan Bu Euis!

Sisindiran

Yang persis saya ingat adalah saya datang ke rumah Ma Erah seraya membawa buku catatan. Rumahnya berada di tepi Jalan Raya Cicalengka-Majalaya, persis di seberang mulut gang ke Babakan Sukajadi. Tetapi lagi-lagi lupa, bagaimana mulanya saya bisa membawa catatan dan memohon kepada Ma Erah untuk merapalkan pelbagai khazanah tradisi lisan Sunda yang diingatnya, bahkan hingga sisindiran yang berkaitan dengan zaman penjajahan Belanda? Apakah karena waktu itu, ia sudah termasuk sangat tua? Namun, hingga kini, meskipun nampaknya lahir pada zaman kolonialisme Belanda, yang membayang di mata saya adalah rambut Ma Erah yang masih hitam tetapi dengan mulut yang sudah tak bergigi.

Saya buka kembali buku tulis dari rumah Ma Enting. Di dalamnya terbaca sisindiran yang saya timba dari Ma Erah. Di antaranya yang menunjukkan suasana penjajahan Belanda dapat dibaca dari sisindiran berikut: “Eta kitri ti nona, cadas batu jalan besar, eta teh istri ti mana, bodas huntu can digusar”. Kata-kata yang menunjukkan bahwa pantun berbahasa Sunda tersebut berasal dari zaman Belanda adalah “jalan besar” yang sama dengan jalan raya, dan adat kebiasaan “ngagusar” atau meratakan gigi. Demikian pula dengan sisindiran berikut: “mobil waja kahuruan, ditulungan ku elbede, ulah waka timburuan, urusan aya di lebe”. Kata “elbede” tentu saja berasal dari “LBD” yang merupakan kependekan dari Light Buscherming Dienst, semacam hansip yang didirikan pemerintah kolonial Belanda untuk menghadapi kedatangan Jepang.

Sementara dari Kang Ubed, tetangga dan muazin di Babakan Sukajadi, saya mencatat beberapa sisindiran yang lucu-lucu. Dua di antaranya adalah “Lamun aing meuli kuda, tong talangke kana perang, lamun aing geus jadi duda, pasti awewe loba nu datang” dan “tarik angin ngadalingding, nebakna kana pare beukah, tarikan kawin lanjang-linjing, teu boga duit keur ipekah”.

Dalam buku yang sama, saya memasang kliping rubrik kosa kata Sunda dari media Sunda, terutama dari SC dan Galura, terbitan antara tahun 1992 hingga 1993. Barangkali ini merupakan hasil saya mengaduk-aduk tempat sampah dan memulung kertas-kertas bekas, atau bisa jadi pula sebagai hasil meminta kepada tetangga atau kawan-kawan yang kebetulan memilikinya tetapi tidak lagi digunakan.

Betapapun, buku tulis dari rumah Ma Enting dapat mengawetkan kenangan pada beberapa minat yang timbul dalam diri saya sejak kelas enam sekolah dasar hingga kelas dua SMP. Namun, di sisi lain, alasan-alasan dan prosesnya dapat timbul, tidak lagi dapat dikenang, karena barangkali hal-hal demikian masih belum terpikirkan saat itu. Karena barangkali yang terpenting waktu itu adalah tahu, bukan memahami alasan atau proses timbulnya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//