• Cerita
  • Geografi Ingatan (7): Lintasan Lakon Wayang

Geografi Ingatan (7): Lintasan Lakon Wayang

Saya dan bapak menonton hingga usai, yang berarti waktu menjelang subuh. Padahal saya ingat, pagi-paginya saya harus berangkat sekolah, bahkan ketika itu ada ujian.

Rumah Mang Moon, dipotret pada tahun 2011, terletak di sekitar rumah panggung berkapur putih (sebelah kanan). (Foto: Atep Kurnia)

Penulis Atep Kurnia21 Mei 2021


BandungBergerak.idHingga sekarang saya tetap suka kisah wayang, terutama dalam wayang golek. Lakon-lakon yang digelar para dalang, baik yang pakem maupun carangan, kebanyakannya sudah saya ketahui. Demikian pun asal-usul tokoh berikut kekerabatan dalam Ramayana dan Mahabharata yang menjadi babonnya. Misalnya kisah di balik kelahiran kakak-beradik Rahwana, Kumbakarna, Sarpakinaka, dan Wibisana yang berayahkan manusia, tetapi ibunya keturunan raksasa. Atau asal-usul kakak-beradik Subali, Sugriwa, dan Anjani berubah menjadi kera dan hanya mukanya yang kera. Itu dari Ramayana.

Dalam khazanah kisah Mahabharata antara lain ada pernikahan Bima dengan buta Arimbi yang melahirkan Gatot Kaca dan peristiwa ‘penipuan’ terhadap Resi Dorna atau Kombayana saat berkecamuknya perang antarketurunan Barata di Padang Kurusetra sehingga dia berhasil ‘dihabisi’ oleh Drestajumena. Dalam kesempatan tersebut, Yudistira yang titisan dewa keadilan pun tidak jujur sehingga kereta kudanya jadi agak terperosok.

Kisah-kisah carangan juga banyak yang mengendap di benak. Seperti asal-usul punakawan Semar dan Togog, berikut anak-anak mereka. Semar mempunyai anak Cepot alias Astrajingga alias Gurubug, Dawala alias Udel, dan Nala Gareng. Sementara anak Togog ada disebut-sebut Jaka Tamilung. Ditambah pula kisah pernikahan Cepot dengan anak Togog yang diwarnai adu jago antara ayah dengan ayah. Meskipun pada akhirnya, seperti pada kebanyakan kisah wayang golek, pemenangnya pasti Semar. Karena dialah dewa kemanusiaan atau dalang bilang “sem pengangken angken mar menyemaraken dat alam”. Sehingga siapa pun pasti kalah oleh Semar, kecuali melawan Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang, yang notabene ayah dan kakeknya.

Karena terdorong rasa ingin tahu, kerap kali saya mencari-cari perbandingannya dengan kisah aslinya dari India. Tentu saja dalam versi aslinya, tidak saya temukan kisah kakak-beradik Aswani Kumba dan Kumba Aswani yang merupakan anak kembar Kumbakarna. Mereka dipenjara oleh Rahwana, karena tidak mau berangkat ke medan perang melawan Rama-Laksmana serta pasukan kera dari Kiskenda. Namun, akhirnya, seiring munculnya ‘patriotisme’ dalam jiwa mereka, mereka rela hati berperang dan menemui ajal setelah di-adukumbang-kan oleh Anoman Perbancana Suta. Lalu mengenai identitas Srikandi yang sebenarnya, pernikahan Drupadi dengan Pandawa lima, dan kutukan Gandari yang menyebabkan kemusnahan Dinasti Yadawa.

Bila ditimbang-timbang sekarang, kegemaran saya terhadap lakon wayang golek itu berakar dari pengalaman berpuluh tahun di belakang. Paling tidak sejak zaman sekolah dasar (SD). Saya kira, saat itu saya bertemu dengan momen-momen yang mengakrabkan saya dengan kisah wayang. Di antaranya pengalaman menyimak pemutaran kaset atau siaran wayang golek di balai-balai rumah Mang Moon dan kala diajak bapak untuk menonton pagelaran wayang golek secara langsung. Juga barangkali ada momen lainnya.

Kaset dan Radio

Mang Moon adalah tetangga jauh. Rumahnya berada di ujung utara Kampung Babakan Sukajadi. Terpisah dengan beberapa kotakan sawah, rumahnya lebih dekat ke Kampung Miji, di sebelah barat Babakan Sukajadi. Seperti kebanyakan rumah di kampung saya waktu itu, rumah Mang Moon adalah rumah panggung. Rumahnya menghadap ke selatan, ke persawahan tadah hujan atau sawah guludug, sehingga kerap kali dijadikan kebun. Bagian belakang rumahnya berada di pinggir selokan yang ditumbuhi pepohonan, seperti rumpun bambu dan tangkal waru. Di seberang selokan terhampar sawah yang luas dari barat ke timur, terbelah Astana Gede, lalu masing-masing kanan-kiri persawahan itu berujung di tepi Jalan Raya Cicalengka-Majalaya.

Kalau tidak salah, Mang Momon bekerja sebagai bas alias tukang kayu, selain nyambi pula bekerja di sawah dan kebun. Dari pernikahannya dengan Ceu Isah, Mang Moon tidak beroleh anak. Itu sebabnya hingga tua mereka tinggal berdua saja. Anak-anak yang bertandang ke pekarangannya agaknya menyebabkan mereka bahagia.

Salah seorang anak yang kerap menyambangi rumahnya adalah saya. Waktu itu bapak saya punya domba dan saya kebagian tugas menggembalakannya, termasuk mencari rumput untuk pakannya. Nah, saat jadi gembala domba dan dalam kerangka mencari rumput itulah saya jadi kerap pergi agak jauh dari rumah. Menyambangi persawahan, tegalan, bahkan pemakaman di sekitar Babakan Sukajadi dan Peundeuy. Termasuk ke sekitar rumah Mang Moon.

Salah satu kebiasaan Mang Moon saat senggang adalah memutar kaset wayang golek atau menyetel radio yang menyiarkan wayang golek. Barangkali kala mencari rumput dan menggembala domba itu, saya kerap berteduh atau mengaso di balai-balai depan rumah Mang Moon. Karena seringnya tanpa sengaja mendengarkan, saya jadi terbiasa dengan lakon-lakon wayang golek.

Yang tetap terkenang hingga sekarang, saya duduk di balai-balai itu menghadap ke lahan yang ditumbuhi ubi jalar dengan daun-daunnya yang hijau dan gemuk. Sementara udara sore sudah tidak terlalu panas dan angin sepoi-sepoi terus bertiup dari belakang rumah.

Baca Juga: Geografi Ingatan (6): Terima Kasih, Bu Umin dan Bu Euis!
Geografi Ingatan (5): Deni Manusia Ikan di Rumah Kang Sarman
Geografi Ingatan (4): Gambar Umbul

Pentas Wayang Golek dan Komik R. A. Kosasih

Momen lainnya yang terus membekas dalam ingatan saya adalah saat diajak bapak menonton wayang golek di Kampung Lio, sekitar 500 meter arah selatan dari kampung saya. Namun, saya lupa lagi siapa dalang yang mementaskan kisahnya. Barangkali bila tidak Ade Kosasih Sunarya pasti Asep Sunandar Sunarya. Namun, yang persis saya ingat adalah panggung pementasannya berada di tepi Jalan Raya Cicalengka-Majalaya, agak dekat dengan pabrik tekstil tempat saya sempat bekerja selama delapan tahun selepas SMA.

Saya juga lupa apa lakon wayang yang dimainkan oleh sang dalang waktu itu. Tetapi yang terus mengesankan saya hingga sekarang adalah kepala kerbau yang dipasang di tiang panggung. Betapa besar kepala kerbau yang menclok di atas itu. Bola-bola matanya mencolok. Aneh pula melihat kerbau tanpa badan, karena berbeda dengan yang saya saksikan setiap hari di penggembalaan atau di kandang kerbau yang ada di Kampung Miji. Saya dan bapak menonton hingga usai, yang berarti waktu menjelang subuh. Padahal saya ingat, pagi-paginya saya harus berangkat sekolah, bahkan ketika itu ada ujian.

Adakah momentum lainnya yang mendekatkan saya kepada kisah wayang? Selain melalui Mang Moon dan bapak, saya baru teringat komik-komik wayang yang sempat saya lihat di rumah Mang Ipin, suami Mamah Mimin, tetangga termasuk kerabat saya. Komik-komik wayang tersebut bila saya ingat-ingat sekarang merupakan buah karya sang maestro R. A. Kosasih. Di antara gambaran yang terus terlintas dalam kenangan saya adalah hutan yang lebat dengan pepohonan besar berjanggut, Sokasrana yang berkepala besar dan hendak turut ke Maespati, dan Arjuna Sastrabahu yang berubah menjadi raksasa saat Somantri menolak menyerahkan putri hasil sayembara.

Ah, lintasan-lintasan pengalaman itu bermunculan kembali. Kepala ini serasa memuntahkan kembali momen-momen yang sudah berlalu puluhan tahun. Betapa hidup! Lintasan-lintasan itulah yang memang mendekatkan saya dengan lakon wayang hingga sekarang.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//