• Cerita
  • Geografi Ingatan (4): Gambar Umbul

Geografi Ingatan (4): Gambar Umbul

Bagi saya pribadi, bukan permainan-permainan tersebut yang sungguh-sungguh membetot perhatian, melainkan pesona gambarnya sendiri.

Umbul adalah rangkaian kotak persegi panjang kecil yang masing-masing berisi gambar dalam selembar kertas. Umbul bisa digunakan dalam berbagai permainan, di antaranya adu alung, cecemean, dan enclo-encloan. (Sumber: koleksi Atep Kurnia)

Penulis Atep Kurnia30 April 2021


BandungBergerak.id - Bagi generasi saya yang lahir pada akhir tahun 1970-an atau sebelumnya, gambar umbul adalah satu permainan yang barangkali niscaya. Umbul adalah rangkaian kotak persegi panjang kecil yang masing-masing berisi gambar dalam selembar kertas. Biasanya ada pokok atau tema untuk rangkaian gambar tersebut. Misalnya seri tokoh-tokoh wayang, buah-buahan, atau satwa. Tapi ada juga yang berupa kisah naratif sehingga mirip semacam komik strip mini. Jumlah gambar dalam kertas tersebut ada yang 50 kotak, 36 kotak, dan lain-lain, yang diberi nomor.

Saya sendiri mengalaminya pada era 1980-an. Setelah masing-masing gambar dalam lembar kertas tersebut digunting, dipotong, dicerai-beraikan, terpisah menjadi kotak satuan, gambar-gambarnya dijadikan permainan oleh saya dan teman-teman sebaya. Di antara permainan-permainan tersebut, paling tidak yang saya ingat sekarang adalah “adu alung”, “cecemean”, dan “enclo-encloan”.

Pada permainan “adu alung”, biasanya saya dan kawan-kawan – bisa berdua, bertiga, atau lebih – masing-masing mengumpulkan satu kotak gambar yang telah digunting. Salah seorang di antara kami kemudian melemparkan kumpulan gambar tersebut ke udara. Gambar yang terjatuh ke tanah dengan posisi “nangkub” (tertelungkup) berarti kalah, sementara gambar yang “nangkar” (telentang) berarti dapat melanjutkan permainan atau dinyatakan menang bila pemainnya hanya berdua.

Pada permainan “cecemean” dan “enclo-encloan”, ada yang bertindak sebagai bandar. Tugasnya menyediakan tumpukan gambar dan mengocoknya, lalu membagikannya kepada para pemain termasuk bandar sendiri – bisa berdua, bertiga, atau lebih – masing-masing dua gambar. Pemain dengan jumlah penambahan angka-angka pada gambarnya masih dirasa kecil, misalnya 49+41 yang berarti 0 atau 16+26 yang sama dengan 2, perlu menambah satu lagi dari kartu kocokan. Itulah angka final bagi sang pemain. Sementara terhadap pemain yang merasa nilai angkanya sudah besar, misalnya 20+28=8 atau mencapai nilai paling tinggi yakni 9 atau istilahnya “cike”, maka sang pemain akan mengatakan “cukup”. Tinggal hasil akhirnya ditentukan oleh nilai akhir sang bandar. Bila lebih dari pemain lain, maka semua taruhan menjadi miliknya. Namun, bila hasilnya kurang dari pemain, si bandar harus “membayar” taruhan para pemain.

Demikian pula dalam permainan “enclo-encloan”. Nilai tertinggi yang dijadikan patokan adalah angka 9. Bedanya dalam permainan ini, bandar akan memisah-misahkan tumpukan gambar yang telah dikocok dalam beberapa gundukan, bergantung kepada jumlah pemain yang ikut. Para pemainnya memasang taruhan sejumlah gambar yang dikehendakinya pada masing-masing gambar. Setelah bandar mempersilakan mengangkat dan menujukkan gambar paling bawah, maka dapat diketahui masing-masing nilai angka yang diperoleh oleh seluruh pemain. Bila angka yang diperoleh bandar lebih besar dari semua pemain, maka semua taruhan diambil olehnya. Tetapi bila lebih kecil dari para pemain, ia harus membayar taruhan yang dipasang para pemain.

Dalam permainan-permainan itu, kerap kali terjadi pertengkaran. Bisa jadi karena bandar dianggap melakukan kelicikan, atau karena ada pemain yang berlaku curang.

Namun, bagi saya pribadi, bukan permainan-permainan tersebut yang sungguh-sungguh membetot perhatian, melainkan pesona gambarnya sendiri. Saya sangat terkesan dengan adegan-adegan dalam umbul yang berupa kisah naratif. Salah satunya yang paling membekas pada ingatan saya adalah adegan orang yang menggunakan pakaian selam tengah berada di dalam lautan. Meski saat itu saya belum bisa membaca, kata “Kapten Roy” terus mengiang-ngiang dalam kepala saya hingga sekarang. Kemudian gambar buah-buahan tertentu dan satwa yang apabila punya kesempatan melihatnya lagi, bisa dipastikan saya dapat mengenalinya kembali.

Baca Juga: Geografi Ingatan (3): Ceu Eja dan Anak-anaknya
Geografi Ingatan (2): Gambar Ganjal Rak
Geografi Ingatan (1): Dari Selembar Potret Lawas

Mengenang Kembali

Setelah terpaut waktu tiga dasawarsa lebih, dalam keadaan ‘rindu rupa’ terhadap gambar-gambar umbul yang dulu biasa dipermainkan pada masa kecil, pada Desember 2016 saya punya kesempatan mengenangkannya kembali secara nyata. Saat itu, saya melihat Benu Oemah Oemboel (Ibnu Wibi Winarko) dari Yogyakarta menawarkan umbul dalam media sosial Facebook dan blog pribadinya. Meski lumayan mahal harganya, demi nostalgia itu saya jadi membeli beberapa lembar di antaranya. Terutama yang paling berkesan bagi saya pribadi, yaitu “Adventures in Paradise: Serial TV”, “Rin Tin Tin Baru”, dan “Kelompok Binatang 3”. Khususnya dari “Adventures in Paradise” saya jadi tahu bahwa kisahnya tentang Kapten Troy, bukan Kapten Roy yang teringat sebelumnya.

Lebih dari itu, karena Benu bukan hanya kolektor dan penjual umbul, tetapi juga penulis buku-buku di sekitar umbul, saya membeli salah satu karyanya yang saya pikir dapat menjelaskan mengenai riwayat kehadiran umbul di Indonesia. Judulnya Gambar Oemboel Indonesia (2010).

Menurut Benu (2010: 8-10), istilah umbul digunakan di Jawa Tengah dan Yogyakarta, yang berarti cara memainkannya diumbulke atau dilemparkan ke angkasa. Di daerah lain, digunakan isitilah lain, yakni gambaran atau tjap di Betawi dan Cirebon, wayangan di Jawa Timur, bajang di Madura, sikang di Batak, dan gagambaran dalam Sunda. Namun, seingat saya, di Bandung kala itu, umbul dikenal sebagai gambar saja. Selain di Indonesia, permainan ini dikenal di Malaysia dan Filipina, yang disebut sebagai Malaysian Cards dan Phillipines Cards. Kemunculannya di Indonesia ditengarai sejak 1930-an.

Mengenai proses kemunculannya, Benu mengajukan beberapa hipotesa. Pertama, menurutnya dari cigarette cards atau kartu rokok atau wayang rokok, yang mulanya dikenal di Eropa dan Amerika sejak 1870-an dan digunakan sebagai hadiah atau sisipan dalam kemasan rokok. Kedua, berhubungan dengan komik, yang awalnya muncul sejak 1890-an. Ketiga, penggabungan konsep kartu rokok dengan komik (Winarko, 2010: 12-15).

Untuk periodisasi perkembangan umbul, Benu (2010: 16-43) membaginya menjadi beberapa tahapan waktu, yaitu 1940-1950 yang dianggapnya sebagai periode awal munculnya umbul yang sebenarnya, antara lain berupa seri Petruk-Gareng, film-film, dengan jumlah gambar antara 9 hingga 90 kotak, disusul periode 1950-1960, 1960-1970, 1970-1980, 1980-1990, 1990-2000, serta 2000- sekarang. Dari periodisasi tersebut, umbul yang saya miliki dan mainkan di masa kecil adalah produksi peralihan dari masa 1970-1980 ke masa 1980-1990. Dan setelah membaca buku Benu ini, saya jadi tahu bahwa umbul-umbul yang saya gandrungi itu dihasilkan oleh Gunung Kelud (GK) dan Murni (M), dua pabrik besar berbasis di Surabaya yang sejak pertengahan 1970-an mendominasi produksi umbul (Winarko, 2010: 52).

Sejak mendapatkan gambar dan buku umbul dari Benu, saya beberapa kali lagi ketagihan membeli umbul. Ada beberapa lagi dari Benu, tetapi ada beberapa dari pelapak lain, plus umbul acak dari beberapa seri yang sudah dipotong dan diikat karet. Koleksi saya kini baru sebelas lembar ditambah dua ikatan. Dengan demikian, apakah saya masih tetap merindukan umbul? Sejujurnya, saya tetap merindukan pesona gambar-gambar lainnya, ditambah hasrat mengetahui yang tertulis dalam narasinya, karena dulu belum bisa membacanya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//