• Cerita
  • Geografi Ingatan (2): Gambar Ganjal Rak

Geografi Ingatan (2): Gambar Ganjal Rak

Biasanya saya menggambar dengan arang, bekas kayu bakar, di tembok rumah Haji Azizi, orang paling kaya di kampung.

Tokoh kartun yang digambar ketika kelas satu sekolah menengah pertama pada tahun 1992. (Gambar: Atep Kurnia)

Penulis Atep Kurnia16 April 2021


BandungBergerak.idLipatan-lipatan kertas kumal dan kelabu terpacak di dasar rak. Sejumput kertas lusuh yang menjadi ganjal sudut depan rak itu terus hidup dalam kepala saya. Padahal sudah berlalu puluhan tahun. Raknya sudah lama tidak ada. Rumahnya pun sudah berubah.

Dulu ketika saya belum sekolah, rak itu merupakan rak satu-satunya di rumah. Di sanalah segala benda keperluan rumah tangga ditaruh: pakaian di bagian bawah, piring dan gelas di bagian atas terlindungi kaca yang pecah sebelah, makanan, dan belakangan ditambah televisi hitam putih.

Rumah yang menampung rak itu merupakan rumah kedua tempat saya tinggal. Sebelumnya bapak dan emak tinggal di rumah nenek, persis di depan rumah baru yang didirikan nenek untuk keluarga saya, pada awal tahun 1980-an. Selama tinggal di rumah nenek, sebelum pindah ke rumah baru, saya punya kenangan buruk yang membekas hingga sekarang. Jejaknya masih ada di bawah lutut.

Sewaktu tinggal di rumah nenek, bapak pernah beternak ayam petelur. Lamat-lamat saya teringat pernah turut menjumput telur-telur yang dihasilkan oleh ayam piarannya. Waktu itu tempat tidur saya dan keluarga berupa ranjang besi agak tinggi dengan sudut-sudutnya yang runcing. Saya suka bermain-main di situ. Suatu hari entah mengapa saya terpeleset pada ujung ranjang. Malangnya, sebelum terjatuh ke lantai, bagian bawah lutut mengenai bagian lancip.

Tentu banyak darah yang keluar dari luka. Saya lalu dibawa ke Rumah Sakit Cicalengka. Setelah dibersihkan, lukanya dijahit. Kalau tidak salah, ada tujuh jahitan. Tetapi barangkali karena kena infeksi, karena terlalu banyak bermain di luar, kena air, debu dan lain-lain, lukanya jadi lama mengering dan kian membesar. Oleh karena itu, jejaknya jadi pitak di lutut, yang hingga sekarang bila tersentuh tangan masih terasa linu, ngilu. Itulah sebabnya mengapa bila melihat bekas luka tersebut, saya teringat pada rumah nenek.

Pada awal tahun 1980-an, nenek membuatkan rumah baru untuk keluarga saya. Letaknya ada di dalam gang yang dulu pernah dikasih nama Gang Mawar. Jaraknya terpisah satu lahan kosong dari mulut Jalan Raya Cicalengka-Majalaya dan satu rumah kerabat. Rumahnya panggung berlantai kayu papan dan menghadap ke utara. Atapnya hampir bersambung dengan atap rumah nenek. Bagian dapurnya berlantai “palupuh” (lantai dari bambu) lengkap dengan “hawu” (tungku tanah, batu bata), “parako”, dan kayu bakar di pinggirnya. Bagian bawahnya berupa kolong yang biasanya kosong, tidak dipagari, karena tidak difungsikan sebagai kandang ayam atau “entog”.

Di dalam rumah, ada ruang tengah. Di sana ada satu set kursi kayu yang diatur berkeliling dengan satu meja di tengah-tengahnya. Di depan ruang keluarga tersebut ada kaca dan pintu serta di luarnya, di depan jalan gang, ada “golodog” kayu, tempat nongkrong dan bermain kami. Sementara di belakang ruang tengah ada dua kamar tidur berdampingan, kiri dan kanan. Keduanya tidak berpintu, hanya ditutupi “reregan” (tirai) dari kain. Kamar sebelah kiri untuk orang tua, sedangkan yang kanan adalah kamar tidur saya dan adik-adik. Kadang-kadang teman sepermainan, anak-anak tetangga, turut pula menginap di kamar saya.

Nah, rak yang diberi ganjal lipatan kertas kumal di kaki sebelah kanannya itu terletak di depan kamar orang tua dan saya. Lipatan kertas itu terus bertahan selama bertahun-tahun dan saya terus memendam kerinduan untuk kembali dapat membukanya. Mengapa demikian terpukau oleh sejumput lipatan kertas? Karena pada lipatan-lipatannya berisi gambar-gambar yang dibuat oleh adik laki-laki ibu, Mang Leman (Sulaeman), sekaligus menandai awal ketertarikan saya pada dunia gambar.

Pada usia prasekolah itu, saya selalu terkagum-kagum oleh hasil gambar Mang Leman yang saat itu masih ada di bangku sekolah dasar. Dalam pandangan saya waktu itu, bisa jadi, gambar-gambar buatan Mang Leman demikian bagusnya. Oleh karena itu, bila ada kesempatan bertandang ke Cikamuning, ke kampung asal ibu, saya akan senantiasa meminta paman saya itu untuk membuat gambar. Gambarnya apa saja. Pemandangan, binatang, dan lain-lain. Apabila sudah ada dalam buku gambarnya, saya akan memintanya dan membawanya ke Tanjunglaya. Himpunan gambar yang saya kumpulkan itulah yang kemudian dijadikan ganjal rak oleh ibu atau bapak.

Baca Juga: Geografi Ingatan (1): Dari Selembar Potret Lawas

Suka Menggambar

Pada gilirannya, saya juga jadi suka menggambar. Seingat saya, biasanya saya menggambar dengan arang, bekas kayu bakar, di tembok rumah Haji Azizi, orang paling kaya di kampung. Tembok belakangnya memang berbatasan langsung - batas sebelah timur - dengan rumah nenek, berupa lahan yang ditumbuhi dua pohon mangga. Pada tembok tinggi berkapur putih tersebut, saya biasanya menggambar apa saja. Barangkali dengan tidak sadar mendedahkan kembali apa saja yang terlihat dari gambar-gambar buatan Mang Leman. Gambar pemandangan dua gunung dengan matahari terbit di tengah-tengahnya, jajaran pohon kelapa yang daun-daunnya seakan melambai-lambai, atau gambar-gambar binatang seperti burung dan monyet.

Ketika tiba saatnya masuk sekolah dasar di SDN 1 Tanjunglaya, sekitar 300 meter sebelah selatan dari rumah, saya kian suka menggambar. Bagian belakang buku catatan - kalau tidak pada buku gambar seukuran A5 yang waktu itu umum digunakan - biasanya jadi tempat yang terlebih dulu saya gambari. Apalagi di antara kawan sekelas ada seorang yang pandai sekali menggambar, Aep namanya. Dalam pandangan saya waktu itu, bahkan masih terbayang sekarang, gambar-gambar buatan Aep sangat mirip dengan apa-apa yang digambarkannya. Lamat-lamat saya ingat, gambar-gambar yang dibuatnya di sekitar tokoh-tokoh film kartun yang ditayangkan di TVRI. Atau bila dia menggambarkan pepohonan, alam, nampak sangat mirip dengan realitasnya.

Pesona dunia gambar itu terus bertahan, paling tidak, hingga kelas 6 sekolah dasar. Karena sejak kelas 1 sekolah menengah pertama, saya mulai tertarik pada dunia lain berupa jagat aksara sekaligus kelisanan. Ketertarikan tersebut memang berlangsung secara perlahan, bertahap, karena benih-benihnya sudah muncul sejak masih di sekolah dasar. Kawan-kawan sepermainan saya yang umurnya lebih tua dan masuk sekolah menengah pertama yang menjembataninya. Mereka sedang “keranjingan” buku-buku berisi kumpulan fakta, berupa RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap), yang saat itu sedang ngetren. Oleh karena itu, secara sadar atau tidak, saya jadi turut menghafal nama-nama ibu kota, mata uang, presiden, dan lain-lain. Sekarang pun saya masih mengingat sebagian apa yang dulu pernah dihafalkan itu.

Itulah pergeseran dari dunia gambar ke jagat aksara yang saya alami ketika sekolah dasar. Sisa pergeserannya masih dapat dilihat pada buku catatan saya zaman kelas satu sekolah menengah pertama. Di bagian belakangnya masih ada gambar yang saya buat. Gambarnya tokoh kartun yang bila dilihat-lihat lagi sekarang tampak sekali kurang berhasil meniru modelnya. Betapapun, inilah pengaruh yang antara lain ditanamkan oleh gambar-gambar Mang Leman yang berakhir jadi ganjal rak.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//