Geografi Ingatan (3): Ceu Eja dan Anak-anaknya
Nah, melalui pergaulan dengan anak-anak Ceu Eja tersebut, saya jadi punya kesempatan untuk pertama kalinya berkenalan dengan dunia buku.
Penulis Atep Kurnia23 April 2021
BandungBergerak.id - Saya menyebutnya Ceu Eja, padahal menurut silsilah keluarga seharusnya memanggilnya nenek karena dia adalah salah seorang anak dari adik buyut saya. Ibunya, Eneh Nalsih, adalah adik Nini Emeh, buyut saya. Jadi posisi Ceu Eja bagi saya adalah “nini ti gigir” karena setara dengan nenek saya dari pihak ayah.
Sebelum saya masuk sekolah dasar, rumah Ceu Eja berdekatan dengan rumah saya. Letaknya berada di depan rumah saya, sebelah kiri. Terhalang rumah Ceu Idah dan Mamah Mimin, dua adik Ceu Eja. Memang tempat tinggal keturunan kakak-beradik Nini Emeh dan Eneh Nalsih ini dulu letaknya saling berdekatan. Rumah-rumahnya memanjang dari depan Jalan Raya Cicalengka-Majalaya ke sepanjang tepi kanan-kiri Gang Mawar.
Sayangnya, saya tidak tahu persis asal-usulnya hingga demikian. Barangkali apa yang saya dengar dari mendiang mertua saya menjadi titik terangnya. Konon pada tahun 1950-an hingga awal tahun 1960-an, saat pemberontakan Darul Islam berkecamuk di Jawa Barat, daerah Kecamatan Cikancung yang merupakan daerah pergunungan termasuk daerah yang tidak aman karena menjadi basis bagi “gorombolan”. Oleh karena itu, penduduknya banyak yang mengungsi ke daerah pedataran, misalnya ke sepanjang Jalan Raya Cicalengka-Majalaya. Keluarga ayah mertua saya konon sempat mengungsi ke Cikuya, Kecamatan Cicalengka.
Bila dikaitkan dengan keluarga buyut saya dan Eneh Nalsih, kayaknya ceritanya tidak jauh berbeda. Karena yang sempat saya dengar, mereka juga mulanya berasal dari daerah pergunungan di sekitar Cikancung. Besar kemungkinan mereka sama-sama berasal dari Cikamuning, tempat asal ibu saya. Dari pihak Eneh Nalsih, ternyata masih tersisa kerabat di Cikamuning dan setahun sekali, saat hari Lebaran, mereka punya kebiasaan “nadran” atau “nyekar” ke permakaman yang ada di Cikamuning.
Alhasil, saya termasuk berkerabat dengan keluarga Eneh Nalsih. Nah, Ceu Eja adalah anak perempuan kedua dari Eneh Nalsih, setelah anak pertama mereka, Ceu Rokayah, disusul oleh Kang Ujang, Ceu Idah, dan terakhir Mamah Mimin. Di antara anak-anaknya tersebut, hanya Kang Ujang yang tidak tinggal di Tanjunglaya, melainkan bekerja dan tinggal di Bogor.
Karena rumah keluarga saya dan keluarga besar Eneh Nalsih saling berdekatan, tidak heran bila sejak kecil saya banyak bermain di sekitar rumah mereka. Saya bermain dengan anak-anaknya, terutama dengan anak-anaknya Mamah Mimin karena ada yang umurnya masih sebaya atau di bawah saya. Teringat jelas, saya pernah dipotret oleh atau atas suruhan Kang Ipin, suami Mamah Mimin yang bekerja sebagai mandor atau kontraktor bangunan. Dalam potret tersebut, saya berdiri sambil menyandang mainan senjata laras panjang yang bila digerakkan pemicunya akan menimbulkan bunyi meraung-raung dan lampunya menyala merah. Sayang, potret tersebut tidak sempat saya simpan. Tetapi ingatan terhadapnya tetap membekas di kepala.
Dengan keluarga Ceu Eja, saya terutama bergaul dengan anak-anaknya yang sudah bersekolah. Dari pernikahannya dengan Kang Udin, yang bekerja sebagai tukang jagal hewan di Pasar Cicalengka, Ceu Eja mempunyai anak Icang, Enok, Eyeng, Olin, dan Aded. Waktu itu Icang, Eyeng, dan Aded semuanya sudah sekolah, barangkali sudah ada yang duduk di SMP dan SD. Karena ketiganya bersekolah, tentu saja di rumah mereka tersedia berbagai buku untuk mata pelajaran dan bacaannya di sekolah. Barangkali berbagai buku tersebut adalah pinjaman dari sekolahnya masing-masing. Nah, melalui pergaulan dengan anak-anak Ceu Eja tersebut, saya jadi punya kesempatan untuk pertama kalinya berkenalan dengan dunia buku.
Baca Juga: Geografi Ingatan (2): Gambar Ganjal Rak
Geografi Ingatan (1): Dari Selembar Potret Lawas
Dari Gambar ke Teks
Dalam banyak kesempatan bertandang ke rumah Ceu Eja, saya paling suka membuka-buka lembaran buku. Karena waktu itu saya belum sekolah dan belum bisa membaca, saya tidak tahu judul-judulnya. Barangkali berkaitan dengan buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Bahasa Indonesia, dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang dipinjam dari sekolah anak-anak Ceu Eja. Yang pasti ingat adalah saya sangat menikmati gambar-gambar yang tersaji di dalamnya.
Seperti yang sebelumnya sempat saya tulis, ketertarikan saya mula-mula adalah pada dunia gambar. Dengan hasil-hasil gambar Mang Leman yang saya kumpulkan, ditambah perkenalan dengan buku-buku di rumah Ceu Eja, saya jadi kian kesengsrem pada dunia yang berkaitan dengan seni lukis tersebut.
Itu sebabnya sejak itu hingga sekarang saya tetap menaruh minat pada gambar-gambar, ilustrasi-ilustrasi, lukisan-lukisan, terutama yang mendekati kenyataan. Seperti ketertarikan saya pada dunia naturalisme, romantisme, “mooi Indie” alias Hindia Molek dan realisme yang dibawakan Leonardo da Vinci, Rembrandt, Eugene de Lacroix, A. J. Payen, Raden Saleh, Walter Spies, Norman Rockwell, Barli, Dajat Hardjakusumah, dan lain-lain. Termasuk saya menyukai “dunia yang memuai” pada karya lukis Salvador Dali dan Sudjana Kerton karena tetap menampilkan kenyataan meski “lebih kritis”.
Barangkali memang demikianlah mulanya seorang anak berkenalan dengan dunia buku. Buku-buku yang diperuntukkan anak-anak pada mulanya mengandalkan gambar-gambar dengan hanya sedikit narasi. Gambar-gambar tersebut sudah menjelaskan dengan gamblang apa-apa yang hendak disampaikannya. Sementara narasi pada awalnya mirip seperti keterangan bagi gambar atau semacam pemandu belaka, karena pesannya sudah sepenuhnya disajikan dalam gambar. Barangkali ini pula yang menerangkan mengapa anak-anak selalu tertarik kepada buku komik.
Namun, dunia gambar kemudian kian berkurang seiring bertambahnya umur anak dan narasi yang semula terbatas menjadi kian banyak. Pesona pada gambar menjadi surut ke belakang, digantikan dengan rangkaian teks yang mengharuskan benak bekerja lebih keras untuk mengolahnya hingga akhirnya memberikan pengertian. Dengan begitu, posisi gambar dengan narasi jadi terbalik. Gambar hanya menjadi ilustrasi atau ornamen bagi teks.
Kembali kepada Ceu Eja dan anak-anaknya. Pada akhir 1980a-an atau awal 1990-an, mereka pindah ke kampung sebelah timur Babakan Sukajadi, terpisah oleh “rorogan” sawah milik keluarga Haji Azizi. Kampung yang dipindahinya merupakan kampung baru yang dinamai Kampung Babakan Garut karena sebelumnya berupa ladang dan sawah yang kerap kali ditumbuhi oleh “cucuk garut”. Di kampung tersebut juga ada permakaman kecil yang disebut Astana Leutik, berhadapan dengan pemakaman besar sehingga disebut Astana Gede.
Meski tidak sesering ketika masih di Babakan Sukajadi, saya tetap suka bertandang ke rumah Ceu Eja. Maksudnya tentu saja, selain bermain, adalah melihat-lihat buku-buku yang dimiliki oleh anak-anaknya.