Geografi Ingatan (6): Terima Kasih, Bu Umin dan Bu Euis!
Cara mengajarnya dengan dieja, seperti “ini budi” yang dieja “i-en-ni” yang menjadi “ini” dan “eb-bu-ed-di” menjadi “budi”.
Penulis Atep Kurnia14 Mei 2021
BandungBergerak.id - Sejak 21 Juli 1986, secara resmi, saya tercatat sebagai murid kelas satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) Tanjunglaya I. Tanggal tersebut saya ketahui saat membuka-buka lagi buku rapor semasa SD. Jumlah murid yang sekelas dengan saya, di kelas A, sebanyak 26 orang, sementara kelas B-nya kira-kira tidak jauh dari jumlah tersebut karena pada kelas-kelas selanjutnya, murid-murid di angkatan saya disatukan dan jumlahnya mencapai 43 orang.
SDN Tanjunglaya I, tempat saya belajar selama enam tahun, berada di dekat perempatan Warunglega, sekitar 300 meter sebelah selatan dari tempat saya tinggal, Kampung Babakan Sukajadi. Dari perempatan Warunglega yang berada di tepi Jalan Raya Cicalengka-Majalaya, orang dapat menuju ke Majalaya bila lurus ke depan. Bila belok ke kiri akan tiba ke wilayah Kecamatan Cikancung. SDN Tanjunglaya 1 berada di sebelah kanan perempatan Warunglega, di Jalan Desa Tanjunglaya, yang memungkinkan perjalanan hingga ke wilayah Tanjunglaya, Lemburgede, Cibeas, dan lain-lain.
Perempatan Warunglega dapat dikatakan pusat pertemuan dan kehidupan ekonomi warga desa. Di situlah letak toko milik Kang Aja, Ceu Eti, Haji Oban, Haji Bisri, jongko Haji Iya yang menjual kue kenong dan kopi sebagai tempat nongkrong para tetua di kala pagi, dan puskesmas yang menyatu dengan balai desa. Nah, sekolah saya berada di samping kiri balai desa, diapit sekolah dasar yang lain di sebelah kanannya: SDN Tanjunglaya II. Selain itu, ada kompleks yang terdiri atas beberapa sekolah dasar di sebelah barat SDN Tanjunglaya II, terpisah puluhan rumah. Biasanya kompleksnya disebut SD Inpres.
Yang terkenang hingga sekarang, bangunan SDN Tanjunglaya 1 itu menghadap ke sebelah timur, di depan Jalan Desa Tanjunglaya. Bentuk bangunannya seperti huruf U. Di sayap kiri yang memanjang dari depan ke belakang adalah ruangan untuk kelas enam, kelas dua, dan paling belakang kelas satu. Di depan kelas dua, ada lonceng digantung dan biasanya ditabuh oleh pasapon, Mang Samin, bila waktu masuk kelas tiba, pukul tujuh pagi.
Di sela-sela antara sayap kiri dan bagian tengah ada ruang guru yang merangkap sebagai perpustakaan sekolah. Persis di bagian tengah ada bangunan tinggi dan berjendela tinggi untuk ruang kelas tiga, barangkali peninggalan satu-satunya yang tersisa dari zaman Hindia Belanda. Di sebelah kanannya adalah ruang kelas empat dan yang menjadi sayap sebelah kanan adalah ruangan untuk kelas lima. Di pekarangan sekolah tumbuh sebatang pohon pinus yang tinggi, buah-buahnya yang keras kerap dipungut dan dijadikan mainan oleh saya dan kawan-kawan.
Guru kelas satu yang mengajar saya dan kawan-kawan adalah Bu Umin. Saat itu usianya sudah termasuk sepuh, barangkali sudah masuk masa pensiun. Menurut penuturan bapak saya, ia juga diajar oleh Bu Umin ketika sekolah dasar di tempat yang sama, meski tidak tamat. Jadi ada jarak sekitar 20-an tahun saat bapak saya diajar oleh Bu Umin dengan saya yang belajar kepadanya. Oleh karena itu, bisa dimengerti mengapa saya dan kawan-kawan tidak diajar oleh Bu Umin hingga tamat kelas satu. Barangkali memang ia keburu pensiun.
Pengganti Bu Umin adalah Bu Euis Cucu. Agaknya Bu Euis saat itu baru pindah, entah dari mana. Dia mengontrak atau membeli rumah di Babakan Sukajadi, terpisah beberapa rumah di belakang rumah saya. Suaminya seorang polisi yang berdinas di Cicalengka, namanya Pak Dede. Pasangan tersebut saya ingat punya anak lelaki yang umurnya di bawah saya, yaitu Agung. Barangkali ia juga menjadi teman saya bermain. Yang pasti, untuk buku rapor saya masa belajar kelas satu (1986-1987) ditandatangani oleh Bu Euis Cucu. Dan seingat saya, ketika kelas tiga atau empat, keluarga Bu Euis pindah rumah ke kampung di sebelah utara, yakni ke Ridogalih.
Bu Umin dan Bu Euis dapat dibilang dua guru paling berjasa dalam kehidupan saya. Karena merekalah saya dapat membaca aksara Latin, yang manfaat kemampuannya tetap terasa bahkan terus digunakan hingga sekarang. Kemungkinan besar, saya memang bisa membaca melalui kedua guru tersebut, mengingat di rumah, baik emak maupun bapak nampaknya tidak sempat mengajari saya. Apalagi bapak memang tidak mampu membaca.
Baca Juga: Geografi Ingatan (5): Deni Manusia Ikan di Rumah Kang Sarman
Geografi Ingatan (4): Gambar Umbul
Geografi Ingatan (3): Ceu Eja dan Anak-anaknya
Belajar Membaca dan Berhitung
Seperti kebanyakan kawan segenerasi, saya diajari membaca dengan jalan mengeja (ngejah) dengan buku yang kini sudah dapat dibilang antik: Bahasa Indonesia: Belajar Membaca dan Menulis, jilid 1a hingga 1c. Karena mendapatkan lagi ketiga edisinya melaui pelapak di media sosial, saya jadi tahu bahwa buku tersebut diterbitkan dan dicetak untuk pertama kalinya oleh PN Balai Pustaka pada 1976.
Di dalam kata pengantar untuk cetakan pertama, antara lain, tertulis demikian, “Sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 144/M/1976 tanggal 25 Juni 1976, maka penerbitan ulangan (overprint) semua pelajaran hasil Proyek Paket Buku dalam lingkungan Departemen P dan K diselenggarakan oleh PN Balai Pustaka”.
Dalam kolofon tercatat pula tim penyusun naskah pelajaran tersebut, yaitu Ny. S. A. Ackbar (pengganggung jawab), Drs. A. S. Broto (ketua), Drs. M. Toyib Usman (sekretaris), dengan anggota-anggota sebagai berikut: Prof. I. P. Simandjuntak M. A., Anwar Jasin M. Ed., Drs. E. Karwapi, S. Ramdona B. A., Drs. S. Effendi, Drs. Harimurti Kridalaksana, Ny. Drs. S. Chamdiah, Ny. Murniati Basuki, dan Drs. Achmad Nuryani.
Dari susunan tersebut tidak terdapat nama Siti Rahmani Rauf (1919-2016) yang konon merupakan penulis asli naskah buku tersebut. Konon, sesudah pensiun sebagai Kepala Sekolah Dasar SDN Tanah Abang 5, Jakarta, dia ditawari oleh Departemen P dan K untuk menyusun pelajaran tersebut pada 1976. Dia tidak memungut bayaran untuk pekerjaannya tersebut karena semata-mata terdorong rasa cintanya kepada dunia pendidikan. Padahal dengan metodenya, pembelajaran struktur analitik sintesis (SAS), pelajaran bahasa Indonesia jadi terasa mudah dan menyenangkan.
Sumber informasi tentang Siti Rahmani kini banyak bertebaran di internet. Dengan mudah kita dapat membacanya dari Wikipedia, kanal YouTube, dan lain-lain. Namun, yang jelas, kalimat “Ini budi, ini ibu budi, ini bapak budi” pada halaman 5 Bahasa Indonesia: Belajar Membaca dan Menulis jilid 1a (1976: 5) menjadi demikian populer.
Ya, dengan ketiga jilid buku Bahasa Indonesia: Belajar Membaca dan Menulis itulah saya dan kawan-kawan diajari oleh Bu Umin dan Bu Euis agar dapat membaca dan menulis. Cara mengajarnya dengan dieja, seperti “ini budi” yang dieja “i-en-ni” yang menjadi “ini” dan “eb-bu-ed-di” menjadi “budi”. Setelah mampu mengeja, barulah saya dan kawan-kawan dapat narabas bacaan. Adapun cara menulisnya diperagakan di depan kelas, yakni menulis aksara tegak dan aksara sambung yang mula-mula tidak membedakan huruf besar atau kapital dengan huruf kecil.
Untuk pelajaran pertama berhitung, kami diajari untuk sedapat dan sebanyak mungkin membuat endog-endogan dan pager, yaitu gambar-gambar bulatan seperti telur yang sebenarnya untuk mewakili angka 0 dan gambar-gambar pagar tegak adalah cerminan angka 1. Selain itu, saya dan kawan-kawan disuruh membawa seikat potongan lidi. Masing-masing lidi dipotong sekitar 10 sentimeter sebanyak 100 potong dan biasanya diikat dengan karet gelang. Sumber lidi tersebut pasti diambil dari sapu lidi (sapu nyere) yang biasa digunakan untuk menyapu halaman. Untuk kelas satu SD, potongan lidi tersebut hanya digunakan untuk belajar menambah dan mengurangi.
Saya tengok lagi rapor SD. Untuk laporan prestasi kelas satu, pada catur wulan kedua saya mendapatkan rengking ke-3 dari 26 murid. Saya naik ke kelas dua pada 13 Juni 1987 dan rengking saya pun merangkak naik, sehingga pada kelas enam memperoleh rengking pertama dari 43 orang murid.
Kenaikan kelas dan prestasi tersebut sudah pasti tidak terlepas dari budi baik kedua guru kelas satu, Bu Umin dan Bu Euis. Merekalah yang berjasa ‘membukakan mata’ pada keluasan dunia ini. Terima kasih banyak, Bu Umin dan Bu Euis!