• Cerita
  • Geografi Ingatan (8): Bungkus Pindang dan Jelajah Jarian

Geografi Ingatan (8): Bungkus Pindang dan Jelajah Jarian

Saya begitu terpesona oleh album komik Pak Janggut dan Donald Duck yang dijadikan bungkus pindang keureut atau bandeng.

Buku Sunda, Pangeling-eling Bituna Gunung Galunggung, 5 April 1982 karangan Pa Uhi, yang saya temukan di Astana Gede, 30-an tahun yang lalu. (Sumber: koleksi Atep Kurnia)

Penulis Atep Kurnia28 Mei 2021


BandungBergerak.idBarangkali setiap anak akan sangat gembira bila diajak ibunya untuk belanja ke pasar. Bila tidak diajak sekalipun, pasti si anak akan merengek-rengek hendak turut. Malah bisa-bisa menangis sejadi-jadinya, berguling-guling di tanah atau lantai (ceurik lolongseran), bila tidak diajak. Pengalaman ketika masih kanak-kanak diajak ke pasar oleh ibu jadi pengalaman saya yang berharga. Apa sebabnya? Barangkali dari pengalaman biasa-biasa itu, saya jadi punya modal untuk membentuk salah satu kesukaan mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan kertas.

Pada tahun 1980-an hingga awal 1990-an, saat diajak ke pasar oleh emak, saya paling suka bila menyambangi jongko tukang pindang atau ikan asin. Karena dari jongko tersebut saya kerap terpesona oleh tumpukan koran dan majalah bekas yang dijadikan bungkus. Pada salah satu kesempatan, saya begitu terpesona oleh album komik Pak Janggut dan Donald Duck yang dijadikan bungkus pindang keureut atau bandeng.

Pada kesempatan lainnya, saya tidak turut ke pasar, tapi mendapatkan bekas bungkus pindang dari sobekan majalah. Sobekan kertas tersebut berisi profil pelukis Raja Belanda Raden Saleh. Saya demikian terpesona oleh lukisan-lukisan dalam tulisan tersebut, sehingga meskipun bau, potongan kertas yang sudah tidak utuh lagi itu saya simpan. Bahkan hingga kini masih saya koleksi, saya jadikan kliping yang ditempelkan ke bekas kertas pula. Sayang, karena harus membuka-buka sekian banyak kotak plastik tempat menyimpan pelbagai kliping dan fotokopian, saya belum menemukan lagi potongan kertas profil Raden Saleh itu.

Buku dari Pembuangan Sampah

Daya pikat dunia kertas itu juga yang mendorong saya suka mengais-ngais tempat pembuangan sampah di jarian. Di kampung saat saya masih kanak-kanak, tempat pembuangan sampah yang paling besar berada di Kampung Babakan Garut. Tempatnya di pinggir Jalan Raya Cicalengka-Majalaya, sekitar beberapa puluh meter sebelah timur kampung saya, terpisah oleh kotakan sawah miliki keluarga H. Azizi. Jarian tempat membuang sampah itu berada sebelah kanan atas kotakan sawah, menghadap ke mulut jalan raya.

Bila saya ingat-ingat sekarang, lingkungan tempat pembuangan sampah itu penuh pohon pisang kelutuk (cau manggala) yang tampak sangat tinggi-tinggi, dengan daun-daun yang hijau gemuk, pelepah-pelepahnya yang mengelupas dan serat-seratnya yang putih kecoklatan. Selain pisang kelutuk, yang demikian mengesankan saya waktu itu adalah cucuk garut atau tumbuhan berduri yang tingginya bisa melebihi tinggi tubuh saya. Cucuk-cucuk garut tersebut banyak bertumbuhan ke sebelah kanan hingga mencapai timur kampung tersebut, sehingga pantas belaka bila tempatnya disebut Babakan Garut.

Tempat tersebut dalam bayangan orang kampung adalah tempat angker. Bagaimana tidak, sebelum tiba ke tempat pembuangan sampah di sepanjang kanan-kiri jalan tumbuh pepohonan mahoni yang tinggi-tinggi dengan lingkar tubuhnya tidak dapat saya capai, bahkan barangkali tidak juga oleh orang dewasa. Demikian pula dengan lingkungan tempat pembuangan sampah itu sendiri yang terkesan menyeramkan.

Namun, pada awal 1990-an bila tidak salah, keluarga Ceu Eja pindah ke bagian belakang tempat pembuangan sampah. Di sana mereka membangun rumah baru yang berhadapan dengan persawahan milik keluarga H. Azizi di sebelah kirinya. Pada saat yang hampir bersamaan, keluarga guru mengaji saya, Mang Uus, pindah juga dari Pesantren Thuba di Kampung Miji ke sana. Persis di lahan pembuangan sampah tersebut, didirikan toko kelontong merangkap sebagai rumah dan di belakangnya didirikan semacam kobong tempat mengaji. Hingga semasa belajar di SMA, saya turut mengaji kitab kuning di situ.

Namun, saya tidak ingat kertas atau buku apa saja yang saya dapatkan dari tempat pembuangan sampah di Babakan Garut. Yang persis saya ingat adalah mendapati buku-buku pelajaran dan bacaan yang sudah demikian basah karena kehujanan di seberang tempat pembuangan sampah itu. Di antara lahan yang ditumbuhi rerumputan itu, yang saya ingat, tentu saja membuka-buka buku-buku tersebut, tetapi tidak ingat apakah buku-bukunya saya bawa pulang atau tidak.

Tidak jauh dari tempat pembuangan sampah di Babakan Garut, sebenarnya masih ada satu lagi tempat pembuangan sampah. Letaknya persis berhadapan dengan kompleks rumah keluarga H. Azizi, termasuk Masjid Al-Aziz. Sebelum diuruk dan dijadikan rumah, lahan pembuangan sampah tersebut merupakan kolam ikan yang dalam ingatan saya tampak airnya keruh dan kuning tembaga karena barangkali mengandung tipeureu. Sementara di sekitar pematang kolam, terutama di ujung kanan, saya ingat ditumbuhi pohon kelapa gading yang warna buahnya seakan kuning kemerahan. Dan ke bagian atasnya adalah persawahan yang bertahap.

Nah, kolam yang masuk ke Kampung Babakan Sindangsari, Desa Cikasungka tersebut, kemudian diuruk. Barangkali sesudah diuruk, bekas kolam tersebut dijadikan tempat pembuangan sampah bagi warga yang ada di dekatnya atau dari Babakan Sukajadi yang ada di seberangnya. Di mata saya masih terbayang buku yang sudah agak lusuh dan sudah tak berjilid. Judulnya Dongeng Araneh karya mendiang H. Usep Romli H. M., terbitan Rahmat Cijulang, Bandung.

Dari buku tersebut yang masih saya ingat hingga sekarang adalah dongeng mengenai seorang istri yang tingkah lakunya bertolak belakang dengan suaminya, sehingga terasa pas diberi judul “Mahiwal” (nyeleneh). Di akhir kisah diceritakan bahwa si istri hanyut di sungai, dan orang-orang sibuk ke hilir, tetapi sang suami mengerti kelakuan aneh istrinya sehingga melakukan pencariannya ke arah hulu sungai. Memang ketemu!

Buku bacaan anak berbahasa Sunda tersebut hingga kini masih saya simpan. Dan yang memang karena takdir, bertahun-tahun kemudian saya menjadi akrab dengan penulisnya. Bahkan sempat kerja bareng pada suatu projek penulisan buku Sunda, bersama-sama dengan penulis senior yang kini juga telah almarhum, Deddy Windyagiri.

Baca Juga: Geografi Ingatan (7): Lintasan Lakon Wayang
Geografi Ingatan (6): Terima Kasih, Bu Umin dan Bu Euis!
Geografi Ingatan (5): Deni Manusia Ikan di Rumah Kang Sarman

Buku dari Permakaman

Pengalaman satu lagi yang membuat terkesan hingga kini saat menjelajahi jarian adalah menemukan sebuah buku, yang lagi-lagi berbahasa Sunda, di pemakaman umum. Sebagaimana yang sudah saya tulis sebelumnya, hingga kelas dua SMP (1993-1994), saya masih menjadi penggembala kerbau milik keluarga. Baru setelah kelas tiga, tugas tersebut diserahkan kepada adik saya yang pertama.

Biasanya saya kebagian menggembala dari siang hingga sore hari, sepulang sekolah. Dari pagi, Bapaklah yang mengurusnya. Bila musim mengolah sawah tiba, biasanya saya akan mengangon kerbau tidak jauh dari tempat asal membajaknya. Oleh karena petani yang meminta Bapak untuk membajak berbeda-beda lokasi sawahnya, sehingga arena penggembalaan pun jadi berbeda-beda. Misalnya, di sekitar Jalan Raya Cicalengka-Majalaya dekat pabrik tempat saya nantinya bekerja, yang persawahannya terhampar luas sejauh mata memandang, bahkan dikatakan bersambung ke wilayah yang masuk Majalaya. Atau di ujung utara Desa Tanjunglaya, yakni di daerah Mariuk, Ridogalih, hingga ke Pongpok Landak dan Desa Bojongsalam, yang dekat ke Haurpugur. Atau bisa juga yang dekat-dekat dengan kampung saya, misalnya di utara Babakan Sukajadi.

Bila ada yang meminta membajak di sekitar utara Babakan Sukajadi, misalnya keluarga H. Azizi yang memiliki sawah yang sangat luas, berarti penggembalaan kerbau terjadi di sekitar situ. Bila tidak di persawahan, kerbau akan saya giring untuk masuk ke permakaman besar Cicenang atau Astana Gede. Pemakaman ini merupakan salah satu kembaran bagi pemakaman satu lagi yang ada di seberangnya, yakni Astana Leutik. Sesuai namanya, Astana Gede termasuk luas dan besar lahannya, sementara Astana Leutik terbilang kecil dan sempit lahannya. Di antara Astana Gede dan Astana ada persawahan yang menghampar dari ujung barat yang berbatasan dengan tanggul Sungai Cijalupang di Kampung Miji hingga mencapai mulut Jalan Raya Cicalengka-Majalaya di sebelah timur dan termasuk Kampung Peundeuy.

Seingat saya, Astana Gede penuh ditumbuhi vegetasi khas pemakaman. Di sebelah barat ada pohon karet yang usianya barangkali sudah mencapai ratusan tahun, dengan rumbai-rumbai yang berjuntaian, akar-akar yang besar menjalar ke sana-ke mari, dan lingkar pohon yang tidak akan dicapai dua belah tangan. Di ujung barat ada dangau yang atapnya menggunakan genting tetapi tidak diberi dinding, hanya tiang-tiang kayu di sekelilingnya. Di belakang dangau, ada sepetak lahan yang digunakan sebagai kebun dan sekelilingnya diberi pagar bambu.

Kemudian di bagian tengah pemakaman ada pohon-pohon bungur yang menjulang tinggi, dengan rumbai-rumbainya yang berjuntaian. Selain pohon-pohon besar, ada juga pohon-pohon kecil seperti saliara, jarak, suji, hanjuang, dan lain-lain. Bagi kerbau, di sana banyak tersedia eurih dan rerumputan rendah, untuk pakannya. Bila sudah demikian, saya tinggal menunggu saja kerbau yang sedang asyik menjelajahi makam untuk mencari rerumputan atau eurih. Biasanya saya menunggui di sekitar pohon karet besar, karena dekat ke tempat terang, yakni persawahan yang ada di antara kedua permakaman. Atau bisa juga di sebelah timur Astana Gede, yang berbatasan dengan kebun warga Kampung Peundeuy. Alasannya pasti semua engeuh, karena saya takut sendirian di tengah-tengah makam yang terkesan angker itu.

Pada salah satu kesempatan menjaga kerbau di perbatasan Astana Gede dengan Kampung Peundeuy, saya menemukan buku mungil berbahasa Sunda. Judulnya Pangeling-eling Bituna Gunung Galunggung, 5 April 1982 karya Pa Uhi (Cicukang I Bandung). Entah bagaimana riwayatnya, sehingga buku tersebut jadi dibuang ke jarian, yang ada di perbatasan dengan makam. Barangkali sudah tidak dibaca atau dibutuhkan lagi, atau mungkin tidak sengaja terbuang? Entah. Yang jelas buku yang disusun dalam bentuk puisi dangding tersebut, saya ambil dan saya simpan hingga sekarang.

Bila direnungkan sekarang, saya tidak tahu alasan persis yang mendorong saya sehingga memutuskan untuk mengambil buku-buku dari jarian atau tempat pembuangan sampah, 30-an tahun lalu itu. Kalau sobekan dari majalah yang memuat potret dan lukisan-lukisan indah karya Raden Saleh, masih dapat dimengerti, karena waktu itu saya sangat suka pada gambar sekaligus menggambar. Tetapi dua buku Sunda yang saya temukan di jarian relatif tidak banyak memuat gambar, bahkan yang Pangeling-eling Bituna Gunung Galunggung sama sekali tidak ada gambarnya.

Apakah itu adalah salah satu wasilah yang menyebabkan saya hingga sekarang menggeluti hal ihwal yang berkaitan dengan literasi dan kebudayaan Sunda? Barangkali iya. Namun, yang pasti terasa hingga kini, kebiasaan saya memungut sobekan kertas bekas bungkus serta penjelajahan ke tempat-tempat pembuangan sampah ketika kecil membentuk kegemaran mengumpulkan buku.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//