• Cerita
  • Geografi Ingatan (12): Pertama Kali Membeli Buku di Bandung

Geografi Ingatan (12): Pertama Kali Membeli Buku di Bandung

Pengalaman pertama kali membeli buku di Bandung hampir tiga dasawarsa yang lalu itu memberikan kesan mendalam bagi saya.

Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah terbitan Bulan Bintang, 1995, merupakan buku yang dibeli penulis dalam pengalamannya pertama kali membeli buku di Kota Bandung. (Sumber foto: www.jualbelibukuonline.com)

Penulis Atep Kurnia25 Juni 2021


BandungBergerak.idSelasa sore, 22 Juni 2021, saya bergegas pulang dari kantor untuk mengejar kereta api lokal Bandung Raya dari Cikudapateuh pukul 15.14 WIB. Dengan menggunakan ojek daring (online), saya tiba di stasiun itu sekitar 15 menit kemudian. Setelah membeli tiket, saya masuk ke ruang tunggu. Sambil menunggu kereta datang dari arah Bandung, iseng-iseng saya mengirimkan pesan kepada tiga orang

Isi pesannya semuanya sama. Saya bertanya kepada mereka, apakah masih ingat kepada guru bahasa Indonesia yang mengajar saat kelas dua (1993-1994) dan memberikan tugas untuk menyusun sinopsis novel Indonesia? Karena sudah berselang 28 tahun, jawabannya juga serempak sama. Mereka lupa lagi siapa nama guru bahasa Indonesia itu. Yogaswara menyatakan Bu Linda, tapi merasa tidak yakin, dan merasa tidak pernah diberi tugas membuat resensi novel. Reni demikian juga. Ia memberikan nama Bu Ponpon dengan tanda tanya.

Karena penasaran, saya cek juga ke Eva. Menurutnya, Bu Ponpon adalah guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP) atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sekarang, bukan guru bahasa Indonesia. Karena termasuk guru favorit, dia pasti mengingatnya.

Pasar Buku Palasari

Mengapa bertanya kepada mereka? Jawabannya, karena saya juga lupa namanya. Apakah dia guru perempuan atau laki-laki, saya juga tidak tahu. Namun, di balik pertanyaan tersebut sesungguhnya saya juga hendak mengenang saat pertama kali membeli buku di Bandung. Karena saya ingat persis, saat kelas dua SMP, kami sekelas, bahkan barangkali kelas-kelas lainnya, diminta untuk menyusun ringkasan novel Indonesia.

Saya ingat, untuk mengerjakan tugas tersebut, saya dengan beberapa kawan sekelas bermufakat untuk pergi ke Bandung, membeli bukunya. Entah bagaimana prosesnya sehingga kami memutuskan untuk pergi ke Bandung, tidak mencarinya di sekitar Cicalengka. Padahal ada beberapa toko yang juga menjual buku. Tujuan ke Bandung pun sudah jelas, yakni Pasar Buku Palasari. Apakah saat itu, saya sudah tahu bahwa pasar buku terkenal di Bandung adalah Palasari? Atau barangkali kawan-kawan yang mengusulkannya? Atau malah bertanya dulu kepada guru bahasa Indonesia? Saya sungguh lupa sama sekali. Tetapi yang jelas, bila dipikirkan lagi sekarang, menarik mengetahui bahkan bagi anak-anak berusia 13-14 tahun saat itu, nama Palasari bisa dikatakan terdengar akrab berkaitan dengan buku.

Yang masih saya ingat adalah dua kawan yang turut berangkat. Yogaswara dan Abas. Namun, setelah saya konfirmasi, ingatan saya ternyata salah. Yogaswara menambahkan tiga nama kawan lainnya, yaitu Slamet Mulyadi, Asep Gendut, dan Asep Alit. Jadi total, dengan saya, berenam pergi ke Bandung. Mengenai waktunya, saya sendiri menduga saat itu hari libur, Minggu. Pergi pagi dari Stasiun Cicalengka, menuju Stasiun Cikudapateuh dan kembali sore dari Stasiun Bandung.

Sudah pasti dari Stasiun Cikudapateuh ke Palasari berjalan kaki. Entah dari toko apa, waktu itu kami membeli buku. Namun, yang persis saya ingat, kami membeli novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka. Jilidnya penuh nuansa ungu kebiruan dan mengetengahkan gambar Ka’bah yang besar. Setelah saya periksa lagi di internet, antara lain, seperti yang ditampilkan situs jualbelibukuonline.com (diakses 24 Juni 2021), buku tersebut diterbitkan oleh penerbit Bulan Bintang, Jakarta. Buku tipis 56 halaman dan telah terjual tersebut merupakan edisi ke-22, 1995. Bila demikian, berarti buku yang kami beli saat itu paling tidak edisi ke-21 atau sebelumnya, yang diterbitkan sebelum 1995.

Selain Di Bawah Lindungan Ka’bah, saya ingat kami membeli buku kumpulan sinopsis novel Indonesia bertajuk Ikhtisar Roman: untuk sekolah menengah karya Asis Safioedin, yang diterbitkan oleh Penerbit Lubuk Agung, Bandung. Buku berona coklat dengan gambar buku terbuka di sampulnya itu barangkali edisi ke-17, yang dicetak pada 1987.

Ada yang membuat saya terkejut saat Yogaswara mengingatkan bahwa saya saat itu mengenakan jaket jins dan menggunakan sendal capit berwarna hijau. Saya sendiri sama sekali lupa rinciannya.

Baca Juga: Geografi Ingatan (11): Hobi Filateli
Geografi Ingatan (10): Menyalin Kamus Sunda
Geografi Ingatan (9): Buku Tulis dari Rumah Ma Enting

Berjalan-jalan

Setelah berbelanja buku di Palasari, kami tidak langsung pulang melalui Stasiun Cikudapateuh, melainkan berjalan-jalan dulu ke arah Alun-alun Bandung. Tentu saja jalan kaki. Dalam perjalanan, kami sempat singgah dulu di Toko Buku Singgalang yang ada di Jalan Karapitan. Waktu itu, saya sendiri membeli satu buku pengantar terhadap sastra Sunda karya Taufik Faturohman.

Dari situ, perjalanan dilanjutkan kembali. Apakah selain bermain dulu di sekitar alun-alun dan Masjid Agung Bandung, kami waktu itu sempat pula singgah ke Perpustakaan Daerah yang ada di Jalan Cikapundung Timur? Apakah waktu itu kami juga sempat melihat-lihat lapak buku bekas di sekitar Sumur Bandung, Jalan Cikapundung, dan di seberangnya, yaitu di bawah Palaguna, persis di bawah sebuah rumah makan Padang? Terus terang, saya tidak lagi ingat. Namun, beberapa tahun kemudian, ternyata saya mengakrabinya dengan kerap berbelanja majalah dan buku bekas di sana.

Agaknya menjelang sore, kami pulang berjalan kaki ke arah utara, menuju Stasiun Bandung. Setiba di Cicalengka dan masuk sekolah lagi, kecuali yang saya beli sendiri, buku yang lain dibaca secara bergiliran, karena membelinya patungan. Dengan cara patungan demikian, saya jadi menduga kayaknya waktu itu guru bahasa Indonesia membagi kami menjadi beberapa kelompok untuk mengerjakan tugas membuat ringkasan. Karena membacanya bergiliran pula, saya jadi tidak tahu bagaimana nasib Di Bawah Lindungan Ka’bah. Barangkali ada pada kawan yang terakhir kebagian giliran membacanya karena dalam koleksi buku saya tidak ada.

Betapapun, bila direnungkan sekarang, pengalaman pertama kali membeli buku di Bandung hampir tiga dasawarsa yang lalu itu memberikan kesan mendalam bagi saya. Pengalaman pertama itu, seakan menjadi tonggak bagi saya untuk menggeluti dunia buku di kemudian hari. Pengalaman pertama itu barangkali bukan saja masuk ke dalam kesadaran saya sebagai ingatan, melainkan merasuk jauh ke lubuk bawah sadar, menjadi hasrat untuk senantiasa bersidekat dengan dunia pustaka. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//