• Cerita
  • Geografi Ingatan (17): Membaca di Kolong Mesin

Geografi Ingatan (17): Membaca di Kolong Mesin

Dalam keadaan laju mesin lancar, kadang-kadang sebagian waktu mengawasi mesin itu saya habiskan sambil membaca di kolong mesin.

Potret penulis di samping mesin beaming, ketika bertugas shift malam tahun 2005. (Sumber: dokumentasi Atep Kurnia)

Penulis Atep Kurnia30 Juli 2021


BandungBergerak.id - Sejak Minggu, 21 November 1999, saya mulai bekerja sebagai operator mesin beaming. Dalam catatan saya, hari itu mulai di-shift, langsung giliran kerja malam. Namun, karena dari tiga shift yang bekerja liburnya digilir, maka pada akhir pekan hanya ada dua shift yang bekerja, sementara satu shift diliburkan. Dengan demikian, untuk hari Minggu yang merupakan hari penggantian shift, jam kerja yang 24 jam dibagi kepada dua shift, dengan masing-masing waktu kerja selama 12 jam.

Saya waktu itu ditempatkan pada Shift A yang masuk pukul 18.00 dan pulang pukul 06.00 hari Senin. Alhasil, regu kerja saya menggantikan kerja Shift C yang bekerja hari Minggu dari pukul 06.00 hingga pukul 18.00. Sementara Shift B diliburkan, setelah seminggu sebelumnya bekerja untuk shift malam. Pada hari-hari selanjutnya, waktu kerja kembali menjadi 8 jam. Dengan giliran Shift A malam antara pukul 22.00 hingga 06.00, digantikan Shift B pagi (06.00-14.00), dan Shift C bekerja siang (14.00-22.00).

Menjadi Operator Mesin

Untuk operator mesin beaming yang bekerja pada Shift A, saya bekerja secara berpasangan dengan Rudi, orang Cilacap yang menikah dengan orang Cikasungka. Sementara operator mesin sizing juga dua orang, yaitu Sutarno, sama-sama asal Cilacap yang menikah dengan orang Garut, dan Cucu dari Majalaya. Kami berempat kerap bekerja sama untuk menjalankan baik mesin sizing maupun beaming apabila ada salah seorang di antara kami kegiliran libur atau salah satu mesin di antara dua mesin itu berhenti berproduksi.

Secara ringkas, proses pada mesin beaming adalah salah satu rangkaian dari persiapan pembuatan benang lusi dalam industri tenun. Mula-mula benang-benang dalam kelos atau cones dipasang dan diolah pada mesin warping atau sizing, untuk diberi kanji agar lebih stabil dan kuat dalam proses selanjutnya. Benang yang jumlahnya ratusan cones itu dibetot dan digulung ke dalam satu gelondongan besi berkuping (beam). Hasil penggulungan beam-beam kemudian dibawa ke mesin beaming untuk disatukan lagi. Gabungannya bisa dari jenis benang yang sama atau berbeda sesuai dengan corak yang diinginkan.

Mesin beaming itu panjangnya bisa mencapai sepuluh meter lebih, memanjang dari depan ke belakang. Di depan ada dudukan-dudukan untuk menaruh beam-beam dari mesin sizing. Dudukannya bisa mencapai sembilan buah, dari yang paling tinggi di depan hingga yang paling rendah di belakang. Untuk mengangkut gelondongan besi yang berisi gulungan benang sebesar perut kerbau itu ke dudukan-dudukannya ada katrol untuk menaikkan, menurunkan, dan menggeser ke depan dan ke belakang. Sementara di bagian paling belakang ada panel pengendali mesin, generator, beberapa rol, dan sisir – sebagai kepala mesin.

Tugas saya sebagai operator tentu saja berusaha agar mesin dapat berproduksi, menghasilkan campuran benang, dengan lancar. Bila dudukan beaming kosong, mula-mula saya dan Rudi memasang beaming berisi benang dengan menggunakan katrol. Masing-masing kuping beaming dipasangi tali baja berupa ikatan kawat, lalu dinaikkan, dan diturunkan pada dudukan. Adegan menaikkan-menurunkan beaming bagi saya adalah momen-momen yang selalu mendebarkan, karena kerap membayangkan beaming besar yang terangkat itu terlepas dan jatuh menghantam dudukan.

Setelah semua terpasang, ujung benang pada masing-masing beaming yang sudah dirampat lakban ketika dipotong di mesin sizing ditarik ke kepala mesin. Benang-benang tersebut harus dicucuk atau dimasukkan satu-satu ke masing-masing lubang sisir yang terpasang di atas kepala mesin. Setelah tercucuk, semuanya diikat dan mesin dijalankan perlahan untuk memperoleh ujung gabungan benang itu. Untuk mewadahinya, kami harus memasang beaming agak kecil yang diperuntukkan bagi mesin tenun. Setelah beaming tenun terpasang pada bagian bawah kepala mesin, ujung-ujung benang ditempelkan ke permukaan beaming dengan menggunakan lakban. Saya tinggal memijit tombol “on” pada panel, beaming pun perlahan berputar menggulung benang.

Agar kencang ‘memakan’ benang, permukaan beaming yang berputar perlahan itu diberi potongan-potongan kertas, biasanya koran bekas. Pemberian kertas-kertas tersebut terus dilakukan hingga beaming mantap menarik benang. Pekerjaan selanjutnya adalah mengatur kecepatan (speed) putaran dan tekanan (tension) pada panel. Bila gulungannya sudah agak membesar, mesin dihentikan sebentar dan kami melakukan pengukuran kekerasan atau ketegangan gulungan benang (harness) dengan menggunakan tension meter. Bila dirasa masih kurang keras, maka tombol “tension” diputar ke kanan, disesuaikan dengan tegangan semestinya.

Untuk menghentikan laju mesin, kami dapat memijit tombol “off” yang terpasang di panel atau pada tombol operasi mesin di kolong mesin. Sementara untuk menjaga agar tidak terjadi kecelakaan, tangan masuk ke dalam gulungan benang atau terjepit rol, di depan mesin dipasangi palang pengaman (safety bar) otomatis. Palang tersebut bila diangkat atau ditekan ke bawah secara otomatis akan menghentikan laju mesin.

Baca Juga: Geografi Ingatan (16): Manusia Masa Lalu
Geografi Ingatan (15): Buku Agenda Buruh Pabrik
Geografi Ingatan (14): Kronik Kecil

Bila Mesin Lancar

 Bila mesin sudah berjalan lancar, saya dan Rudi berbagi tugas. Saya menjaga di bagian depan dan Rudi di bagian belakang, untuk berjaga-jaga bila ada kendala berupa tanda benang putus dari mesin sizing. Bila muncul tanda benang putus, laju mesin harus dihentikan, dan benang yang terputus harus disambung dulu dengan benang cadangan yang ada di kolong mesin. Setelah sambungannya muncul, mesin dihentikan, kami menyambungkan benang cadangan itu dengan sambungan benang yang muncul belakangan. Demikian seterusnya, hingga gulungan benang di bagian kepala mesin itu mencapai panjang sesuai dengan yang ditentukan. Saat itu rata-rata panjang benang yang digulung antara 3.000 hingga 5.000 meter, dengan tempo kerja selama 1,5 hingga 2 jam.

Bila proses di mesin sizing lancar, dalam artian tidak banyak benang yang putus, berarti tugas saya dan Rudi agak ringan. Tinggal mengontrol laju mesin secara bergiliran di depan atau di belakang atau di kolong mesin. Ya, karena sepanjang bawah dudukan beaming itu merupakan ruang kosong yang memanjang dari depan ke belakang. Bagian paling belakangnya yang dekat kepala mesin cukup untuk duduk-duduk mengawasi laju mesin yang ada di atas kepala.

Dalam keadaan laju mesin lancar, kadang-kadang sebagian waktu mengawasi mesin itu saya saya habiskan sambil membaca di kolong mesin. Bahan bacaannya ada yang saya bawa dari rumah atau memanfaatkan koran-koran bekas agar gulungan beaming ‘memakan’ atau memadatkan benang. Yang persis saya ingat di antaranya hingga sekarang adalah suplemen koran Kompas edisi 1 Januari 2000, yang berisi peristiwa-peristiwa sepanjang milenium II, dan nantinya dibukukan menjadi 1000 Tahun Nusantara (Penerbit Buku Kompas, 2000). Kesempatan saya membaca di kolong mesin itu biasanya bila menjelang malam saat kerja shift 2 (siang) dan shift 3 (malam).

Sebulan setelah ditempatkan menjadi operator mesin beaming, saya mendapatkan tunjangan hari raya (THR) pertama kalinya dari pabrik. Mau tahu berapa banyaknya? Pada hari Senin, 20 Desember 1999, saya mendapatkan uang sebanyak Rp. 132.900 atau 8/12 dari gaji pokok. Bisa jadi perhitungan 8/12 itu artinya saya baru bekerja selama delapan bulan. Namun, yang jelas keesokan harinya, uang tersebut sebagian saya belanjakan pakaian, termasuk sepatu untuk kerja.

Selanjutnya menjelang akhir tahun 1999, pada Rabu, 29 Desember 1999, saya pergi ke Bandung sepulang kerja shift 1 (pagi). Dalam buku agenda, antara lain saya menulis demikian: “Beli buku terakhir abad 20 atau buku terakhir millenium 2, yaitu buku Syammailul Muhammadiyah: Pribadi & Budi Rasullah SAW oleh At-Tirmidzi Rp. 9.500 di Palasari.  Setelah pulang kerja shift pagi dan gajian.” Dalam catatan tersebut, saya menambahkan keterangan bahwa gaji pertama setelah di-shift itu sebesar Rp. 345.000.

Sebulan bekerja di-shift itu bagi saya dapat dikatakan masih tahap belajar memahami cara kerja mesin beaming. Tetapi tidak menutup kemungkinan, karena saat itu corak-corak benang yang kami kerjakan relatif mudah dan tidak banyak masalah dari mesin sizing, sehingga banyak waktu luang bagi saya untuk banyak membaca. Dari bacaan yang dari rumah atau memanfaatkan koran-koran bekas penggulung benang.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//