Geografi Ingatan (16): Manusia Masa Lalu
Kerjanya apa saja, namanya juga sambil belajar lebih mengenali mesin tenun.
Penulis Atep Kurnia23 Juli 2021
BandungBergerak.id - Manusia masa lalu, yang datang dari masa lalu atau hidup di masa lalu, adalah sebutan kawan sekerja selama beberapa bulan pertama menjadi buruh pabrik. Saya lupa lagi ungkapan mana yang persis diungkapkan Ana, seorang mitra ketika sama-sama bertugas sebagai ‘tukang beberesih’ untuk dua lokal mesin tenun. Namun, yang teringat memang dia mengatakan bahwa saya orang yang dikepung masa lalu karena selalu terpaut dengan buku dan sejarah.
Sebagaimana yang terungkap sebelumnya, secara resmi saya mulai diangkat sebagai buruh pabrik PT. Filamenindo Lestari Textile pada Senin, 26 April 1999. Saya ditempatkan di bagian umum, termasuk bengkel, dengan tugas membersihkan lokasi mesin tenun. Waktu kerjanya delapan jam, dipotong istirahat selama satu jam, yaitu masuk pukul 08.00, pulang pukul 16.00, dan istirahat antara pukul 12.00 hingga 13.00.
Lokasi mesin tenun ada dua. Yang pertama yaitu lokasi lama yang terdiri atas mesin-mesin tenun water jetloom bermerek Nissan. Kompleksnya lumayan luas. Bentuknya dapat dikatakan persegi panjang. Ada dua pintu geser terpasang di selatan dan utara. Karena menggunakan air conditioner, udara di dalam ruangan terasa dingin, demi menjaga keadaan twisting benang tetap stabil. Saya lupa lagi jumlah persis mesinnya, tetapi agaknya setiap operator yang umumnya perempuan masing-masing menjaga 10 hingga 20 mesin.
Lokasi kedua ada di belakang lokasi pertama, terpisah oleh lorong yang digunakan sebagai tempat bekerja petugas yang memasang sisir pada gulungan benang besar (beaming atau booming) yang dihasilkan oleh mesin beaming. Mesin sizing bersama mesin beaming adalah bagian dari persiapan lusi atau benang untuk anyaman vertikal.
Lokasi kedua inilah bekas tempat saya bekerja sebelumnya, yaitu tempat saya sempat membantu Pak Heru sebagai asisten untuk menetapkan dudukan yang pas untuk mesin tenun. Kemudian, berbeda dengan lokasi pertama, mesin-mesin pada lokasi kedua merupakan mesin-mesin bekas yang tampak sudah menua. Selain itu, lokasi kedua tidak sekedap lokasi pertama, karena ke belakangnya atau ke arah utaranya, masih berupa tanah yang nantinya sebagian dibuat lapangan badminton.
Berbagi Tugas, Bahu-Membahu
Untuk menjaga kebersihan kedua lokasi tersebut saya berbagi tugas dengan Ana. Ia berasal dari Kampung Lio, Desa Cikasungka, beberapa ratus meter di seberang pabrik tempat kami bekerja. Usianya mungkin di atas saya satu atau dua tahun. Orangnya seperti saya: kecil, kurus, dan sama-sama tidak berperawakan tinggi. Maksud berbagi tugas itu adalah bila ada tugas membersihkan satu lokasi mesin, kami membaginya dua. Misalnya, bila saya yang kebagian sebelah kanan, maka Ana kebagian sebelah kiri, atau sebaliknya.
Adapun perkakas yang kami gunakan untuk membersihkan lokasi mesin itu adalah roda dorong panjang beralas plastik tebal untuk menahan air bocor, karung-karung berukuran besar, sapu, roda dorong, drum yang dipotong setengahnya untuk membawa air, dan gagang besi sekitar satu setengah meter yang ujungnya diberi majun sebagai alat pengepel lantai.
Jadi, pekerjaan awal saya dan Ana setelah mengetokkan kartu pada mesin absensi di ruang loker adalah mengangkut sampah hasil sampingan produksi kain mentahan (grey) itu, yakni gulungan benang yang tidak terpakai, lalu memasukkannya ke dalam wadah penyimpanannya. Gulungan benang sisa proses menenun tersebut disebut majun. Benang lusi yang dipasang secara vertikal dan benang pakan yang dipasang secara horisontal pada mesin tenun akan menghasilkan sampah berupa gulungan benang campuran lusi dan pakan yang terbuang.
Karena media untuk menganyam ke samping mesinnya menggunakan air (water jetloom), majunnya mengandung air. Itu sebabnya roda panjang itu harus dialasi plastik, agar air dari wadah sampah majun tidak tumpah ke lantai.
Begitulah saya dan Ana berkeliling dari satu mesin ke mesin lainnya, untuk mengangkat wadah majun yang ada di depan mesin dan dimasukkan ke dalam karung yang sudah ditempatkan di atas roda.
Setelah roda penuh karung berisi majun, roda kami dorong menuju gudang penyimpanan majun yang ada di belakang pabrik. Karung-karung di atas roda kemudian diangkat dan ditumpuk pada tumpukan yang sudah ada sebelumnya. Setelah muatan pada roda kosong, air yang menggenanginya dikosongkan lagi dengan cara rodanya digulingkan ke arah selokan di depan gudang penyimpanan.
Kami masuk lagi ke lokasi mesin tenun dan mengambil lagi majun-majun, hingga habis. Biasanya secara berkala, entah sebulan sekali entah beberapa minggu sekali, unggunan majun akan diangkut dengan menggunakan truk. Bisa jadi pihak pabrik menjualnya kepada pihak lain yang membutuhkannya.
Setelah majun sudah dibersihkan dari masing-masing mesin, saya dan Ana menyapu, lalu mengisi air bersih ke dalam drum dan menempatkannya di atas roda kecil. Setelah itu, alat pengepel dari gagang besi dengan ujung majun saya celupkan, majun yang masih bercucuran air diremas-remas agar tidak terlalu basah, lalu digunakan untuk mengepel seluruh lokasi mesin hingga menjangkau lekuk-lekuknya. Sudah tentu, baik ketika mengangkut majun beberapa kali maupun bolak-balik mengepel lokasi mesin, tenaga saya terkuras hingga peluh bercucuran di sekujur tubuh.
Apakah pekerjaan saya dan Ana sudah selesai? Oh, tentu tidak. Setelah waktu istirahat digunakan untuk makan dan salat zuhur, saya membantu bagian maintenance atau montir mesin tenun. Kerjanya apa saja, namanya juga sambil belajar lebih mengenali mesin tenun. Misalnya saya belajar cara memberi pelumas atau melihat cara membongkar mesin dan membersihkannya. Untuk hal-hal yang berkaitan dengan perawatan itu, saya sering menguntit Mang Wahyu, yang akrab disapa Mang Ayu, orang Cikasungka atau Pak Tori, orang Rancaekek, yang sudah agak sepuh dan rambut ikalnya sebagian besar sudah memutih.
Baca Juga: Geografi Ingatan (15): Buku Agenda Buruh Pabrik
Geografi Ingatan (14): Kronik Kecil
Geografi Ingatan (13): Naluri Ensiklopedis
Ke Bandung
Karena di hari Minggu mesin tenun tetap dijalankan, hari libur saya dan Ana juga bergiliran, tidak pada hari yang sama, meskipun kerjanya termasuk non-shift. Pada hari-hari giliran libur, kerap saya gunakan untuk bepergian ke Bandung. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk mencari-cari bahan bacaan. Mengenai hal ini, saya dapat menengok lagi catatan-catatan pada buku agenda.
Misalnya, pada hari Minggu, 3 Mei 1999, saya pergi ke Bandung berdua dengan kawan akrab, sesama penyuka buku dan kawan satu SMP dan SMU, Asep Rohimat. Dengan membawa gaji terakhir sebagai buruh harian lepas, saat itu saya menuju Jalan Dewi Sartika. Di sana saya membeli majalah bekas tiga edisi dan kamus Inggris-Indonesia susunan John Echols. Dari Dewi Sartika, kami menuju Gramedia Merdeka. Di sana saya membeli buku kumpulan puisi bertajuk Diwan As-Syafi’i seharga Rp. 2.750.
Catatan lainnya dalam periode sebagai “tukang beberesih” adalah mengenai bayaran atau pemasukan, serta pengalaman lainnya. Untuk catatan 20 Mei 1999, saya menulis bahwa hari itu memperoleh uang sembako untuk pertama kalinya sebesar Rp. 75.000. Lalu pada hari Sabtu, 29 Mei 1999, saya mendapatkan gaji pertama sebagai karyawan. Jumlahnya terbilang kecil bila dibandingkan upah minimal saat ini, yaitu Rp. 155.300. Jadi dapat dihitung berapa dalam sehari saya dibayar. Tinggal bagi gaji tu dengan 26 atau 30 hari saja!
Soal lainnya yang sempat tercatat adalah jatah makan. Pada Sabtu, 26 Juni 1999, saya mencatat bahwa saat itu untuk pertama kalinya dapat jatah makan nasi karena semula selama dua bulan bekerja hanya diberi mi instan sebungkus per hari.
Kunjungan ke Bandung juga kadang-kadang tidak hanya berkaitan dengan buku, tapi untuk liburan. Namun, liburan saya waktu itu tidak jauh-jauh dari ihwal sejarah atau kejadian masa lalu. Misalnya pada Selasa, 5 Oktober 1999 - barangkali saat itu sedang kegiliran libur hari Selasa - saya berdua dengan kawan karib, (alm.) Hendarto, bermain ke kebun binatang Bandung. Selain berkeliling melihat satwa, kami juga sempat masuk ke dalam museum dan mendapati antara lain janin satwa yang diawetkan dalam kotak-kotak kaca berair. Saat itu, saya juga sempat memungut sehelai bulu burung merak yang lepas, hitung-hitung sebagai kenang-kenangan. Dan nyatanya hingga sekarang bulu merak itu masih nyempil di tengah buku kumpulan dongeng yang saya beli di bawah Palaguna.
Pada hari Selasa pula, 12 Oktober 1999, saya pertama kali mengunjungi Museum Sri Baduga Maharaja di Jalan BKR No. 185 Bandung. Biaya masuknya saat itu Rp. 750. Namun, meskipun sangat menikmati koleksi-koleksi yang disajikan di museum, saya rasa tidak seru. Penyebabnya, saya berkunjung ke sana hanya sendirian, tidak ditemani kawan dekat seperti sebelumnya.
Barangkali karena melihat saya kerap membawa buku dan majalah bekas ke pabrik, lalu dalam obrolan-obrolan dengannya seringnya berkaitan dengan sejarah alias peristiwa masa lalu, maka Ana menyebut-nyebut saya sebagai manusia masa lalu.
Namun, kerja bahu-membahu, senasib-sepenanggungan dengan Ana berakhir pada hari Jum’at, 12 November 1999. Pada hari itu saya dipanggil kepala shift, kepala seksi, dan kepala bagian produksi. Ternyata saya diangkat ke bagian sizing dengan jabatan sebagai operator mesin beaming. Sebelum di-shift, selama seminggu antara 15-20 November 1999 saya masih bekerja non-shift, untuk belajar dulu cara mengoperasikan mesinnya. Rincian mesin beaming akan saya bahas pada tulisan selanjutnya. Mudah-mudahan.