• Cerita
  • Geografi Ingatan (19): Mengikuti Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS)

Geografi Ingatan (19): Mengikuti Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS)

Kesundaan bukan melulu tentang kesenian dan kesusastraan, namun berkaitan pula dengan geografi, geologi, ekonomi, politik, agama, dan sejarah.

Undangan Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) I dan lembar catatan berisi tanda tangan A. Teeuw. (Sumber: koleksi Atep Kurnia)

Penulis Atep Kurnia13 Agustus 2021


BandungBergerak.id - Memang saya tidak dapat menyelesaikan kuliah di Universitas Terbuka (UT). Namun, dari kuliah jarak jauh yang sebentar itu ada satu hal yang hingga sekarang dapat dibilang menjadi kunci masuk ke arah pemahaman lebih luas perihal kebudayaan Sunda. Apa itu? Wujudnya hanya kartu tanda pengenal mahasiswa, sebenarnya. Berbekal kartu tersebut saya dapat mengikuti Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) yang pertama, 22-25 Agustus 2001.

Sebelum lebih jauh membahas ihwal keikutsertaan saya dalam perhelatan besar itu, alangkah baiknya membahas dulu serba sekilas latar belakang KIBS I. Soal ini sebenarnya sudah saya tulis dalam newsletter yang diterbitkan oleh majalah Karsa selama KIBS II, antara 19-22 Desember 2011, tetapi saya pikir penting juga untuk mengulanginya lagi di sini, seringkas mungkin.

Kelahiran KIBS I dapat disimak dari buku Ajip Rosidi, Hidup Tanpa Ijazah (2008). Konon, ketika menyusun Ensiklopedi Sunda, terbersit dalam benak Ajip bahwa umumnya orang Sunda tidak tahu tentang kebudayaannya sendiri. Tidak ada pewarisan budaya yang terencana dan berlangsung terus-menerus. Kesadaran itu, menurut Ajip, menimbulkan gagasan untuk menyelenggarakan konferensi internasional yang membahas masalah pewarisan budaya Sunda.

Untuk mewujudkannya, Ajip mengajukan proposal kepada The Toyota Foundation dan membicarakannya dengan Edi S. Ekadjati. Setelah yayasan dari Jepang itu memberi lampu hijau, Ajip dan Edi menyusun kepanitiaan. Pada tahun 2000, saat liburan, Ajip bersama panitia KIBS lainnya menyosialisasikan ide itu kepada Gubernur Jawa Barat R. Nuriana.

Rapat panitia KIBS pertama diselenggarakan di UPI. Saat ada yang bertanya mengenai biaya, Ajip menjawab sekitar Rp 60 juta. Ia juga mengajukan gagasan bahwa setiap peserta harus ikut memberi iuran yang jumlahnya ditetapkan sebagai berikut: Rp 300.000 untuk umum, Rp 200.000 untuk dosen, dan Rp 50.000 untuk mahasiswa. Semula direncanakan peserta yang dibidik sebanyak 400 orang. Namun, tiga hari sebelum penutupan pendaftaran, banyak orang yang hendak mendaftar, hingga akhirnya semua didaftarkan sebagai peserta. Jumlahnya mendekati 700 orang.

Keterangan rinci penyelenggaraan KIBS 1 juga dapat disimak dalam Mangle No. 1808 (2001). Di situ, tertera keterangan bahwa abstrak makalah yang masuk ke panitia sebanyak 105 naskah, sementara panitia hanya membutuhkan 77 makalah. Jumlah pesertanya 700 orang yang terdiri atas 546 peserta, 100 pemakalah, dan panitia. Para peserta itu kebanyakannya dari kalangan muda.

Hari Rabu, 22 Agustus 2001, saat pembukaan, sejumlah acara dihelat. Ada registrasi peserta, laporan ketua panitia, sambutan-sambutan, di antaranya oleh sesepuh Achdiat K. Mihardja. Selain itu ada penyerahan Hadiah Sastera Rancage 2001, penyerahan buku puisi Sunda modern bilingual, dan peresmian secara simbolis. Hari Kamis, A. Teeuw berceramah pada sidang pleno di ruang utama, disusul penyajian makalah-makah oleh Christine Campbell, Mikihiro Moriyama, Wendy Mukherjee, Edi S. Ekadjati, R. P. Koesoemadinata, dan lain-lain.

Hari Jumat, Irawati Durban menyampaikan ceramah pada sidang pleno di ruang utama, disambung sidang paralel oleh E. Aminuddin Aziz, Hawe Setiawan, Saini KM, dan lain-lain. Pada hari Sabtu, Unus Suriawiria menyampaikan ceramah mengenai makanan Sunda pada sidang pleno. Selanjutnya penyajian makalah oleh Abdullah Mustappa, Robert Wessing, Ayatrohaedi, Madoka Fukuoka, dan lain-lain.

Selain penyampaian makalah-makalah, dua pameran, di Gedung YPK dan di Museum Negeri Jawa Barat, menyemarakkan KIBS I. Di YPK ada pameran aneka kriya, lukisan etnis Sunda, fotografi, buku, dan makanan khas Sunda. Sementara di Museum Jawa Barat diadakan pameran tradisi tulis Sunda dan pagelaran seni Sunda.

Berbekal Kartu Mahasiswa

Lalu bagaimana mulanya saya mengetahui Konferensi Internasional Budaya Sunda I? Kebetulan saya masih menyimpan undangan dari sekretariat KIBS I. Ada dua sekretariat untuk menampung pendaftaran peserta. Yang pertama di Bandung yakni di Perpustakaan Prof. Dr. Doddy A. Tisanaamidjaja di Jalan Mutumanikam, Buah Batu, dan yang kedua di Jakarta, yaitu di Rawa Bambu, Pasar Minggu. Dalam undangan, diumumkan daftar ulang peserta dan pemakalah dari luar Kota Bandung dimulai pada 21 Agustus 2001 di Sekreriat KIBS, Gedung Merdeka.

Karena dalam buku agenda tidak tercatat bagaimana saya memperoleh informasi awal KIBS, saya menduga undangan tersebut dikirimkan ke alamat rumah saya karena sebelumnya saya kerap berbelanja buku di kantor Penerbit Kiblat Buku Utama, yang mula-mula di Jalan Libra lalu pindah ke Jalan Karawitan, Buahbatu. Namun, dalam undangan tidak ada titimangsa kapan undangan tersebut dikirimkan.

Yang terang, berbekal kartu mahasiswa UT saya turut mendaftar. Saat itu gaji pokok saya di pabrik barulah 390 ribu rupiah. Jadi, bila saya mendaftar dalam kategori umum, yang iurannya sebesar 300 ribu rupiah, 77 persen lebih gaji pokok saya akan habis. Begitulah, bisa dikatakan saya beruntung masih memegang kartu mahasiswa, sehingga hanya membayar 50 ribu. Apalagi, dampak mengikuti KIBS I itu di kemudian hari sangat signifikan bagi saya.

Setelah memutuskan mengikuti perhelatan besar itu, pada 13 Agustus 2001 saya membayar uang pendaftaran sebesar 50 ribu. Tanggal tersebut saya ketahui dari kuitansi pembayarannya yang masih saya simpan dalam buku agenda. Dapat dipastikan, saat itu saya datang ke sekretariat KIBS. Namun saya lupa lagi apakah saat itu saya datang ke Perpustakaan Prof. Dr. Doddy A. Tisanaamidjaja atau ke Gedung Merdeka.

Bila merunut catatan selama mengikuti KIBS, di situ saya menyatakan bahwa baru tanggal 22 Agustus 2001 saya untuk pertama kalinya masuk ke Gedung Merdeka. Sehingga dapat diperkirakan pendaftaran saya untuk mengikuti KIBS terjadi di Perpustakaan Prof. Dr. Doddy A. Tisanaamidjaja atau di Penerbit Kiblat Buku Utama, sekalian membeli buku, karena Ati Surtika, yang menandatangani surat undangan KIBS dan kuitansi pendaftaran bekerja juga di penerbit tersebut.

Baca Juga: Geografi Ingatan (18): Kuliah yang Gagal
Geografi Ingatan (17): Membaca di Kolong Mesin
Geografi Ingatan (16): Manusia Masa Lalu

Tanda Tangan dan Dampak Penting

Saat mengikuti Konferensi Internasional Budaya Sunda I, saya sedang kebagian kerja shift malam, masuk pukul 22.00 dan pulang pukul 06.00. Jelas sudah, setelah melek semalaman, saya langsung menuju ke Stasiun Cicalengka untuk mengejar acara pertama di Gedung Merdeka pukul delapan pagi. Saat mengejar acara hari kedua, akan saya ceritakan soal ini dengan jelas.

Dalam catatan untuk hari pertama, saya menuliskannya dalam bahasa Sunda. Hari Rabu, 22 Agustus 2001, sepulang mengikuti acara, saya antara lain menulis demikian: “Poe mimiti ngiluan Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS), papanggih di kieuna jeung inohong-inohong-inohong sastra Sunda atawa politik, di antarana Achdiat K. Mihardja (geus rada pikun, malum geus ampir 90-91 th), Ajip Rosidi, Ramadhan KH, Dr. A. Teeuw, H. Nuriana, Mochtar Kusumaatmadja, A. Chaedar Alwasilah, Harry Roesli, Ully Sigar Rusadi, Abdullah Mustappa, jste” (hari pertama mengikuti KIBS bertemu langsung dengan para tokoh sastra Sunda dan politik, di antaranya Achdiat K. Mihardja [sudah agak pikun, maklum sudah hampir 90-91 tahun], Ajip Rosidi, Ramadhan KH, Dr. A. Teeuw, H. Nuriana, Mochtar Kusumaatmadja, A. Chaedar Alwasilah, Harry Roesli, Ully Sigar Rusadi, Abdullah Mustappa, dan lain-lain.)

Demikian pula untuk catatan hari kedua, saya menulis dalam bahasa Sunda. “Ka konferensi datang telat, sabab kareta patas loba eureun, datang jam 08.30 di Gedung Merdeka. Ngiluan pleno Dr. A. Teeuw nu ngabahas ngeunaan naskah-naskah puisi Sunda kuno, paralel Christine Campbell (“Women at Crossroads”), paralel Mikihiro Moriyama (“Perkembangan budaya Sunda)” (Saya terlambat ke acara konferensi, karena kereta patas sering berhenti, sehingga tiba pukul 08.30 di Gedung Merdeka. Saya mengikuti pleno Dr. A. Teeuw yang membahas tentang naskah-naskah puisi Sunda kuno, paralel Christine Campbell [“Women at Crossroads”], paralel Mikihiro Moriyama [“Perkembangan budaya Sunda]). Antara lain demikian yang saya tulis dalam buku agenda.

Ketika istirahat, saya sempat membeli buku puisi Sunda bilingual (Sunda-Prancis) titipan kawan karib saya, Yadi Mulyadi. Saya juga membeli terjemahan novel Theresa karya Emile Zola dan novel Sunda Mercedes 190 karya Mh. Rustandi Kartakusuma. Di akhir catatan hari itu, saya menulis: “Sabab rek digawe peuting, kuring balik gagancangan muru sugan-sugan aya kareta satengah dua, ari taeun euweuh. Nu aya mah kareta KRD ekonomi jam 13.53” (Karena akan bekerja malam, saya segera pulang dengan harapan ada kereta pukul 13.30, ternyata tidak ada. Kereta yang ada adalah KRD ekonomi pukul 13.53).

Demikian pula, untuk catatan pada hari ketiga dan keempat, saya menulis dalam bahasa Sunda. Namun, yang tidak akan pernah saya lupakan adalah meminta tanda tangan para tokoh yang terlibat dalam perhelatan tersebut. Entah bagaimana mulanya sehingga terlintas pikiran demikian. Namun, sejak hari ketiga, 24 Agustus 2001, saya melakukannya. Mula-mula yang saya mintai tanda tangan adalah A. Teeuw saat rehat. Ketika ia berjalan di depan Gedung Merdeka, saya cegat. Ia sempat tercengang keheranan sebelum akhirnya berkenan membubuhkan tanda tangannya dalam bloknot KIBS kepunyaan saya.

Selain A. Teeuw, saya juga meminta tanda tangan Achdiat K. Mihardja saat Hawe Setiawan menyampaikan paparannya tentang sastra Sunda pascakolonial. Saya juga meminta tanda tangan Ayatrohaedi setelah ia menyampaikan paparan “Nganjang ka Kalanggengan” (Berkunjung ke Alam Keabadian) pada 25 Agustus 2001. Godi Suwarna yang saya temui sedang berada di Pameran Seni Budaya di Gedung YPK, juga saya minta tanda tangannya. Saat ke pameran itu, KIBS I sudah ditutup dan saya berbelanja buku sebelum pulang.

Sebagaimana yang diungkapkan pada awal tulisan, KIBS I memang sangat penting bagi saya. Pertama, saya dapat mengenal langsung tokoh-tokoh kesundaan, karena sebelumnya saya hanya mengenal nama-namanya belaka dari pelbagai tulisan yang saya baca dalam koran. Bahkan setelah saya aktif menulis, banyak tokoh yang saya kenal dekat, baik sebagai mentor maupun senior.

Kedua, dengan mengikuti KIBS I, wawasan saya tentang kesundaan menjadi terbuka, karena sebelumnya kesundaan hampir identik dengan kesusastraan dan kesenian. Padahal, ternyata, kesundaan tidak hanya itu, melainkan berkaitan pula dengan geografi, geologi, ekonomi, politik, agama, sejarah, dan lain-lain.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//