Geografi Ingatan (20): Demi Bacaan, Berkirim Surat ke Inggris dan Kuwait
Sayangnya, ketiga surat yang dikirimkan itu tidak berbuah sesuai dengan yang diharapkan. Dua surat ke Inggris dikembalikan, satu surat ke Kuwait tak ada kabarnya.
Penulis Atep Kurnia20 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Ada ungkapan Sunda yang dapat menggambarkan perasaan saya setelah membuka-buka catatan dalam buku agenda selama bekeja di pabrik. “Reuwas kareureuhnakeun” atau terkejut setelah apa yang terjadi. Itulah ungkapan yang saya maksudkan meski kejadiannya sudah dua dasawarsa lewat. Peristiwa yang membuat terkejut itu terkait surat yang saya kirimkan ke Inggris dan ke Kuwait persis pada tanggal terjadinya “Black September”, 11 September 2011, yang menghancurkan menara kembar World Trade Center (WTC) di New York.
Apakah saat itu saya tahu adanya kejadian segenting itu? Agaknya tidak atau belum menyadari sepenuhnya atas kejadian besar nun di Amerika Serikat itu. Agaknya memang belum tahu, karena para pembajak menabrakkan kapal terbang sekitar pukul 09.00 pagi. Dalam waktu yang sama, barangkali saya sedang ada di jalan menuju ke kantor pos. Mengenai hal tersebut dapat dilihat dari catatan saya tanggal 11 September 2001. Di sana antara lain saya menulis demikian:
“Mahal memang rasa panasaran teh, contona tadi satengah sabelas beurang ngaposkeun 3 surat, masing-masing ka Inggris 2 jeung ka Kuwait 1. Ari nanyakeun teh: ka Eropa prangkona 8.500, ka Arab 8.000, Asia Tenggara 6.000, Amerika 9.500, dll. Atuh kudu mayar teh 25.000. Tapi susuganan eta surat-surat teh nyanggut sapaneja kuring, nyaeta toko-toko buku jeung alamat anu dituju ngirimkeun buku-buku atawa majalahna.” (Rasa penasaran memang mahal, contohnya tadi pukul setengah sebelas siang memposkan 3 surat, masing-masing ke Inggris 2 dan ke Kuwait 1. Saya tanya perihal ongkosnya: ke Eropa menggunakan perangko sebesar Rp 8.500, ke Arab Rp 8.000, Asia Tenggara Rp 6.000, Amerika Rp. 9.500, dll. Seluruhnya saya harus membayar Rp 25.000. Tapi mudah-mudahan surat-surat itu berhasil sebagaimana yang saya kehendaki, yakni baik toko-toko buku maupun alamat yang saya tuju dapat mengirimkan buku-buku dan majalah.)
Dua Surat Dikembalikan
Apa yang menjadi latar belakang sehingga saya nekad mengirimkan surat? Tentu saja kebiasaan saya membaca, termasuk buku dan majalah Islam. Sejak SMU, saya sudah suka membaca majalah-majalah Islam, seperti Risalah, Amanah, Bina Da’wah, Iber, Permata, dan Adzan, koleksi perpustakaan masjid sekolah. Juga karena saya aktif sebagai salah seorang pengurus organisasi remaja masjid. IKMAL namanya. Setelah bekerja di pabrik, saya lebih sering mengumpulkan edisi-edisi lama majalah Adzan dan Amanah, yang banyak menyajikan pengetahuan populer tentang sejarah Islam.
Barangkali dari antara majalah-majalah itu, saya menemukan berita tentang kemungkinan memperoleh bahan bacaan dengan cara berkorespondensi dengan pihak-pihak yang menyediakannya di luar negeri. Oleh karena itu, saya nekad saya menulis surat dalam bahasa Inggris yang bila dibaca sekarang dapat dibilang “sabulang bentor, teu puguh alang ujurna” alias tidak jelas tata bahasanya. Namanya juga hasil belajar sendiri, barangkali dari buku-buku modul pelajaran bahasa Inggris terbitan ABC Radio Australia, yang dulu memang saya sukai. Atau barangkali saya membacanya dari buku panduan cara berkorespondensi menggunakan bahasa Inggris.
Soal latar belakang itu, memang terlihat jelas dari surat yang tulis. Pada awal surat antara lain saya mengemukakan bahwa “I was very excited to find your address in one of the Islamic magazine. I am labour of textile factory in South-east Bandung, West Java. And I am Moslem. My favourite hobby is reading the Islamic books and magazines, especially about literature, arts and history ...”
Tuh, kan, kacau ya bahasa Inggrisnya. Mohon maklum saja, namanya juga belajar otodidak. Intinya saya menerangkan bahwa tertarik saat menemukan alamat mereka dalam sebuah majalah Islam. Saya juga menyebutkan bahwa saya seorang buruh pabrik tekstil di Bandung, muslim, dan hobi membaca, terutama mengenai sastra, seni, dan sejarah. Ke sananya, saya memohon mereka agar berkenan mengirimkan hasil publikasinya secara gratis.
Apakah upaya tersebut berhasil? Sayang, ketiganya tidak berbuah sesuai dengan yang saya harapkan. Dua surat dikembalikan kepada saya, sementara satu lagi tidak kembali. Dua surat yang dikembalikan adalah surat-surat yang dikirimkan ke Inggris, sementara yang tidak kembali adalah yang dikirimkan ke Kuwait.
Surat yang pertama kembali pada Jum’at, 22 Desember 2001, atau sekitar tiga bulan setelah dikirimkan. Dalam catatan hari itu, saya menulis demikian: “Satu surat yang dikirimkan ke Inggris, tertanggal 11 September 2001 kembali lagi, tanpa hasil – hanya mampir saja di Kota London”. Dalam keterangan yang tertulis dari pos di Inggris tertulis bahwa “adressee has gone away” alias alamat yang dituju sudah tidak ada lagi.
Sementara yang satu lagi kembali pada Rabu, 16 Januari 2002, atau empat bulan setelah pengiriman. Mengenai hal ini, saya menulis demikian dalam buku agenda: “Datang deui surat 11 September teh, sanggeus ngalaman unggah ka tanah Inggris, manehna balik deui, bari mawa ‘no longer here – return – gone away’” (Satu lagi surat yang saya kirimkan pada 11 September 2001 itu kembali lagi, setelah mengalami singgah di tanah Inggris, dia kembali lagi seraya membawa keterangan ‘no longer here – return – gone away’”.) Ya, artinya sama dengan nasib pertama: alamat sudah tidak ada lagi.
Baca Juga: Geografi Ingatan (19): Mengikuti Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS)
Geografi Ingatan (18): Kuliah yang Gagal
Geografi Ingatan (17): Membaca di Kolong Mesin
Lain Dulu, Lain Sekarang
Dua dasawarsa kemudian, catatan dan surat itu saya baca lagi. Sekarang, pemuda berusia 22 tahun dapat dikatakan tidak akan ada yang punya kebiasaan untuk menulis surat secara tertulis di atas kertas, membubuhkan perangko sebagai bea kirimnya, dan mengirimkannya ke kantor pos.
Meski tidak menutup kemungkinan ada pemuda 20-an tahun yang masih melakukannya, tapi agaknya oleh generasi milenial atau Y dan Z saat ini, kebiaasaan berkorespondensi secara fisik itu sudah pasti dianggap tidak praktis dan memakan biaya besar. Mereka kini dapat menggunakan surat elektronik atau bahkan media sosial.
Lagi pula, bahan-bahan bacaan seperti yang saya cari dan kehendaki pada 20 tahun lalu itu sudah banyak tersedia di internet. Tinggal mereka rajin menjelajahi, mencari, menyeleksi, dan membacanya di dunia maya. Bahkan dalam bentuk majalah dan buku elektronik sekarang tidak akan tertampung.
Betapa pun, dalam tulisan ini, saya memang ingin mengenang lagi peristiwa yang terjadi di kala saya masih muda. Dibandingkan dengan saat ini, memang jauh tanah dengan langit bila dipertautkan dengan cara memperoleh informasi.
Dulu prosesnya dapat berlarat-larat lama. Jawaban atas kepenasaran bisa berbuah berbulan-bulan kemudian, seperti surat saya yang berisi permohonan bahan bacaan ke lembaga-lembaga yang ada di luar negeri. Meski hasilnya nihil. Sekarang, anak muda tinggal menjentikkan jari-jari di layar telepon pintar atau komputer, informasi akan bermunculan sendirinya.
Sekali lagi saya lihat surat yang sempat singgah di tanah Inggris dan menimbulkan efek kejut setelah mengaitkan titimangsanya dengan peristiwa yang berdampak besar terhadap dunia itu.