• Kolom
  • Geografi Ingatan (22): Langganan Majalah Horison dan Kursus Komputer

Geografi Ingatan (22): Langganan Majalah Horison dan Kursus Komputer

Kegemaran membaca sastra jadi sebab berlangganan majalah Horison yang uangnya dikirim lewat kantor pos. Ketidakmampuan berinternet jadi alasan ikut kursus komputer.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Majalah Horison edisi khusus Puisi Internasional Indonesia 2002 yang dikoleksi penulis, berikut resi wesel berlangganan Horison serta kuitansi kursus komputer. (Foto: Atep Kurnia)

3 September 2021


BandungBergerak.id - Sepanjang yang teringat, saya mulai keranjingan membaca buku sastra saat belajar di Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) Cicalengka. Dasar kegemaran tersebut agaknya mulai terbentuk beberapa tahun sebelumnya, saat kelas dua SMP mendapat tugas membuat resensi atau ringkasan novel Indonesia. Saya dan beberapa kawan yang berangkat ke Bursa Buku Palasari membeli novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka. Novel itu dibaca bergiliran.

Tampaknya kesukaan membaca karya sastra itu mendapatkan wahananya yang lebih luas di perpustakaan SMUN Cicalengka, Jalan H. Darham, ke arah Curug Sindulang. Setiap ada kelas kosong, saya dapat dipastikan nongkrong di perpustakaan. Begitu pula waktu istirahat.

Karena berbekal seadanya dari rumah, uang saku saya kerap tidak dapat digunakan untuk jajan yang dapat membuat perut kenyang. Cukup hanya untuk beberapa bala-bala dengan cabai rawit atau saus tomat dari warung belakang sekolah. Sebagai pelipur lara, cukuplah saya menghabiskan masa di perpustakaan saja.

Para petugas perpustakaan juga rata-rata ramah. Bahkan dari tiga petugas itu, salah seorang di antaranya ada yang cukup muda dan humoris. Bawaannya terus melucu, guyon. Oleh kawan-kawan saya, dia akrab disapa “Prew” atau “Mprew”. Entah siapa nama aslinya, hingga sekarang saya tidak tahu. Pada kesempatan reuni beberapa tahun lalu, saya ketemu lagi dengan Mprew, tapi lupa menanyakannya. Namun, yang jelas, keberadaannya di perpustakaan sekolah membuat saya tambah betah.

Penambah kerasan di perpustakaan tentu saja adalah koleksi pustakanya. Di situlah saya mulai berkenalan antara lain dengan buku-buku karya Saini KM. Salah satunya yang sekarang tetap mengesankan saya adalah buku Puisi dan Beberapa Masalahnya: pilihan karangan dari Pertemuan Kecil Pikiran Rakyat (1993) yang berisi bimbingan menulis puisi. Saya juga tergila-gila dengan beberapa set ensiklopedia yang ada dalam rak kaca berkunci. Untuk dapat mengaksesnya, saya kerap memohon-mohon biar dibukakan.

Selain suka membuka-buka jilid tebal Encyclopedia Americana, saya sering membolak-balik satu set ensiklopedia sastra dunia yang berbahasa Inggris. Sayang, saya lupa lagi nama serinya. Tetapi yang masih ingat, dari buku itulah saya mulai mengenal puisi-puisi kuno dunia seperti Epic of Gilgamesh dari zaman Mesopotamia dan cerita detektif Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle. Saking sukanya, saya harus menyisihkan uang saku yang sedikit itu agar dapat memfotokopi bagian-bagian dari ensiklopedia sastra yang paling saya sukai.

Di perpustakaan sekolah pula, saya juga mulai berkenalan dengan majalah Horison. Barangkali saat itu sedang berjalan program Siswa Bertanya Sastrawan Menjawab (SBSM) dan pada setiap edisi Horison ada sisipan untuk bacaan siswa SMU, yaitu “Kaki Langit”. Dari sisipan tersebut, saya dapat mengenal profil sastrawan Indonesia sekaligus tergugah untuk turut menulis sajak, seperti para siswa lainnya yang karyanya dimuat di situ.

Dari berbagai edisi Horison yang terbaca di sekolah, saya juga terkesan dengan edisi-edisi khusus yang memuat karya para sastrawan dunia. Salah satu edisi yang memuat karya-karya sastrawan Rusia sempat saya fotokopi. Dari situlah saya mulai mengenal karya Leo Tolstoy, Anton Chekhov, Mikhail Zoshchenko, dan lain-lain. Edisi yang memuat bahasan dan karya sastra Sunda juga sempat saya lihat. Di situ antara lain ada tulisan Ajip Rosidi dan Duduh Durahman yang membahas sastra Sunda. 

Dapat Berlangganan Sendiri

Empat tahun kurang setelah tamat sekolah, barulah saya dapat berlangganan Horison dengan uang sendiri. Mengapa tidak sejak awal bekerja di pabrik? Ya, tentu saja, karena gaji saya masih kecil dan perhatian masih tertuju pada buku. Meskipun sekali-kali dapat pula saya menemukan Horison bekas.

Namun, pada awal 2002, gaji saya sudah membaik, dengan catatan tentu saja harus diimbangi dengan kerja keras 12 jam setiap akhir pekan. Sebagai gambaran, untuk Juni 2002, gaji pokok saya Rp. 471.000, ditambah uang lembur akhir pekan tiga kali sebesar Rp. 252.000, lembur rutin Rp. 85.000, dan uang premi sebesar Rp. 16.000. Total saya mendapatkan gaji sebanyak Rp. 824.000.

Untuk ukuran bujangan seperti saya saat itu, uang tersebut terbilang lumayan besar. Untuk bandingan saja, sebagaimana tercatat dalam buku agenda pada 16 Mei 2002, harga sepiring nasi goreng saat itu masih Rp. 3.500 atau sekitar seperempat atau seperlima harga sekarang.

Dengan keadaan itulah, pada 2 Maret 2002, saya mengirimkan uang langganan ke majalah Horison melalui kantor pos, untuk Maret hingga Juli 2002. Edisi pertama langganan tersebut, yaitu Horison edisi Maret 2002, tiba di rumah saya pada 23 Maret 2002.

Dalam buku agenda, saya mencatatnya demikian: “Balik gawe, jam sapuluh peuting, di imah kasampak majalah Horison edisi bulan Maret jeung surat ondangan ti Kleub Buku Girimukti. Memang mimiti bulan Maret nepi ka Juli, kuring langganan majalah Horison jeung jadi anggota KBG ti mimiti Februari.” (Sepulang kerja, pukul sepuluh malam, di rumah sudah ada majalah Horison edisi Maret dan surat undangan dari Klub Buku Girimukti. Memang sejak Maret hingga Juli, saya berlangganan Horison dan menjadi anggota KBG sejak Februari).

Selama berlangganan majalah Horison, ada yang lucu juga. Untuk edisi April 2002, majalahnya tidak sampai ke rumah. Oleh karena itu, pada 14 Mei 2002, setelah memfotokopi Papacangan karya Rusman Sutiasumarga, Darah Laut karya H.B. Jassin, Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam, saya menelepon bagian tata usaha Horison. Maksud saya hendak, “Ngabenerkeun alamat kuring, sabab edisi April, majalah teh teu tepi ka imah.” (Membetulkan alamat, sebab edisi April, majalahnya tidak sampai ke rumah).

Lalu, apakah setelah Juli 2002, saya lanjut berlangganan Horison? Besar kemungkinan tidak. Entah mengapa. Bisa jadi banyak keperluan lainnya, sehingga uang saya banyak terpakai. Tetapi, dari langganan yang sebentar itu, saya masih menyimpan beberapa edisi majalahnya. Termasuk edisi khusus Puisi Internasional Indonesia 2002 (April 2002) yang tebal, bahkan paling tebal di antara edisi-edisi Horison yang pernah saya lihat dan sekarang saya miliki. Yang membuat terus terkesan adalah saya hadir pada salah acara Festival Puisi Internasional Indonesia di Gedung Gelanggang Generasi Muda (GGM), Jalan Merdeka, Bandung, antara 10-13 April 2002.

Baca Juga: Geografi Ingatan (21): Mencatat Buku yang Sempat Dibaca
Geografi Ingatan (20): Demi Bacaan, Berkirim Surat ke Inggris dan Kuwait
Geografi Ingatan (19): Mengikuti Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS)

Karena Internet, Saya Kursus Komputer

Uang yang harus saya keluarkan hampir bersamaan dengan langganan Horison itu adalah untuk kursus komputer. Bila dipikir-pikir lagi kini, latar belakang hingga memutuskan turut kursus terasa lucu. Karena bermula dari pertanyaan lugu yang saya ajukan kepada operator warung internet (warnet) di desa saya.

Pertanyaan lugu itu saya lontarkan sekitar Februari 2002. Waktu itu saya sangat ingin tahu apa itu internet dan bagaimana cara mengoperasikannya. Karena menurut berbagai bacaan dalam koran, majalah, dan lain-lain, internet begitu dahsyat dalam menampilkan data dan informasi. Sekali ketik, langsung lirik, mata akan terpana.

Dalam keadaan belum tahu cara mengoperasikan komputer, saya menuju satu-satunya warnet yang ada di desa, persis di depan SDN Tanjunglaya 2. Kepada operator warnet, saya katakan: apakah saya dapat menggunakan internet di situ? Si operator balik tanya: apakah sudah bisa mengoperasikan komputer? Tentu saja jawaban itu mematahkan semangat yang tadinya menggebu-gebu.

Namun, barangkali itulah untungnya bertanya. Rasa penasaran kita jadi ada jawabannya. Bahkan kemudian dapat mendorong diri untuk mengatasi sumber pangkalnya. Pada kasus saya, ketidakmampuan dan ketidaktahuan cara mengoperasikan internet, jadi jalan untuk mencari informasi tempat belajar atau kursus komputer.

Mengenai bagaimana dapat menemukan tempat kursus komputer, saya lupa lagi. Entah hasil tanya-tanya atau dengan secara tidak sengaja melihat plang, di daerah Santiong, seberang SD dan Pesantren Santiong saya menemukan yang saya cari: LPK PAKSI. Pada 11 Maret 2002 atau sembilan hari setelah mengirim uang langganan Horison, saya membayar Rp. 36.500 untuk biaya pendaftaran plus iuran bulan pertama.

Apa yang saya tulis waktu itu mengenai kursus komputer? Pada catatan 23 Maret 2002, saya tidak memasukkan alasan awalnya. Di dalam buku agenda, saya menulis begini: “Hal-hal lain nu geus kaliwat, nyaeta ngiluan kursus komputer di LPK PAKSI, Santiong. Ayeuna nincak kaopat kali pertemuan teh. Maksud kahiji mah, hayang nambahan elmu jeung pangalaman. Nu kaduana, ngeusi waktu lowong. Nu katiluna, sugan we bisa pindah gawean teh ka tempat anu teu rada cape – teu perlu tanaga gede.” (Hal-hal lain yang sudah terlewat, yaitu ikut kursus komputer di LPK PAKSI, Santiong. Sekarang sudah ikut empat kali pertemuan. Maksud pertama [ikut kursus] adalah hendak menambah ilmu dan pengalaman. Kedua, mengisi waktu luang. Ketiga, berharap bisa pindah kerja ke tempat yang tidak terlalu banyak menguras tenaga).

Jadi, alasan sebenarnya mendaftar kursus komputer tidak tertulis. Barangkali lupa atau saya nilai tidak perlu mengungkit-ungkit hal tersebut lagi. Yang terang, saya mengikuti kursus itu hingga Agustus 2002, setelah sempat mengikuti ujian yang terus-terusan merasa gagal pada 20 Juni 2002. Barangkali saya terus mencoba, hingga pada 24 dan 25 Agustus 2002, secara berturut-turut mau mengambil sertifikat hasil kursus itu. Namun, sayang, sertifikatnya belum jadi pada hari Sabtu, dan saat datang lagi pada hari Minggu, di tempat kursusnya tidak ada yang menunggu. Alhasil, hingga kini, saya tidak punya sertifikat itu.

Apakah setelah ikut kursus, saya datang lagi ke warnet itu? Rasa-rasanya saya tidak pernah lagi menyambanginya. Bisa jadi saya sudah merasa cukup dengan apa yang tersedia dalam pelbagai media cetak, belum saatnya saya keranjingan mencari informasi dari internet. Keranjingan pada internet baru terjadi setelah saya pindah kerja ke Bandung, empat tahun setelah ikut kursus komputer.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//