• Kolom
  • SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (12): Stasiun Gedebage

SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (12): Stasiun Gedebage

Stasiun Gedebage, yang sekarang lebih dikenal orang sebagai Terminal Peti Kemas, pernah berfungsi sebagai stasiun penumpang. Berperan dalam pengembangan kawasan.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Lahan bekas bangunan Stasiun Gedebage lama yang sudah rata dengan tanah, menyisakan rel-rel baja buatan tahun 1921 dan 1954, di permukiman padat sekitar 200 meter arah timur dari perlintasan kereta api di Gedebage, Bandung, Senin (25/10/2021) pagi. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

24 Oktober 2021


BandungBergerak.idSelama menggunakan kereta api lokal Cicalengka-Padalarang atau Cibatu-Padalarang, saya tidak pernah sekalipun turun di Stasiun Gedebage. Kalau sekadar turut berhenti barangkali iya, sepanjang kereta api yang saya tumpangi perewis dengan kereta lainnya. Sudah barang tentu, penumpang lain pun sama.

Mengapa demikian? Salah satu sebabnya karena Stasiun Gedebage berfungsi sebagai stasiun kereta api barang. Menurut data dari  id.wikipedia.org, stasiun kereta  api barang kelas I di Kelurahan Cisaranten Kidul, Kecamatan Gedebage ini dikhususkan untuk bongkar muat peti kemas sehingga sangat jarang digunakan oleh penumpang. Stasiun Gedebage juga melayani persilangan dan persusulan antarkereta api.

Di stasiun yang terletak pada ketinggian + 672 meter di atas permukaan laut dan jadi stasiun paling timur di Kota Bandung ini, menurut cargo.kai.id, ada Terminal Peti Kemas Bandung-Dry Port 476 atau Terminal Petikemas Gedebage (TPGD). Luas terminal berjenis container yard atau warehouse ini mencapai 300.000 m2, dengan luas area penimbunan peti kemas-export 1.560 m2, peti kemas-import (CFS-2) seluas 1.560 m2, dan peti kemas-empty seluas 6.000 m2.

Konon, layanan kereta api peti kemas di Gedebage sejalan dengan beroperasinya Terminal Peti Kemas Bandung, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Perhubungan No. KM. 279/KA.101/PHB-87 pada 23 Desember 1987 (id.wikipedia.org). Menurut Ibnu Murti Hariyadi (Selayang Pandang Sejarah Perkeretaapian Indonesia 1867-2014, 2015: 51) “dry port” atau pelabuhan daratan di Gedebage ini merupakan pengganti gudang persediaan kereta api di Cikudapateuh yang didirikan pada 1920-an. Perpindahan dari Cikudapateuh ke Gedebage terjadi pada 1987.

Pertanyaannya, apakah di masa lalu Stasiun Gedebage berfungsi sebagai stasiun kereta penumpang? Sebagai titik pijak, dalam id.wikipedia.org disebut-sebut sekitar 200 meter di sebelah timur perlintasan Jalan Gedebage, ada bekas perhentian Gedebage Baru yang dinonaktifkan karena KRD Bandung Raya sudah tak lagi melayani halte itu. Di haltenya hanya tersisa bekas tegel dan peron. Dengan demikian, dulunya dapat dikatakan Stasiun Gedebage melayani penumpang, meski juga terbuka kemungkinan adanya layanan kereta barang.

Dalam tulisan ini, saya akan mengurai fakta-fakta bahwa Stasiun Gedebage di masa lalu memang pernah melayani keberangkatan dan kedatangan para penumpang, sekaligus tempat bongkar dan muat barang.

Suasana naik-turun penumpang kereta api lokal Cicalengka-Bandung di Stasiun Gedebage, Kota Bandung, dipotret oleh Werner Brutzer pada 30 September 1980. (Sumber foto: bahnbilder.de)
Suasana naik-turun penumpang kereta api lokal Cicalengka-Bandung di Stasiun Gedebage, Kota Bandung, dipotret oleh Werner Brutzer pada 30 September 1980. (Sumber foto: bahnbilder.de)

Sudah Ada sejak Tahun 1884

Hingga awal Juni 1884, rel kereta api untuk jalur Bandung-Cicalengka baru mencapai Gedebage, sebagai halte pertama setelah Stasiun Bandung (“Het spoorleggen vorderde tot Gedeh-Bageh, de eerste halte voorbij Bandoeng”). Kabarnya diberitakan dalam Bataviaasch Handelsblad (BH) edisi 5 Juni 1884.  

Padahal, pada 8 Mei 1884 atau sebulan sebelum pemasangan rel mencapai Gedebage, inspektur jenderal jawatan kereta api sudah mengumumkan jadwal pembukaan jalur kereta api Cianjur-Bandung pada 17 Mei 1884 serta rencana pembukaan jalur Bandung-Cicalengka. Bahkan dalam jadwal kereta api yang dimuat dalam BH dan Java-bode (JB) sejak edisi 12 hingga 23 Mei 1884, Halte Gedebage sudah disebut-sebut sebagai salah satu tempat perhentian layanan Cianjur-Bandung dan Bandung-Cicalengka.

Lebih dari itu, dalam jadwal itu, termaktub bahwa untuk layanan Cianjur-Bandung bermula dari Cianjur, akan melalui Halte Cipadalarang, Halte Cimahi, Stasiun Bandung, Halte Gedebage, Halte Rancaekek, dan Stasiun Cicalengka. Sementara untuk Bandung-Cicalengka bermula dari Cicalengka, lalu Rancaekek, Gedebage, dan Bandung.

Dalam perkembangannya, antara tahun 1889-1893, saat layanan jurusan Bogor-Garut, Bandung-Cibatu, Bandung-Garut, dan Bandung-Tasikmalaya dibuka, Halte Gedebage jadi tempat pemberhentian Trein No. 1, Trein No. 4, Trein No. 5, Trein No. 6, Trein No. 15, Trein No. 18, Trein No. 25, Trein No. 26 (Staatsspoorwegen op Java, Westerlijnen. Tijdtafels van den loop der Treinen, untuk 10 Juli 1889, 1 Agustus 1891, 16 September 1893).

Dari keterangan B dalam AID De Preanger-bode (4 Oktober 1897), saya jadi tahu bahwa hingga awal Oktober 1897 banyak penumpang pribumi yang berangkat dengan menggunakan kereta pagi pukul 06.00 dan sore pada pukul 15.00 yang hanya mencapai Halte Gedebage, tidak berlanjut ke Stasiun Kiaracondong yang sudah didirikan pada 1893. Oleh karena itu, B menyarankan agar Stasiun Kiaracondong dihapuskan saja dan digantikan dengan stopplaats yang didirikan di dekat Jalan Raya Pos yang menghubungkan Bandung dengan Sumedang.

Dengan demikian, antara 1884 hingga 1897, dapat dibilang Halte Gedebage berfungsi sebagai stasiun kereta api untuk melayani para penumpang yang tinggal di seputar Distrik Ujungberung Wetan. Keadaan itu terus bertahan paling tidak hingga 1980-an, saat Werner Brutzer merekam keramaian suasana naik-turun penumpang kereta api lokal Cicalengka-Bandung di Gedebage, pada 30 September 1980. Rangkaian keadaan Stasiun Gedebage hasil jepretan fotografer berbangsa Jerman itu masih dapat kita lihat dalam situs bahnbilder.de.

Dalam situs itu disebutkan juga bahwa Werner Brutzer sudah tertarik pada dunia kereta api sejak sekolah, dan mulai memotret sejak 1968. Kegemaran itu menular kepada anaknya, Hansjörg Brutzer, yang mulai memotret kereta api sejak 1978. Keduanya sudah mengoleksi 320.000 slide foto kereta api dari berbagai negara. Termasuk dari Indonesia yang dikunjunginya pada 1980.

Dalam foto-foto hasil jepretan Werner Brutzer, belum terlihat adanya terminal peti kemas di sekitar Gedebage. Suasana di kanan dan kiri Stasiun Gedebage masih berupa persawahan, penuh rona kehijauan. Sementara para penumpang di bawah kereta api nampak berdesak-desakan, hendak naik ke dalam kereta yang juga sudah sesak dengan penumpang.

Alhasil, benar belaka, suasana dan fungsi Stasiun Gedebage mengalami perubahan semenjak pindahnya gudang kereta api dari Cikudapateuh sekaligus didirikannya Terminal Peti Kemas Bandung tahun 1987.

Potret bangunan Stasiun Gedebage, Kota Bandung, antara tahun 1884-1935 (TM-30048420). Setidaknya sampai tahun 1980-an ,stasiun di kawasan timur Bandung ini berfungsi juga sebagai stasiun penumpang. (Sumber foto: collectie.wereldculturen.nl)
Potret bangunan Stasiun Gedebage, Kota Bandung, antara tahun 1884-1935 (TM-30048420). Setidaknya sampai tahun 1980-an ,stasiun di kawasan timur Bandung ini berfungsi juga sebagai stasiun penumpang. (Sumber foto: collectie.wereldculturen.nl)

Nama Gedebage dan Kepala Halte

Seorang pembaca bernisial C.A. menulis ihwal nama geografi di Hindia Belanda (“Aardrijkskundige namen in Ned. Indie”) dalam JB edisi 9 Februari 1885. Di antara yang dijadikan contohnya adalah cara untuk menuliskan nama Halte Gedebage.

Sebagai tanggapan atas tulisan M.v.B, C.A. merasa kebingungan untuk menentukannya. Apakah harus ditulis Gedèh bagèh, Gèdeh bageh, Gedeh bageh, Gedeh bagèh atau Gedè bageh (“... hij ergens aan een halte: Gedeh Bagèh; dan kan het hem niet onverschillig zijn of hij leeat: Gedèh bagèh, Gèdeh bageh of Gedeh bageh of Gedeh bagèh of, wat het misschien zijn moet: Gedè bageh”). Padahal katanya penting juga bagi publik mengetahui nama sebenarnya sebuah tempat (“Ook voor het groote publiek is het van belang te weten hoe de ware naam van een plaats is”).

C.A. yang saya kira orang Belanda tentu saja merasa kesulitan untuk menentukan pelafalan Gedebage. Yang dijelaskan di sana ada penambahan huruf h pada bage. Ia juga kesulitan untuk menempatkan é taling pada kata Gede dan bageh. Padahal menurut lafal sebenarnya dalam bahasa Sunda, seharusnya kata tersebut ditulis Gedébagé. Dalam konteks tulisan C.A. di atas, yang benar adalah Gedèh bagèh.

Mengapa soal nama Gedebage dibahas? Saya kira ini juga informasi sangat penting mengingat nama-nama stasiun lainnya di sepanjang Padalarang hingga Nagreg juga kerap menimbulkan masalah yang sama dalam soal pelafalan. Misalnya, Padalarang yang semula dikenal sebagai Tji-Padalarang atau Tjipadalarang, Cikudapateuh yang ditulis Tji-Koedapateuh, Tjikoeda-Pateuh, dan lain-lain.

Informasi lainnya yang saya pikir menarik adalah mengenai para pegawai pribumi di Stasiun Gedebage. Paling tidak sejak 1889, sudah tercatat ada pribumi yang bekerja di Halte Gedebage. Dalam JB (19 Agustus 1889) disebut-sebut Ganda Winata sebagai klerek pribumi kelas satu ditempatkan di Halte Gedebage. Tiga tahun kemudian, dengan jabatan sebagai klerek pribumi kelas tiga, Ganda Winata dilepas dari pekerjaannya di Halte Gedebage (De Locomotief, DL, dan Soerabaijasch Handelsblad, SH, edisi 8 November 1892).

Pada 1893, yang menjadi klerek pribumi kelas tiga, sekaligus mengepalai Halte Gedebage, adalah Wiriaatmadja (DL, 26 Oktober 1893). Setahun kemudian, pada 1894, kepala stasiun pribumi itu diberitakan meninggal (“den overleden Chef der halte Gedeh-Bageh”). Atas kematiannya, kepala kontrol eksploitasi jalur barat H.E. Wagenaar mengumpulkan derma bagi keluarga almarhum Wiriaatmadja (DL, 25 Juni 1895).

Satu dasawarsa lebih kemudian, tersiar kabar yang menjadi kepala Halte Gedebage adalah Prawirodimedjo, yang lalu bertukar posisi dengan Mas Sastradiwiria dari Halte Rengasbandung (AID, 8 April 1908).

Ternyata, kepala halte juga merangkap sebagai kepala pos. Anehnya, suatu hari pada Mei 1910, kepala Halte Gedebage menerima surat-surat dengan tujuan-tujuan yang sangat jauh, bukan untuk sekitar Ujungberung. Ia mendapatkan surat untuk tujuan Yogyakarta, Blora, Rembang, dan lain-lain (AID, 13 Mei 1910).

O ya, kita kembali ke soal nama Gedebage. Bila membaca Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, HNDNI, edisi 7 Mei 1931, saya jadi tahu jawatan kereta api sejak 1884 hingga awal Mei 1931 menggunakan nama Gedehbage, alih-alih Gedebage. Oleh karena itu, selama beberapa bulan kantor pusat jawatan kereta api sibuk merevisi nama-nama stasiun agar pelafalannya sama dengan yang digunakan oleh jawatan pos dan telegraf (Post- en Telegraafdienst). Salah satu yang diubah oleh mereka adalah Gedehbage menjadi Gedebage.

Baca Juga: SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (11): Stasiun Kiaracondong
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (10): Stasiun Cikudapateuh
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (9): Stasiun Bandung (2)
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (8): Stasiun Bandung (1)

Persawahan, Perburuan, dan Industri

Hingga sekarang, antara Gedebage dan Rancaekek terbentang persawahan sangat luas. Itu sebabnya mata pencaharian yang dominan adalah tani padi. Namun siapa sangka, dulu sempat tersiar rencana pembuatan perkebunan tebu untuk gula. Mengenai hal ini, AID (4 Maret 1904) mengabarkan bahwa para petani menyewakan lahan sawah mereka, antara Gedebage dan Rancaekek, kepada tuan kebun bibit (bibitplanters) untuk ditanami tebu.

Luasnya persawahan dari arah barat Bandung ke arah timur itu, dimanfaatkan oleh orang-orang Eropa untuk berburu burung saat musim hujan. Dalam AID edisi 10 Desember 1912 disebutkan bahwa setiap Minggu pagi, lusinan para pemburu terlihat melakukan perjalanan ke sekitar persawahan di Gedebage, Rancaekek, Haurpugur, Majalaya, Sapan, Cangkring, dan Bojongsoang, dengan menggunakan mobil, kereta api, sepeda, dan berjalan kaki. Mereka berburu antara lain burung belekok, pelung, dan ayam-ayaman.

Distrik Ujungberung Wetan, termasuk Gedebage di dalamnya, dikenal pula sebagai penghasil genting (aarden dakpannen) dan tegel gunung (bergtegels). Salah seorang pengusaha yang menjalankan bisnisnya adalah J.H. de Wolff (AID, 7 Januari 1915, 9 Desember 1915). Genting dari sekitar Gedebage memang sangat terkenal, di samping buatan dari Citeras, Tanahbako, Cikarang, Salemba, Plered, Cirebon, Soka, dan Malang. Untuk pengangkutannya, pihak jawatan kereta api sejak 1 Januari 1935 bahkan memberikan keringanan ongkos (HNDNI  dan BN, 31 Desember 1934).

Dari keterangan F.W.K. de Klerk dan H.W. Japing (Cultuurproeven met Acacia decurrens op Java, 1930: 75), saya bahkan jadi tahu pula di sekitar Stasiun Gedebage ada gudang penyimpanan kulit Acacia decurrens yang dihasilkan oleh perusahaan perkebunan kina Cinyiruan yang dimiliki oleh pemerintah (de Gouv. Kinaonderneming Tjinjiroean). Jadi artinya, dari Pangalengan, kulit pohon jenis akasia itu dibawa ke Gedebage untuk disimpan dan nantinya didistribusikan melalui kereta api.

Halte Gedebage juga jadi alamat bagi perusahaan survei dan pemetaan J. Van der Poel & Co (Opmetings-en Kaarteeringsbureau J. VAN DER POEL & Co). Meskipun perusahaan tersebut berdomisili di Ujungberung, tetapi alamatnya di Halte Gedebage (AID, 6 dan 13 November 1920). Alasannya barangkali di situ ada kantor pos, yang dikelola oleh kepala halte.

Karena kebanyakan lahan di barat dan timur Stasiun Gedebage berupa persawahan, saat musim hujan kerap terjadi banjir. Mengenai banjir ini dapat disimak dari pemberitaan media massa antara 1930 hingga 1935. Misalnya, De Koerier edisi 4 Maret 1930 menyatakan banjir besar (groote overstrooming) telah melanda wilayah Ujungberung. Lebih dari 600 bau sawah di antara Halte Gedebage dan Stopplaats Ciendog terendam air. Contoh lainnya, De Indisch Courant (19 Februari 1935) menyatakan, karena hujan lebat pada 18 Februari 1935, jalur kereta api antara Gedebage dan Kiaracondong terlanda banjir dan mengalami kerusakan. Itu sebabnya kereta api harus berjalan perlahan.

Lokomotif yang mengepulkan asap hitam berjalan meninggalkan Stasiun Gedebage, Kota Bandung, ditonton penduduk di sisi kanan-kirinya. Gambar ini hasil jepretan Werner Brutzer pada 30 September 1980. (Sumber foto: bahnbilder.de)
Lokomotif yang mengepulkan asap hitam berjalan meninggalkan Stasiun Gedebage, Kota Bandung, ditonton penduduk di sisi kanan-kirinya. Gambar ini hasil jepretan Werner Brutzer pada 30 September 1980. (Sumber foto: bahnbilder.de)

Kecelakaan, Sinyal Baru, dan Telepon Kereta Api

Pada 16 Maret 1925 pukul 14.20, di sekitar Gedebage terjadi kecelakaan. Kereta api dari arah Ujungberung ke Rancakek tergelincir. Akibatnya seorang penumpang bangsa pribumi meninggal dunia, sementara kondektur kepala dan beberapa penumpang lainnya terluka (DL, 17 Maret 1925).

Kisah agak lengkapnya disiarkan dalam DL edisi 19 Maret 1925. Menurut koran itu, ketika Trein No. 132 dengan tujuan Tasikmalaya yang biasanya berangkat dari Bandung pada pukul 15.16 mendekati Halte Gedebage, masinis melihat sinyal untuknya aman. Dia pikir ada pada trek kedua, tetapi ternyata sinyal itu mengelabuinya, sehingga posisi kereta jadi salah. Kereta api yang dikemudikannya lalu membentur emplasemen dan menubruk gerbong barang di trek mati.

Saat itu Trein No. 132 terdiri atas sembilan gerbong dengan penumpang umumnya para pribumi, dan banyak di antaranya anak-anak sekolah. Mereka berlarian ke gerbong barang yang kosong dalam kecepatan kereta 32 kilometer per jam, sementara masinis mengerem keretanya. Namun, tidak berhasil. Jaraknya sudah terlalu dekat.

Kecelakaan itu disebabkan oleh kelalaian. Mula-mula, ada penggantian sistem sinyal lama dengan yang lebih modern, yang akan dilaksanakan pada 23 Maret 1925, termasuk di Halte Gedebage. Dalam rangka itu, opzichter De Wolf dan leerling Janssen melakukan uji coba pada 16 Maret 1925 dengan sistem pengendali dari pusat. Setelahnya sang pengawas memerintahkan kepada sang magang untuk mengembalikannya lagi ke sistem lama. Karena menganggap perintahnya sudah dilaksanakan, De Wolf mengubah poisisinya ke posisi yang lama. Namun, pengubahan ini malah tidak dapat dicek dari pusat (DL, 17 Maret 1925).

Buntut dari kejadian yang menimpa kereta api Soerabaja-expres di Gedebage itu, pihak jawatan kereta api berinisiatif memperlengkapi kondektur dengan telepon yang terpasang pada semua kereta api penumpang (Spoortelefoons). Maksudnya agar kondektur dapat segera melaporkan kemungkinan kecelakaan dan dapat menghubungi stasiun yang terdekat dengan kejadian. Komunikasi kereta api dengan dunia luar terbukti penting. Pejabat untuk urusan telegraf dan telepon, G.A. Degens mengusulkan untuk mengganti telepon dengan perkakas yang dapat disimpan di setiap tiga kilometer di sepanjang jalur kereta (BN, 12 Agustus 1925).

Editor: Redaksi

COMMENTS

//