• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Kawah Putih, dari Tempat Wisata ke Tambang Belerang

NGULIK BANDUNG: Kawah Putih, dari Tempat Wisata ke Tambang Belerang

Sohor dengan keindahan alamnya sejak zaman Hindia Belanda, Kawah Putih sempat menjadi tambang belerang.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Pemandangan udara danau kawah Kawah Putih di Jawa Barat. Foto diambil sekitar tahun 1928. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

6 Januari 2022


BandungBergerak.id - Dalam suatu hari di bulan Juli 1837, Franz Wilhelm Junghuhn tiba di Gunung Patoeha (Patuha) bersama sejawatnya Dr. Fritze. Junghuhn menggambarkan gunung tersebut sebagai salah satu puncak tertinggi yang ada dataran Bandung, menjulang di atas hamparan salah satu hutan belantara yang tidak berpenghuni di Jawa.

Junghuhn menuliskan kesannya pada hutan belantara di lereng Gunung Patoeha dalam terbitan Tijdschrift voor Neerland's Indië jaargang 5 (Majalah untuk Hindia Belanda Volume 5) bagian pertama tahun 1843. Hutan yang tenang, tapi tidak bernyawa dengan kicau burung yang tidak pernah bergema di dalamnya.

Di tengah belantara di lereng di sisi barat gunung tersebut terhampar danau belerang yang indah, Kawah Patoeha. “Kawah tua, yang oleh orang Jawa disebut Tamman Sahat,” tulis Junghuhn (1843).

Junghuhn mengartikan Tamman, dalam bahasa Belanda yakni “bad” yang harfiahnya “mandi”, serta Sahat dengan “grood” yang berarti “kering”. Yang kira-kira mirip mandi uap.

Danau tersebut diyakininya terbentuk dari kawah sisa letusan Gunung Patuha dulu. Bentuk danau tersebut digambarkannya seperti bulan sabit, dengan tumbuh-tumbuhan rumpun tinggi mengelilinginya. Bebatuan berserakan, serta  bau belerang yang menyengat.

Junghuhn mencatatkan dirinya bukan orang asing pertama menjelajahi Gunung Patuha. Junghuhn menyebutkan seorang Spanyol bernama Noronha yang pertama kali menjelajahi gunung itu tahun 1787. Disusul oleh naturalis asal Amerika Dr. Thomas Horsfield tahun 1804. Selanjutnya ahli botani asal Jerman Caspar Georg Karl Reinwardt, perintis pendirian Kebun Raya Bogor, juga menjelajahi gunung tersebut tahun 1819.

Harian Bataviasche courant, tanggal 25 September 1819, menceritakan perjalanan Reinwardt yang singgah di Gunung Patuha. Reindwardt yang kala telah di angkat menjadi anggota Dewan Komite Masyarakat Seni dan Ilmu Batavia oleh Gubernur Hindia Belanda melakukan perjalanan panjang dari Tjisondarie, Banjaran, Tjiparay, Manabaya, Timanganten, hingga Limbangan. Reinwardt menyambangi gunung-gunung tinggi di dataran Bandung hingga Garut. Di antaranya Gunung Patuha, Tombak Roeijong (Tambak Ruyung), Gunung Tiloe, Malabar, Sumbong, Gadjah, Goenong Goentoer, serta Talaga Bodas.

Reinwardt memulai perjalanannya dari distrik Tjisondarie (kini Ciwidey). Gunung Patuha adalah gunung pertama yang disambanginya kala itu. Reinwardt mencatat gunung itu memiliki dua kawah. Yang pertama berada di puncaknya, kawah yang dalam dan luas. Kawah kedua berupa danau berisi air belerang berwarna putih.

“Belerang dan uap belerang telah menembus begitu dalam dan sebagian larut ke dalam tanah putih yang lepas, batuan berbatu gunung, yang semula hitam, bafalt padat, sehingga bentuk aslinya tidak lagi terlihat,” tulis Bataviasche courant, 25 September 1819.

Sketsa Kawah Patoeha oleh F.W. Junghuhn. Dibuat antara tahun 1853 dan 1854. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Sketsa Kawah Patoeha oleh F.W. Junghuhn. Dibuat antara tahun 1853 dan 1854. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Situ Patengan Favorit Junghuhn
NGULIK BANDUNG: Mendaki Tangkuban Parahu
NGULIK BANDUNG: Kisah Badak di Gunung-gunung Bandung

Menjadi Rekomendasi Tujuan Wisata

Kendati bukan yang pertama, Franz Wilhelm Junghuhn yang membukakan Gunung Patuha dan kekayaan alamnya pada dunia. Tiga belas tahun Junghuhn menghabiskan waktu menjelajahi Sumatera dan Jawa (1835-1848).

Junghuhn tiba di Hindia Belanda sebagai tentara yang di angkat sebagai Petugas Kesehatan 3 untuk rumah sakit di Hindia Timur pada tahun 1834 (Militaire spectator; tijdschrift voor het Nederlandsche leger, jrg 3, 1834-1835, no 7, 01-08-1834). Belakangan Junghuhn malah mendapat tugas yang justru jauh dari urusan kesehatan. Dia diminta melakukan penyelidikan alam, mencatat vegetasi, dan memperbarui peta-peta yang ada dengan menjelajahi hutan belantara dan gunung tinggi.

Pengalamannya dalam lawatan pertamanya di Hindia Belanda dituangkan dalam buku yang kelak menjadi karya utamanya yakni Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und Innere Bauart (Jawa - Bentuknya, Permukaannya dan Susunan Dalamnya) yang terbit di Belanda tahun 1853. Di buku tersebut Junghuhn menceritakan tentang Kawah Patuha. Tidak cukup hanya mengenalkannya pada dunia, Junghuhn kemudian membukakan jalan untuk menyambangi danau kawah misterius di lereng Gunung Patuha.

Junghun kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1855. Kini dia ditugasi mengembangkan tanaman kina di Jawa sebagai Inspektur. Pembiakan kina di seputaran Telaga Patengan, yang juga berada di kaki Gunung Patuha, membuat hutan belantara di kaki gunung itu terbuka bagi manusia (Ngulik Bandung: Situ Patengan Favorit Junghuhn).

Berkembangnya Kawah Putih bertaut dengan Bandung yang juga berkembang semakin ramai. Kawah Putih menjadi salah satu alasan berkunjung ke Bandung.

Koran De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad tanggal 30 November 1898 menuliskan rencana Hotel Homman di Bandung dan Hotel Van Horck di Garut membuat buku panduan bergambar untuk mempromosikan keindahan alam di Preanger. W. G. J. Nieuwenkamp di kontrak untuk membuat buku tersebut.

Buku tersebut akan menjadi buku panduan untuk berwisata di Bandung, sekaligus oleh-oleh berkat gambar ilustrasi yang cantik dari keindahan alamnya. Sejumlah tempat yang jadi andalan di antaranya Gunung Tangkoeban-Prahoe, Gunung Wayang, Gunung Papandajan, Kawah-Manuk, serta danau vulkanik Telaga-Bodas dan Kawah Poetih.

Tahun 1908 buku tersebut terbit, judulnya “Gids Voor Bandung”. Buku yang belakangan hanya disponsori  oleh Hotel Homann tersebut berisi rekomendasi tempat wisata yang wajib dikunjungi jika ingin menjelajah Bandung. Gunung Patuha dan Kawah Putih menjadi salah tempat wisata andalan yang direkomendasikan dalam buku itu.

Gids Voor Bandung memaparkan, perjalanan menuju Patuha dan Kawah Putih bukan perjalanan yang mudah. “Perjalanan ke sana sangat berat dan jalan kembali melalui hutan yang masih asli sulit. Untuk wanita perjalanan tidak mungkin kecuali mereka tidak keberatan sekitar enam jam berkuda dan beberapa jam mendaki,” tulis buku itu.

Perjalanan menuju Kawah Putih harus melintasi jalan setapak berbatu di tengah hutan perawan yang lebat. Tapi keindahan alam yang menjanjikan di ujung perjalanan sepadan dengan sulitnya medan yang harus ditempuh. Dari puncak Patuha misalnya, tersaji pemandangan jajaran gunung di Bandung sepanjang mata memandang. Perjalanan menuju puncak gunung itu akan melewati Kawah Tjiwidej dengan kolam lumpur panas, serta Kawah Putih yang misterius.

“.. berada di Kawah Poetih yang dijelaskan di atas. Pemandangan danau kawah yang sudah punah ini dengan warna-warninya yang beraneka warna sangat mencengangkan, semak belukar ke jalan berbatu, yang dalam beberapa menit membawa kita ke dasar kawah abu-abu berpasir. Pemandangan Kawah Putih dari tepi tidak seindah dari atas” (Gids Voor Bandung, 1908).

Perjalanan menuju Kawah Putih tidak pernah bosan untuk di ulas. Koran De Preanger-bode tanggal 24 Agustus 1921 menerbitkan tulisan panjang yang menceritakan perjalanan sehari penuh di Bandung untuk menyambangi empat kawah, puncak gunung, dan danau dalam sehari perjalanan dengan hanya menyambangi Gunung Patuha di selatan Bandung.

Pabrik belerang Kawah Putih. Foto diambil sekitar tahun 1931.(Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Pabrik belerang Kawah Putih. Foto diambil sekitar tahun 1931.(Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Menjadi Tambang Belerang

Ketertarikan Belanda pada Kawah Putih bukan hanya pada keindahan alamnya, juga kekayaan sumber alam belerangnya. Koran De Preanger-bode, tanggal 8 Agustus 1921 menceritakan upaya panjang rencana menambang belerang dari Kawah Putih. Insinyur pertambanagn Coen de Jongh menerbitkan laporan mengenai penyelidikan potensi belerang di kawah itu.

Berawal dari proposal Komite Amunisi pada pertengahan Juli 1917 untuk melakukan penyelidikan diam-diam mengenai deposit belerang di kawah-kawah gunung di seputaran Bandung. Tahun 1919 giliran Kawah Putih yang diteliti. Pengeboran di daerah kawah dilakukan sejak bulan Juni-Desember 1919 dan menyimpulkan kandungan belerang di sana menembus setengah juta metrik ton, kandungan belerang yang cukup untuk ditambang terus-menerus selama 30 tahun. Satu-satunya kesulitan yang dihadapi saat melakukan pengeboran itu adalah takhayul warga setempat.

Laporan penyelidikan tambang belerang yang disusun De Jongh bahkan sudah memperhitungkan biaya transportasi mengangkut belerang dari Kawah Putih menuju jalur kereta api di Tjiwidej. Sejumlah alternatif cara pengangkutan diperhitungkan. Mulai dari mengangkut dengan kuda, kuli, gerobak, mobil, kereta gantung, hingga dialirkan dengan pipa. Yang paling murah dan efisien kesimpulan De Jongh, dengan kereta gantung.

Pemerintah Belanda tertarik dengan rencana itu. Menambang belerang sendiri, akan menghentikan ketergantungan impor bahan baku itu yang selama ini dipasok paling banyak dari Jepang. Sementara Belanda membutuhkan belerang dalam jumlah besar untuk memproduksi asam sulfat yang dibutuhkan untuk mendukung industri perminyakan, pabrik kina, pabrik gula, produksi obat-obatan, hingga vulkanisir karet.

Persiapan pemerintah Belanda menambang deposit belerang di Kawah Putih tidak menyurutkan minat wisatawan berkunjung ke Gunung Patuha. De Preanger-bode tanggal 10 November 1921 menceritakan, pekerjaan persiapan penambangan malah memudahkan akses menuju kawah tua Gunung Patuha di puncak gunung itu.

“Baru-baru ini telah dimungkinkan untuk berjalan di sepanjang kawah tua Patoeha. Ke dalam kawah ini, sejauh yang kami tahu, belum ada yang turun dan ini tidak mungkin tanpa tali dan bantuan lainnya. Diameter kawah ini 400 meter pada kedalaman 160 meter; dinding dan bawahnya ditumbuhi rumput,” tulis De Preanger-bode, 10 November 1921.

Tahun 1924, pemerintah Belanda akhirnya memutuskan untuk memulai aktivitas penambangan belerang di Kawah Putih. Koran De Preanger-bode, tanggal 19 Juli 1924 menuliskan tentang penetapan kegiatan penambangan belerang di Kawah Putih akan dikerjakan langsung oleh pemerintah Belanda. Pelibatan perusahaan swasta hanya diberikan untuk pekerjaan ekstraksi belerang, itu pun untuk kepentingan pemerintah Belanda.

Belanda lalu mendirikan pabrik pengolahan belerang Zwavel Ontgining Kawah Putih. Pabrik tersebut masih beroperasi saat Jepang masuk ke Indonesia. Jepang mendirikan Kawah Putih Kenzanka Yokoya Ciwidey untuk mengelola pabrik belerang yang langsung di bawah militer (jabarprov.go.id).

Jejak aktivitas penambangan belerang masih bisa ditemui di Kawah Putih yang kini sudah kembali lagi menjadi tempat wisata yang dikelola Perhutani sejak tahun 1987.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Redaksi

COMMENTS

//