Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (3): Ngabuburit di Sungai Cikapundung
Sungai Cikapundung tempo dulu, dengan airnya yang masih jernih dan segar, menjadi salah satu lokasi favorit warga ngabuburit menunggu waktu berbuka puasa. Kini?
Penulis Tri Joko Her Riadi17 April 2021
BandungBergerak.id - Sungai Cikapundung tempo dulu berbeda dengan Sungai Cikapundung yang kita jumpai hari ini. Dari kawasan hulu di kaki Tangkuban Parahu hingga bermuara di Sungai Citarum, airnya masih jernih dan segar. Di banyak lokasi, warga Bandung memanfaatkannya untuk mandi dan mencuci pakaian. Selama bulan ramadan, Sungai Cikapundung menjadi salah satu tempat favorit ngabuburit, menunggu waktu berbuka puasa.
Haryoto Kunto dalam buku Ramadhan di Priangan Tempo Doeloe (1996) menyebut lokasi-lokasi bagi warga mandi dan mencuci pakaian mereka di tepian Sungai Cikapundung yang mencakup Gadog, Tamansari, Bangbayang, Gang Plesiran, Nagkasumi, Babakan Ciamis, Braga, Pangarang, dan Lengkong. Di Babakan Ciami bahkan ada kampung yang dikenal dengan nama Kampung Pangumbahan karena menjadi tempat orang dan tukang cuci seantero kota membersihkan pakaian.
Tidak jauh dari kampung itu, di lokasi yang saat ini tertutup jembatan di Jalan Perintis Kemerdekaan, terdapat sebuah lubuk yang disebut Leuwi Pajati. Itulah salah satu lokasi paling favorit untuk ngabuburit. Selain mandi-mandi, mereka bisa mendapatkan bonus berupa lauk berbuka puasa.
“Mereka yang pandai menyelam terakdang berhasil menangkap udang kecil, berbagai macam ikan seperti deleg, beunteur, bogo, dan tawes,” tulis Haryoto. “Lumayan dibawa ke rumah untuk lawuh berbuka puasa.”
Selain mandi dan menangkap ikan di Leuwi Pajati, anak-anak muda juga sering menghabiskan waktu menunggu buka puasa dengan berjalan menyusuri Sungai Cikapundung sambil mencari belut. Meski hasilnya tak sebanyak yang diperoleh ketika ngurek di sawah atau selokan, mereka bisa membawa pulang juga beberapa ekor.
Baca Juga: Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (2): Dari Ikan Emas ke Ikan Hias
Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (1): Baju Baru Ganjaran Berpuasa
Terjepit dan Tercemar
Sungai Cikapundung, satu dari 13 anak Sungai Citarum, meliuk-liuk sepanjang 28 kilometer dari utara ke selatan melintasi 11 kecamatan di Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kabupaten Bandung. Ia dimanfaatkan untuk banyak keperluan hidup warga, mulai dari urusan drainase dan irigasi, objek wisata, pasokan air baku, hingga sumber energi listrik. Kawasan hulu sungai ini mampu memasok air baku sebesar 2.700 liter per detik untuk diolah PDAM Tirtawening lalu disalurkan sebagai air bersih ke rumah-rumah warga.
Namun, kalau Haryoto kecil masih bisa menikmati air sungai yang jernih dan segar, anak-anak Bandung zaman sekarang menyaksikan kondisi sungai yang jauh berbeda. Pencemaran adalah masalah serius yang mengancam sungai ini.
Di kawasan hulu, pencemaran utamanya bersumber kotoran sapi dari peternakan-peternakan skala besar. Di bagian tengah, pencemar utama berupa limbah domestik, termasuk sampah-sampah plastik. Menjelang muaranya di Sungai Citarum, limbah pabrik menambah berat persoalan.
Di Kota Bandung, ada masalah lain yang tak kalah seriusnya. Sungai Cikapundung kian terjepit oleh bangunan. Jumlah penduduk yang terus membesar membuat kebutuhan akan tempat tinggal juga membesar. Tercatat ada lebih dari seribu bangunan yang berdiri berdesak-desakan di bantaran Sungai Cikapundung.
Desakan permukiman ini melahirkan ragam persoalan lain. Volume limbah rumah tangga yang dibuang ke sungai tercatat mencapai 2,5 juta liter setiap harinya. Beberapa penelitian juga telah memastikan bahwa Sungai Cikapundung tercemar bakteri e-coli (Escherichia coli) yang bersumber kotoran manusia.
Kalau sudah begini, siapa yang berani ngabuburit mandi di Sungai Cikapundung?