NGULIK BANDUNG: Bandara Sukamiskin (Bagian 1)
Belanda berburu pesawat tempur. Juga untuk memperkuat daerah koloninya, Hindia Belanda. Di Bandung, dibangun bandara Sukamiskin dan Rancaekek.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
4 Februari 2022
BandungBergerak.id - Sejak pesawat eksperimen The Flyer diperkenalkan pertama kali oleh Wright bersaudara di Amerika pada 1903, teknologi pesawat udara berkembang pesat. Penggunaannya beragam. Sejumlah negara melihat potensinya sebagai mesin perang, termasuk Belanda.
Tweede Kamer, parlemen Belanda pada awal Januari 1913 mengesahkan Undang-Undang untuk merombak organisasi tentara dengan memperkenalkan layanan penerbangan pada ketentaraan. Berbarengan, Menteri Perang Belanda kala itu, Hendrikus Colijn mencabut usulnya untuk memboyong balon udara, dan menggantinya dengan pesawat (De Preanger, 16 Januari 1913).
Belanda lalu berburu pesawat ke sejumlah negara untuk memperkuat angkatan perangnya. Tidak hanya untuk keperluan angkat perangnya di Eropa, juga di tanah koloninya.
Koran De Preanger-bode tanggal 27 Februari 1913 memberitakan rencana Belanda untuk membeli pesawat Brouckère buatan Belgia untuk ditempatkan di Hindia Belanda. Rencana tersebut menuai kritik. Tiga pesawat tersebut diketahui mengalami kecelakaan, salah satunya menewaskan Kapten Darlang, penerbang Belanda.
De Preanger-bode menuliskan laporan yang diterima militer Belanda menyarankan agar pesawat tersebut tidak dipergunakan karena adanya masalah dalam konstruksinya. Pesawat tersebut bisa tiba-tiba tidak terkendali, belum lagi mesinnya yang payah.
Harian Bataviaasch nieuwsblad, tanggal 3 Maret 1913, menuliskan kecaman atas rencana tersebut dalam artikel “Pesawat Terburuk untuk Hindia Belanda”. “Laporan oleh insinyur penerbangan J. Schieren kepada Kementerian Koloni sangat tidak menguntungkan tentang pesawat ini; mereka disebut mengancam jiwa dan usang karena berbagai alasan, baik dari sudut pandang teoretis maupun teknis,” tulis koran itu.
Mengudara di atas Tandjong Priok
Kendati menuai kritik, rencana memboyong pesawat tersebut ke Hindia Belanda jalan terus. Koran De Preanger-bode tanggal 9 Mei 1914 memberitakan pemerintah Belanda diam-diam terus melatih perwiranya untuk menjadi penerbang. Kapten GE Visscher, yang bertugas di Aceh, dipindahkan untuk memimpin satuan penerbangan di Hindia Belanda. Empat pesawat siap dikirimkan untuk tentara Hindia Belanda.
Setahun kemudian publik di Hindia Belanda dihebohkan dengan kedatangan pesawat jenis baru. Sebuah pesawat hidroplane, pesawat amphibi buatan pabrikan Glen Martin Amerika terbang di atas perairan Tandjong Priok, Batavia. Belanda mendatangkan 2 pesawat tersebut untuk ditempatkan di Hindia Belanda.
Koran De avondpost, yang terbit di Belanda, tanggal 27 Desember 1915 menceritakan, pesawat tersebut diterbangkan oleh Letnan Ter Poorten salah satu perwira penerbang Belanda. Dia terbang lebih dari satu jam melintasi pelabuhan Tandjong Priok. Pesawat tersebut unik karena mampu mendarat di atas perairan.
Yang terjadi tidak seindah yang dibayangkan. Bataviaasch nieuwsblad tanggal 22 November 1915 mengabarkan pesawat amphibi tersebut sempat mengalami kecelakaan saat mencoba mendarat di perairan Tanjung Priok. Pesawat yang dikemudikan Kapten Visscher menghunjam laut saat mendarat di air. Pesawat rusak para. Latihan para penerbang kala itu langsung disetop sementara sampai perbaikan selesai.
Penempatan satuan penerbangan tentara di Hindia Belanda terus menuai kritik. Harian De Nieuwe Courant, tanggal 16 Juli 1916 misalnya mempertanyakan rencana tersebut karena terjadinya sejumlah kecelakaan yang menimpa pesawat yang didatangkan pemerintah Belanda. “Kami tidak percaya bahwa gangguan dalam penerbangan militer kami adalah karena kurangnya ahli mesin,” tulis koran itu.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Taman-Taman di Bandung
NGULIK BANDUNG: Jalan Bebas Hambatan antara Bandung dan Batavia
NGULIK BANDUNG: Sejarah Letusan Gunung Guntur
Lapangan Terbang Kali Djati
De Nieuwe Courant juga mempertanyakan pemilihan Kali Djati, Subang, sebagai bandara yang menjadi rumah pesawat-pesawat yang didatangkan Belanda. Koran tersebut menyitir pendapat para ahli yang mempertanyakan pilihan lokasi tersebut. Di antaranya, bandara Kali Djati berada di dekat pegunungan. Serta tidak ada cukup area pendaratan di sekitar bandara tersebut untuk pendaratan darurat yang aman. Satu lagi, Kali Djati berada jauh dari pantai yang wilayah beroperasinya pesawat amphibi yang baru didatangkan Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda diam-diam terus membenahi fasilitas pendukung fasilitas penerbangan tentara. Koran De Preanger-bode sepanjang 1917 memberitakannya. Di antaranya pada awal Maret 1917 perluasan area Kali Djati dengan menambah area khusus untuk pendaratan darurat bagi pesawat yang bermarkas di sana. Pemerintah Hindia Belanda juga tengah memulai membangun bandara Koningsplein, Batavia.
Pemerintah Belanda terus mengirim pesawat baru. De Preanger-bode tanggal 24 April 1917 misalnya, mengabarkan kedatangan beberapa pesawat pengintai berukuran besar. Pemerintah Belanda menyiapkan dana hingga 25 ribu Gulden untuk pembenahan fasilitas pendukung layanan udara tentara di Hindia Belanda (De Preanger-bode 23 Mei 1917).
Adalah Kapten Penerbang J.E.van Bevervoorde dari Dinas Penerbangan Hindia Belanda yang diserahi tugas untuk melakukan pengujian pesawat, sekaligus mengembangkan layanan penerbangan tentara di Hindia Belanda dengan melatih penerbang baru. Dia menulis panjang lebar tentang capaian pemerintah dalam koran De Preanger-bode tanggal 5 Desember 1917.
Di koran tersebut, Bevervoorde menjelaskan, rekannya yakni Letnan Penerbang Ter Poorten telah sukses membuktikan pesawat amfibi bisa dioperasikan di perairan Hindia Belanda dalam serangkaian pengujian di Tandjong Priok, Batavia. Kini gilirannya selama setahun terakhir menguji pesawat terbang bisa beroperasi di wilayah pegunungan, yang menjadi sebagian besar kontur di daratan Hindia Belanda.
Kapten Bevervoorde menuturkan, pilihan Kali Djati di Subang, sebagai markas utama pesawat militer di Hindia Belanda karena berdekatan dengan wilayah pegunungan Bandung. Daerah pegunungan di Bandung dinilai cocok untuk menjajal pesawat yang diperoleh Belanda. Sejumlah pengujian dilakukan dengan menerbangkan pesawat di dataran tinggi Bandung, seperti menjalan terbang di udara tipis di pegunungan, hingga pengaruhnya bagi pilot.
Lapangan Udara Sementara Rancaekek
Pada awal Maret 1917 pemerintah Hindia Belanda membangun lapangan terbang di Rantja Ekek (Rancaekek). Kapten Bevervoorde menceritakan, lapangan terbang tersebut dipergunakan Departemen Penerbangan hanya untuk mengadakan demonstrasi terbang semata.
“Tujuannya adalah untuk mengadakan demonstrasi terbang di sini hanya selama musim kemarau, sementara komisi ditunjuk untuk memilih daerah yang nantinya akan cocok untuk digunakan sebagai pangkalan udara permanen, jika tes yang akan diadakan ternyata benar-benar memuaskan,” kata Kapten Bevervoorde, dalam De Preanger-bode tanggal 5 Desember 1917.
Kapten Bevervoorde mendapat tugas untuk menguji manuver pesawat baru yang diperoleh Belanda dari pabrikan Amerika yakni Gleen Martin jenis TT. Pesawat bertubuh bongsor dengan bobot hampir 300 kilogram tersebut diragukan bisa terbang mulus melewati pegunungan.
Kapten Bevervoorde memula pengujian dengan menerbangkan pesawat kecil melintasi pegunungan Bandung. Pada awal 23 Juni 1917 dia sukses menerbangkan pesawat melintasi pegunungan Bandung. Dia berangkat dari Kali Djati melewati Padalarang, Tjimahi, Bandung, Lembang, Gunung Tangkoeban Prahoe, Gunung Bukit Tunggul, lalu kembali ke Kali Djati. Penerbangan menghabiskan waktu 1 3/4 jam. Pesawat terbang hingga ketinggian 3 ribu meter.
Pada Juli 1917 giliran pesawat Gleen Martin jenis TT yang dijajal. Pesawat tersebut mengawali penerbangannya dari Rantja Ekek pukul 7 pagi. Kapten Bevervoorde terbang melintasi Bandung, Cimahi, Padalarang, Drangdan, Segalaherang, serta Lembang. Pesawat sempat berputar-putar di atas pegunungan sebelum kembali mendarat di Rancaekek pukul 9.07 pagi.
Sejak saat itu Kapten Bevervoorde terbang berkali-kali di atas pegunungan Bandung. Dia menyimpulkan fenomena “lubang udara” di daerah pegunungan, yang dihasilkan dari pertemuan udara naik dan turun, tidak membawa pengaruh berarti pada pesawat. Semakin kuat mesinnya, semakin kecil pengaruh “lubang udara” pada pesawat.
“Seorang pemula selalu cenderung membesar-besarkan perasaan ini dan mengatakan bahwa ia telah jatuh 20 atau 30 m ke bawah melalui "lubang di langit", yang pada kenyataannya tidak ada,” kata Kapten Bevervoorde (De Preanger-bode, 5 Desember 1917).
Rancaekek bukan satu-satunya lokasi landasan pesawat yang dibangun untuk menguji pesawat. Kapten Bevervoorde menuturkan, area pendaratan darurat dan lapangan udara sementara juga dibangun di sekitar Cheribon. Pada 21 September 1917, Kapten Bevervoorde ditemani Letnan Pengamat Bakker terbang dari Rantja Ekek menuju salah satu lapangan udara di Cheribon melintasi Soemedang.
Belum setahun dipergunakan, lapangan udara sementara Rancaekek ditutup. Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk membangun bandara permanen di Desa Soekamiskin (Sukamiskin), di dekat Odjoengbroeng di Bandoeng (Het vaderland, 27 Desember 1917).
Pada Februari 1918, Menteri Koloni kala itu memberikan wewenang pada Gubernur Jenderal untuk menghabiskan 9 juta Gulden untuk membangun organisasi Departemen Penerbangan di Hindia Belanda. Dana tersebut akan dipergunakan membeli berbagai jenis pesawat, mesin cadangan, serta membangun pangkalan udara permanen. Lokasi pangkalan udara permanen tersebut berada di Desa Sukamiskin di pinggir jalan pos utama Bandung-Tjitjalengka (Bataviaasch nieuwsblad, 13 Februari 1918).
Koran De Preanger-bode tanggal 15 Februari 1918 memerinci rencana itu. Pangkalan udara permanen di Desa Sukamiskin akan dilengkapi gudang dan bengkel untuk perbaikan pesawat, serta rumah dan perkemahan bagi prajurit serta perwira. Seorang komandan akan ditunjuk memimpin pangkalan udara tersebut.
Sejumlah lokasi di sepanjang Jawa akan dipilih kemudian untuk dibangun daerah pendaratan darurat untuk mendukung tugas pengintaian pesawat berupa lapangan kosong seluas 1.000 meter kali 600 meter. Setidaknya, ada dua lokasi yang sudah dipilih. Keduanya berada di Sukabumi yakni di Plaboean Ratoe dan Bodjong Lontar (De Preanger-bode, 12 Maret 1918).
Lapangan Terbang Sukamiskin
Pembangunan bandara di Desa Sukamiskin langsung dikerjakan tak lama setelah lapangan terbang sementara Rancaekek ditutup. Lahan yang disediakan di Desa Sukamiskin seluas 150 bouw (1 bouw setara 0,74 hektare). Sebagian lahan yakni seluas 26 bouw sudah diratakan untuk membangun bandara (De Locomotief, 16 Februari 1918).
Koran De Preanger-bode tanggal 16 April 1918 menuliskan, lokasi bandara permanen yang dibangun pemerintah Hindia Belanda di Desa Sukamiskin berjarak 5 paal (1 paal setara 1,5 kilometer) di arah timur Kota Bandung. Satu landasan sedang dibangun dengan ukuran 800 meter kali 80 meter. Landasan tersebut ditargetkan rampung tiga bulan lagi.
Bandara permanen di Bandung tersebut sempat di gadang akan menggantikan Kali Djati. Bandara di Subang tersebut dikeluhkan karena sulit ditempuh kendaraan saat musim hujan. Tapi rencana itu ditunda karena Kali Djati masih akan dimanfaatkan untuk melatih calon penerbang. Pemerintah Hindia Belanda juga menyiapkan bandara permanen lainnya yang akan dibangun di Semarang, Jawa Tengah.
Pada Agustus 1918 bandara Sukamiskin sudah beroperasi. Koran De Preanger-bode tanggal 3 Agustus 1918 menceritakan petualangan Kapten Penerbang Bevervoorde yang terbang pagi-pagi dari lapangan terbang Sukamiskin. Dia terbang berkeliling di atas langit Kota Bandung lalu melanjutkan penerbangan menuju Kali Djati. Bevervoorde harus mengawasi ujian perwira angkatan laut yang tengah dilatih sebagai penerbang. Belum lama berada di Kali Djati, Bevervoorde harus terbang kembali ke Bandung.
Bevervoorde lalu terbang kembali ke Bandung ditemani Letnan Penerbang Snape. Satu jam mengudara setelah melewati area pendaratan darurat di Tjileuntjah, mesin pesawat yang dikendarainya ngadat. Dia kemudian membawa pesawat turun keluar dari awan. Tapi di kaget saat mendapati daratan hanya tinggal 400 meter saja di bawahnya. Dia memutuskan untuk melakukan pendaratan darurat.
Pesawat mendarat darurat pada sebuah area terbuka. Luasnya mungkin hanya 25 yard saja. Pesawat sempat terbalik saat roda menyentuh daratan. Beruntung tidak ada yang terluka. Lokasi pendaratannya berada di ngarai yang tak jauh dari lereng Gunung Burangrang, di dekat Pasir Langoe di sebelah barat Tjisaroea. Warga berbondong-bondong datang menolong. Pasukan penolong dari Departemen Penerbangan baru tiba pukul tujuh malam.
Bagaimana nasib lapangan terbang Sukamiskin. Bagian kedua tulisan ini akan mengisahkannya.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman