• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Belajar dari Negeri Beribu Leuit, Kasepuhan Ciptagelar (Bagian 1)

NGULIK BANDUNG: Belajar dari Negeri Beribu Leuit, Kasepuhan Ciptagelar (Bagian 1)

Adat, tradisi, nilai-nilai tradisional warisan leluhur, dan teknologi modern adalah gabungan keniscayaan di Kasepuhan Ciptagelar. Semua beriringan dalam kewajaran.

Merrina Listiandari

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman

Deretan leuit atau lumbung padi di Kasepuhan Ciptagelar (Foto Koleksi Komunitas Djiwadjaman)

17 Februari 2022


BandungBergerak.id– Seorang kawan yang terbiasa membawa pelancong untuk berpetualang offroad dengan menggunakan kendaraan 4-wheels, mengajak saya untuk mengunjungi sebuah kawasan adat yang merupakan rumah kedua baginya setelah Bandung. Kasepuhan Ciptagelar, sebuah nama kawasan adat yang sayup-sayup pernah saya dengar, namun tidak pernah tahu informasinya secara lengkap.

Bagi saya yang memang sangat menyukai alam, masyarakat adat serta kearifan lokal yang berada di dalamnya, ajakan tersebut tentulah sangat menggoda. Dengan berbagai pertimbangan saya iyakan ajakan Nia, kawan saya tersebut.

Berangkat dari Bandung dengan menggunakan Land Rover Defender milik Nia, kami berangkat bertujuh bersama dengan kawan-kawan lainnya, juga Fata, anak Nia yang sudah remaja. Saat itu, saya tidak memiliki ekspektasi lebih, selain membayangkan sebuah kampung adat yang masih asri di lingkungan hutan nan terpencil. Sebuah ketenangan dengan mencoba menyingkirkan gawai selama beberapa malam dan hanya mendengar suara alam, menjadi tujuan saya saat itu. Pun saat diberi informasi untuk membawa dua lembar kain sarung, dalam pikiran hanya terbatas pada fungsi kain tersebut sebagai penutup tubuh pengganti selimut.

Sampai di kawasan wisata Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat kami masih harus menempuh perjalanan sekitar 28 kilometer atau sekitar 2,5-3 jam menuju kasepuhan tersebut. Saya paham akhirnya mengapa untuk mencapai kawasan adat tersebut diperlukan kendaraan khusus semacam kendaraan 4-wheels atau motor trail saja. Jalanan menanjak dengan track berbatu yang sangat aduhai harus ditempuh untuk menuju kawasan adat yang wilayahnya meliputi Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi ini. Tabik, untuk Nia yang membawa sendiri Land Rover-nya tanpa driver pengganti!

Perempuan wajib berupa kain panjang yang dilitkan,berlaku pula untuk tamu yang datang. (Foto Koleksi Komunitas Djiwadjaman)
Perempuan wajib berupa kain panjang yang dilitkan,berlaku pula untuk tamu yang datang. (Foto Koleksi Komunitas Djiwadjaman)

Berganti Kostum

Setelah melalui jalan panjang dengan medan yang cukup berat, kami tiba di sebuah kampung dengan pemandangan yang memukau. Sempat berpikir, bahwa kami telah tiba di tujuan, namun ternyata kami hanya singgah. Di sana, Kampung Ciptarasa yang merupakan kampung yang menjadi  lokasi awal Kasepuhan Ciptagelar sebelum berpindah ke lokasi sekarang. Di kampung tersebut kami beristirahat sejenak untuk salat asar dan juga berganti kostum.

Di kampung Ciptarasa inilah akhirnya saya tahu fungsi sarung yang harus kami bawa. Perempuan wajib mengenakan sarung yang dikenakan sebagai kain penutup, salah satu aturan adat yang berlaku untuk memasuki kawasan kasepuhan yang menjadi tujuan akhir kami.

Dengan menggunakan sarung atau kain panjang, perjalanan dilanjutkan hingga tiba di sebuah jembatan yang menyeberangi sungai yang sangat indah dengan bebatuan yang muncul di antara aliran airnya yang sangat jernih, Jembatan Cibareno. Seketika rasa penat karena perjalanan panjang dengan tubuh yang terus berguncang hebat karena medan yang sangat berat, seakan terlupakan karena merasakan kesegaran dari air yang sangat sejuk dari Sungai Cibareno, yang letaknya hanya sekitar lima belas menit dari Kasepuhan Ciptagelar.

Pawon atau darpur Imah Gede yagn berfungsi sebagai dapur umum. (Foto Koleksi Komunitas Djiwadjaman)
Pawon atau darpur Imah Gede yagn berfungsi sebagai dapur umum. (Foto Koleksi Komunitas Djiwadjaman)

Memasuki Kawasan Kasepuhan Ciptagelar

Setelah lepas dari kawasan hutan, terhampar pemandangan yang luar biasa. Lumbung-lumbung padi, atau leuit dalam bahasa Sunda, berjajar di sepanjang jalan seakan menyambut siapa pun yang datang. Menyelusup perasaan tenang lagi damai, sebuah perasaan yang sulit dideskripsikan yang belum pernah saya rasakan di tempat tinggal saya.

Saat itu hampir pukul empat sore. Alam memperdengarkan berbagai suara. Bunyi jangkrik serta tongeret bersahut-sahutan. Akhirnya, kami tiba di Kasepuhan Ciptagelar, sebuah negeri dengan beribu leuit!

Negeri yang masih sangat kuat memegang adat, tradisi serta ajaran leluhur ini, berada di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Gunung salak. Berada di ketinggian 1.000 hingga 1.200 meter di atas permukaan laut, suhu udara di kasepuhan ini berkisar antara 20-26 derajat celsius.

Namanya Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar, merupakan bagian dari kesatuan adat Banten Kidul. Secara administrasi, letaknya berada di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Baca Juga: Gedong Cai Cibadak, Riwayat “Ledeng” Pertama Kota Bandung
Naik Gunung Boleh, Konyol Jangan
NGULIK BANDUNG: Perang Susu (Melk-Oorlog) di Bandung (1) Perseteruan Antarperusahaan Susu

Kegiatan memasak dengan jumlah banyak dilakukan setiap hari bagi keluarga Ketua Adat, warga, serta tamu di Kasepuhan Ciptagelar. (Foto Koleksi Komunitas Djiwadjaman)
Kegiatan memasak dengan jumlah banyak dilakukan setiap hari bagi keluarga Ketua Adat, warga, serta tamu di Kasepuhan Ciptagelar. (Foto Koleksi Komunitas Djiwadjaman)

Nyarita Datang

Tiba di Kasepuhan Ciptagelar, kami langsung memasuki sebuah bangunan terbesar di Kampung Adat tersebut, Imah Gede. Bangunan besar yang sekaligus menjadi rumah utama pemimpin Kasepuhan atau ketua adat yang disebut sebagai Abah. Di dalamnya terdapat ruangan besar sebagai tempat pertemuan sekaligus ruangan untuk para tamu menginap, dan di bagian belakang adalah pawon yang berfungsi sebagai dapur umum. Tujuan utama kami di sana untuk “nyarita datang” atau mengutarakan tujuan kami sebagai tamu yang datang ke kasepuhan ini, kepada pemimpin adat kasepuhan Ciptagelar saat ini, Abah Ugi Sugriana Rakasiwi.

Kami menunggu di pawon atau dapur Imah Gede yang sangat luas. Sebuah dapur yang sontak membuat saya takjub. Bagaimana tidak, terdapat beberapa hawu atau tungku yang sedang menyala, ditunggui oleh belasan perempuan yang sedang mengolah berbagai penganan yang sangat banyak. Apakah kedatangan kami berbarengan dengan akan diadakannya sebuah upacara adat? Ternyata menurut penjelasan Mamah Iis, masih kerabat Abah Ugi, kegiatan seperti ini adalah keseharian di kasepuhan Ciptagelar. Makanan di olah bersama-sama untuk seluruh keluarga Abah dan bagi siapa saja yang ingin makan di Imah Gede, termasuk kami para tamu yang berkunjung di Kasepuhan.

Rupanya berbarengan dengan kedatangan kami, Abah Ugi beserta Emak Dede, istrinya, harus bergegas keluar rumah untuk menghadiri sebuah acara di luar kampung, sehingga kami belum dapat menemui beliau dengan resmi. Maka kami pun diperkenankan untuk “nyarita datang” sekaligus “nyarita pulang” alias berpamitan, apabila hajat kami berada di kasepuhan telah berakhir. Kedatangan kami di Imah Gede, justru berakhir dengan disuguhinya berbagai penganan kecil dan penganan besar berupa nasi lengkap dengan lauk pauknya. Sebuah keramahan serta penghargaan yang luar biasa pada semah atau tamu dalam bahasa Sunda.

Yoyo Yogasmana (kiri), juru bicara adat Kasepuhan Ciptagelar. Perangkat komputer bukan hal yang asing di Kasepuhan Ciptagelar. (Foto Koleksi Komunitas Djiwadjaman)
Yoyo Yogasmana (kiri), juru bicara adat Kasepuhan Ciptagelar. Perangkat komputer bukan hal yang asing di Kasepuhan Ciptagelar. (Foto Koleksi Komunitas Djiwadjaman)

Adat Berkunjung ke Kampung Ciptagelar

Beruntung, selama tiga hari dua malam kami tinggal di Kasepuhan Ciptagelar, Yoyo Yogasmana yang bertindak sebagai humas sekaligus juru bicara Kasepuhan Ciptagelar menjadi induk semang kami. Maka segala informasi yang ingin saya ketahui, tentang semua yang berhubungan dengan Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar, bisa saya dapatkan dengan mudah dalam obrolan santai, selama saya tinggal di sana.

Kasepuhan Ciptagelar adalah kampung adat yang memiliki nilai, tata krama serta sopan santun yang berasal dari tata cara adat yang berbeda daripada tempat lainnya. Sebuah tata cara nan unik sekaligus indah. “Tamu adalah raja” sebuah ungkapan yang benar-benar tulus dipraktikkan oleh masyarakat adat Ciptagelar. Menyambut, menerima dan memperlakukan tamu dengan baik, sangat tampak pada kampung adat ini. Namun, sebagai tamu tentu harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh tuan rumah. Kasepuhan Ciptagelar memiliki aturan yang harus dipatuhi oleh setiap pendatang yang berkunjung ke sana.

Menurut Kang Yoyo, Kasepuhan Ciptagelar bukanlah tempat pariwisata, namun masyarakat adat yang menjalankan titipan para leluhur yang harus dilaksanakan sesuai dengan tatanan adat yang berlalu. Maka ketika kasepuhan mengizinkan seseorang atau kelompok masyarakat lain untuk berkunjung, maka sebagai pendatang “wayahna”  harus mengikuti tata keadatan yang berlaku di Kasepuhan Ciptagelar.

Sedikitnya ada tiga yang utama. Pertama, penyesuaian rupa atau bentuk pakaian. Di kasepuhan Ciptagelar, pakaian yang harus digunakan sehari-hari oleh tamu adalah pakaian yang sama dengan yang biasa digunakan oleh masyarakat adat di sana. Bagai pengunjung perempuan wajib mengenakan kain panjang atau sinjang dalam bahasa Sunda, sebagai penutup tubuh bagian bawah. Yang memiliki filosofi “sasamping sasinjang” yang berarti mengikat kain dengan dilipat ke samping lalu diikat, memiliki makna bahwa perempuan memiliki bibir yang lebih daripada kaum lelaki harus mampu menjaga ucapan serta kehormatannya. Sedangkan kaum lelaki di kasepuhan Ciptagelar, wajib menggunakan iket atau kain untuk mengikat atau menutup kepala, yang memiliki arti seorang lelaki harus mampu untuk menundukkan serta mengendalikan pikirannya.

Selanjutnya tata salam. Berbeda dengan bersalaman biasa, yang hanya sekedar berjabat tangan, atau mengatupkan kedua tangan dan mempertemukan katupan tangan tersebut satu kali dengan orang di depannya. Di kasepuhan Ciptagelar, setelah mengatupkan kedua tangan maka wajib menyambut dua bilah tangan orang yang berada di depannya, bilah tangan kanan dan kiri.

Ketiga, tata krama meminta izin atau permisi. Ketika memasuki kawasan adat maka ada tata krama yang tak boleh dilupakan, yaitu meminta izin untuk masuk wilayah tersebut atau permisi dengan menemui ketua atau pimpinan adat, yaitu Abah Ugi atau dikenal dengan “nyarita datang” yang dilengkapi dengan “tumpang seupah” (memberikan sirih) yang bisa diganti dengan bako atau rokok, serta “parabokta” berupa uang sesuai kemampuan yang memberikannya.

Yoyo Yogasmana, juru bicara adat Kasepuhan Ciptagelar. (Foto Koleksi Komunitas Djiwadjaman)
Yoyo Yogasmana, juru bicara adat Kasepuhan Ciptagelar. (Foto Koleksi Komunitas Djiwadjaman)

Adat dan Teknologi yang Berdampingan

Sama seperti kampung-kampung adat lain yang tersebar di seluruh Indonesia, Kasepuhan Ciptagelar adalah sebuah masyarakat adat yang sangat menjunjung tinggi nilai adat, kepercayaan serta tradisi ajaran leluhur, sebagai warisan adiluhung yang diturunkan dari satu generasi ke generasi. Namun terdapat perbedaan dengan kampung atau masyarakat adat lainnya, Kasepuhan Ciptagelar tampak tidak alergi terhadap modernisasi atau mengikuti perkembangan zaman.

Menurut Kang Yoyo, kasepuhan ini mengenal prinsip “Pancer Pangawinan” yang berarti dua kekuatan yang berseberangan harus berjalan selaras. Hal tersebut dapat terlihat dari tradisi dan teknologi – seperti yang dipercaya oleh pemimpin kasepuhan ini, Abah Ugiharus digabungkan untuk menciptakan keselarasan dan kebaikan.

“Di zaman sekarang ini mana yang sudah harus menggunakan teknologi modern dan mana yang harus dipertahankan secara tradisonal. Maka tidak perlu heran bila di kampung adat ini sudah ada stasiun radio dan stasiun televisi lokal, tapi untuk pertanian, dari mulai menanam padi, panen hingga gabah disimpan dalam leuit harus dilakukan secara tradisional tanpa mencampuradukannya dengan teknologi,” pungkasnya dalam obrolan di malam pertama kunjungan kami. 

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Redaksi

COMMENTS

//