• Kolom
  • Gedong Cai Cibadak, Riwayat “Ledeng” Pertama Kota Bandung

Gedong Cai Cibadak, Riwayat “Ledeng” Pertama Kota Bandung

Gedong Cai Cibadak diresmikan Wali Kota Bertus Coops pada Kamis, 29 Desember 1921. Bangunan ini sebagai bak penampungan air dari beberapa mata air di Lembang.

Merrina Listiandari

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman

Suasana saat peresmian Gedong Cai Cibadak oleh pemerintah Kota Bandung pada 29 Desember 1921. (Foto: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

28 Oktober 2021


BandungBergerak.id - Terdengar jelas suara gemuruh air yang mengalir deras dari sebuah bangunan tua bercat putih, yang pada fasadnya bertuliskan “Tjibadak-1921”, jelas menunjukkan seberapa tua umur bangunan tersebut. Siapa sangka, bangunan yang berbatasan langsung dengan perkampungan penduduk yang di belakangnya terdapat perumahan mewah yang tepat berada di Jalan Raya Lembang, ini memiliki sejarah sebagai penyuplai air yang layak langsung minum dari kerannya, tanpa perlu diolah lagi, sekitar satu abad yang lalu.

Lebih dari itu, Gedong Cai Cibadak memiliki jasa yang begitu besar, sebagai pemasok air yang berlimpah bagi kelangsungan hidup masyarakat Bandung, hingga saat ini.

Pembangunan yang begitu masif oleh para pengembang di sekeliling kawasan Gedong Tjai Tjibadak, yang terletak di Cidadap Girang, Kelurahan Ledeng, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung ini hanya menyisakan wilayah seluas satu kilometer persegi yang masih sangat asri. Di sanalah Gedong Cai Cibadak berdiri dengan anggun, terpencil dan terisolasi di antara perkampungan penduduk dan perumahan mewah yang mengelilinginya. Bangunan penampung air peninggalan zaman kolonial ini, masih menampakkan wibawanya walau dengan posisi yang jelas terhimpit dan semakin terjepit melawan arus zaman.

Air Menjadi Masalah Serius Kota Bandung

Bataviaasch Niewsblad, 13 Mei 1920, melaporkan bahwa air menjadi masalah serius kota-kota utama di Hindia Belanda seiring dengan populasi penduduk yang semakin bertambah. Masalah air menjadi makin serius dengan meningkatnya persentase pembangunan perumahan, serta berubahnya selera desain arsitektural bangunan perumahan kala itu.

Masyarakat yang tinggal di kota-kota semacam Batavia, Soerabaja, Malang dan Bandoeng mulai menyukai tipe rumah dengan dua lantai, dengan dinding setinggi 4 meter. Dari segi sirkulasi udara dan pencahayaan, jenis bangunan semacam itu tentu sangat baik, namun masyarakat tidak terlalu memikirkan mengenai pasokan air bersih,  pipa penyalurnya serta saluran pembuangan. Artinya setiap kota harus memiliki pasokan air tak terbatas, serta harus memiliki saluran pembuangan yang dapat mengakomodir kebutuhan seluruh masyarakat kota, atau masalah besar akan terjadi.

Dalam kunjungannya ke sumber air Tjikendi, yang terletak di paal 4 (sekarang daerah Hegarmanah) bulan November tahun 1920, Wali Kota Bandung saat itu, Tn. Bertus Coop, menyampaikan bahwa dia telah menampung banyak sekali keluhan warga yang melapor, bahwa daerah rumah tinggal mereka belum mendapatkan pasokan air dengan layak.

Sebagai contoh, masyarakat yang tinggal di wilayah Dago, mengeluhkan pasokan air yang kurang bagi rumah-rumah dengan dua lantai. Ini menjadi masalah besar, sedangkan dia tahu persis bahwa Bandung, memiliki cekungan-cekungan di bawah tanah yang memiliki cadangan air yang berlimpah. Namun harus dipikirkan cara terbaik untuk dapat memanfaatkan cadangan air tersebut, agar dapat disalurkan ke rumah-rumah warga Kota Bandung (Bataviaasch Niewsblad, 30 November 1920).

Masih berasal dari sumber berita yang sama, Bataviaasch Niewsblad, 30 November 1920, menyebutkan pada tahun-tahun tersebut Kota Bandung, memang memanfaatkan sumber-sumber air dari dalam tanah yang sengaja dibor, sebagai sumur artesis, dan airnya ditampung dalam waduk atau bak pengumpul air, kemudian disalurkan serta dimanfaatkan oleh penduduk secara lokal. Saat itu hampir seluruh pasokan air bersih untuk Kota Bandung mengandalkan sumur artesis.  

Namun sumur artesis ini tidak dapat terus-menerus dapat diandalkan, karena beberapa mata air yang menjadi andalan tersebut semakin berkurang airnya. Beberapa sumur artesis dibuat dengan biaya pengeboran 10 hingga 12 ribu gulden, namun tidak ada hasil yang didapat karena sumur tersebut tidak mampu menghasilkan air. Kecemasan mulai melanda pemerintah kota saat itu, karena pasokan air tidak dapat mengimbangi pertumbuhan penduduk Kota Bandung. Wali Kota Coops, sangat mengandalkan Ir. Heetjans untuk dapat membantu mengatasi permasalahan ini dengan memintanya mencari cara agar memanfaatkan mata air yang tersebar di sekitar Kota Bandung.

Suasana peresmian Gedong Cai Cibadak oleh pemerintah Kota Bandung pada 29 Desember 1921. (Foto: digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Suasana peresmian Gedong Cai Cibadak oleh pemerintah Kota Bandung pada 29 Desember 1921. (Foto: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Baca Juga: Melindungi Gedong Cai Cibadak dan Sabuk Hijau di Sekitarnya dari Kerakusan Pengembang
Warga Galang Pelestarian Gedong Cai Cibadak Bandung, Status Kepemilikan Tanah Belum Jelas

Upaya Perbaikan Masalah Air Kota Bandung

Koran De Preanger Bode, 14 Juni 1921, yang diperoleh dari koleksi Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung atau Bandung Heritage, memberikan titik terang. Koran tersebut memaparkan kuliah umum yang disampaikan oleh Ir. H. Heetjans mengenai Saluran Air di Kota Bandung. Dari tinjauan sejarah, sejak tahun 1898 Kota Bandung telah membuat sumur-sumur bor di beberapa titik kota Bandung yang berorientasi lokal. Sebagai contoh adalah sumur di daerah Tegallega, yang memasok air ke sekolah pelatihan, Kantor Pos dan di Cicendo. Kemudian, sumur bor lainnya di daerah Citepus dan Merdika yang tujuannya untuk keperluan konsumsi harian warga sekitar.

Namun melakukan pengeboran terus menerus seperti itu tentu tidak dapat diandalkan untuk mengakomodir kebutuhan seluruh warga kota. Direktur pekerjaan umum Kota Bandung,  Ir. Voorduyn der B.O.W., mendesain pipa yang dapat mengalirkan air dari sumur Merdika, bagi masyarakat yang tinggal di daerah bandung Timur. Selama pembangunan instalasi air bagi masyarakat daerah Bandung Timur itulah, sumur ketujuh di bor di daerah Bloboer yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat Bandung Barat.

Dinas Kependudukan memperkirakan, dengan laju pertumbuhan penduduk Bandung saat itu, jumlah penduduk kota Bandung, pada tahun 1930 akan berjumlah 75.000 jiwa dan sebanyak 6.000 jiwa adalah orang Eropa. Sejauh ini sumur-sumur yang ada telah dibor secara tidak teratur dan harus dilakukan upaya untuk mendapatkan pasokan air yang layak untuk mengisi sumur-sumur (reservoir) yang telah dibor tersebut, agar selanjutnya dapat disalurkan bagi masyarakat kota secara merata. Maka jalan satu-satunya, menangkap sumber air baru harus segera dilakukan.

Mengebor Lebih Banyak Sumur

Dalam rangka mengakomodir kebutuhan air bersih bagi masyarakat Bandung secara merata, maka sumur-sumur reservoir harus lebih banyak dibangun, dengan tujuan agar sumur tersebut mampu menampung aliran air yang berasal dari sumber-sumber air yang berhasil ditemukan atau ditangkap. Untuk mampu menangkap sumber air tersebut, maka perlu dilakukan penelitian, dengan tujuan menghindari kesia-siaan saat dilakukan pengeboran.

Pengeboran sumur yang telah dilakukan sebelumnya, seperti sumur Tegallega dianggap sudah cukup memenuhi kebutuhan masyarakat secara terbatas di sekitaran sumur tersebut. Begitu juga, daerah Bandung Barat dan Bandung Timur sudah mampu saling melengkapi kekurangan daerah masing-masing, walaupun belum maksimal, karena dalam tahun-tahun mendatang dipastikan bahwa jumlah peduduk akan semakin meningkat. Sehingga yang masih menjadi tugas pemerintah kota saat itu adalah untuk memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat yang tinggal di kawasan utara.

Pada beberapa kali penelitian ditemukan tiga titik yang dianggap memiliki cadangan air yang mampu mengisi reservoir atau sumur penampung air Bloboer (Balubur, PDAM Tirtawening kini), titik pertama dan memiliki air dengan jumlah yang besar adalah sumber air Cikendi (Tjikendi) yang terletak di paal 4, tepatnya dekat Tjioemboeleuit (Ciumbuleuit, wilayah kelurahan Hegarmanah kini) yang memiliki debit air sebesar 35 liter per detik. Titik kedua dinilai gagal dan titik ketiga terletak di Lembangweg, yaitu Cibadak. Walaupun sejauh ini sumber air Cikendi dianggap mampu memasok kebutuhan air kota, namun diperkirakan pada tahun 1940 hal itu sudah tidak diyakini dapat terus betahan.

Menurut Ir. Heetjans, untuk dapat memasok kebutuhan air bagi warga Kota Bandung yang tinggal di daerah utara hingga tahun 1940, satu-satunya jalan adalah mencari sumber air yang jauh lebih tinggi posisinya, untuk mengisi waduk atau penampung air di bawahnya yang mau tidak mau juga harus segera dibangun. Setelah penelitian dilakukan oleh tim pencari sumber-sumber mata air, ternyata ada sekitar 100 mata air yang tersebar di daerah Lembang, diantara kaki Gunung Tangkuban Parahu dan Gunung Burangrang, sekitar wilayah Sukawana dan Ciliang.

Setelah sumber air ditemukan, maka perlu kolam atau sumur penampung (reservoir), yang fungsinya untuk menambah kapasitas penampung atau reservoir Bloeboer, untuk memaksimalkan pasokan air ke perumahan penduduk. Pilihan yang paling tepat jatuh pada Cibadak, karena posisinya dianggap paling dekat dengan sumber air yang nantinya akan ditampung di tempat tersebut.

Bangungan Gedong Cai Cibadak di di Cidadap Girang, Kelurahan Ledeng, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung. (Foto: Koleksi Djiwadjaman)
Bangungan Gedong Cai Cibadak di di Cidadap Girang, Kelurahan Ledeng, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung. (Foto: Koleksi Djiwadjaman)

Pembangunan Gedong Cai Cibadak

De Preanger Bode, 6 September 1921 melaporkan bahwa Kepala Pengawas Perusahaan Air Minum Kota (PDAM) menginformasikan, bahwa Jalan Lembangweg, mulai dari paal 4 ditutup sementara. Penutupan jalan tersebut dilakukan agar tidak mengganggu pekerjaan konstruksi pemasangan pipa dan pembangunan saluran air yang berasal dari sumber ke bangunan penampung Tjibadak yang sudah dimulai.

Merujuk pada berita Sumatera Post, tanggal 4 Januari 1922, sumber air yang dialirkan ke bangunan penampung air Cibadak adalah berasal dari sekitaran daerah paal (tiang/tonggak) 5,5 yang memiliki jalan setapak sekitar 900 meter, ditanam jalur-jalur pipa besar saluran air dengan kedalaman 20 meter melewati jurang-jurang yang dalam. Merujuk berita tersebut paal 5,5 diperkirakan terletak di wilayah Cihideung, atau Sukawana, kaki Gunung Tangkuban Parahu, Lembang kini. Sesuai dengan berita De Preanger Bode, 14 Juni 1921 dalam penyampaian kuliahnya Ir. Heetjan menyatakan bahwa sumur-sumur yang memiliki sumber air yang baik berada di wilayah Ciwangun, Sukawana, Kaki Gunung Tangkuban Parahu.

Air yang ditangkap dari sumber tersebut kemudian dialirkan pada bangunan sumur penampung yang memiliki 3 kolam berbeda, yang berfungsi sebagai filter antibakterial. Sehingga air yang masuk ke dalam sumur tersebut disaring aga jernih dan steril sehingga air yang disalurkan ke rumah-rumah penduduk bisa langsung diminum tanpa proses apa pun.

Gedong Cai Cibadak Diresmikan

Setelah tiga bulan semenjak dibangun pada hari pertama di bulan September, instalasi saluran air, tiga sumur penampung yang berfungsi sebagai filter, serta tak kalah penting, bangunan luar yang dibuat untuk melindungi ketiga sumur tampung yang diberi fasad indah tersebut, diresmikan oleh Wali Kota Bertus Coops dan  sekaligus dinyatakan pertama kali beroperasi pada hari Kamis, 29 Desember 1921 (De Preanger Bode, Jumat 30 Desember 1921).

Tenda didirikan, minuman disajikan, dan pertunjukan wayang wong digelar. Perhelatan yang pertama kali diberitakan oleh koran De Preanger Bode itu dimuat ulang oleh banyak surat kabar lain yang mengutip berita tesebut dari kantor berita Aneta. Saat itu Bandung, tak lagi kekurangan pasokan air bersih. Bukan saja perumahan penduduk, namun air dari Tjibadak Bron, tersebut ikut membantu mengairi ladang dan kebun milik penduduk di sekitarnya.

Tinggal menghitung hari, gegap gempita peresmian bangunan kokoh penuh jasa yang sarat dengan sejarah ini memasuki tahun yang ke-100. Dengan keberadaannya yang terisolasi dan terhimpit kini, akankah cagar budaya ini terus bertahan, atau diam-diam kehilangan pesonanya, lalu mati  atau bahkan dimatikan tanpa sanggup membela diri?

Editor: Redaksi

COMMENTS

//