• Opini
  • Naik Gunung Boleh, Konyol Jangan

Naik Gunung Boleh, Konyol Jangan

Hobi naik gunung menjadi tren di kalangan warga Bandung akhir-akhir ini. Belajar dari kasus kematian pendaki yang terus berulang, persiapan matang jadi kunci.

Merrina Listiandari

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman

Hamparan pemandangan kawasan Bandung utara (KBU), terlihat dari kawasan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Kamis (12/8/2021). Di sekeliling Bandung, terdapat banyak bukit dan gunung yang semakin sering dijadikan lokasi pendakian oleh warga. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

28 Agustus 2021


BandungBergerak.id - Dunia kepecintaalaman kembali dirundung duka setelah dikabarkan pada tanggal 18 Agustus lalu, tiga orang pendaki Gunung Bawakaraeng di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, mengembuskan napas terakhirnya. Mereka naik gunung untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-76 dengan melakukan pengibaran bendera merah putih di puncaknya. Malangnya, hari yang seharusnya dirayakan dengan gegap gempita, terpaksa harus diakhiri dengan nestapa.

Peristiwa nahas seperti ini bukan berita baru di dunia pendakian gunung. Pendaki yang tersesat lalu mengembuskan napas terakhirnya di jalur pendakian, sering terjadi. Seolah-olah, tersesat hingga menemui ajal dalam proses pendakian, sudah diamini sebagai risiko “biasa” yang dapat menimpa siapa pun yang menekuni hobi naik gunung ini.

Namun, pertanyaannya adalah mengapa kejadian tragis ini bisa terjadi (di luar takdir yang Tuhan tetapkan, tentunya), dan terus berulang?

Tren Baru

Akhir-akhir ini naik gunung menjadi  hobi baru yang tiba-tiba  menjadi tren di berbagai kalangan masyarakat dengan beragam latar belakang profesi dan usia. Keindahan panorama alam dengan sangat mudah membius hati serta pandangan mata siapa pun. Terlebih, alam menawarkan sebuah pengalaman baru, pengalaman yang tidak mudah didapat dalam keseharian masyarakat kota yang terbiasa dengan pandangan hutan beton serta segala sesuatu yang berbau digital.

Alam memberikan ketenangan. Suasana dan lokasi cantik nan instagramable menjadi magnet tersendiri yang menarik banyak orang untuk menghampiri dan menjelajahinya. Sebagai pegiat alam, penulis mensyukuri sekaligus khawatir dengan situasi ini. Bersyukur karena mengetahui semakin banyak orang lebih sadar akan keindahan alam dan menikmatinya. Namun sekaligus khawatir karena berbagai ekses yang mungkin mengikutinya.

Bukan rahasia umum jika saat ini para pegiat alam mulai mengeluhkan betapa banyak sampah berserakan di gunung. Bagaimana sulitnya orang-orang yang memiliki perhatian terhadap alam, membawa turun sampah yang ditinggalkan para pendaki. Masih saja vandalisme ditemukan di berbagai tempat yang seharusnya terhindar dari jamahan tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab itu.

Belum lagi, berapa banyak tumbuhan liar dan langka semacam edelweiss yang dipetik secara tidak bertanggung jawab? Banyak sekali pekerjaan rumah besar yang menunggu untuk dituntaskan!

Peristiwa tersesatnya para pendaki yang berujung kehilangan nyawa bisa jadi merupakan salah satu ekses lain yang timbul dari hobi yang menjadi tren baru di tengah kalangan masyarakat saat ini. Banyak sekali pendaki yang ketika berhasil mencapai puncak sebuah gunung, segera ingin mencapai puncak gunung berikutnya. Gunung, memang semacam candu bagi para pencintanya.

Tidak ada yang salah dengan mountain addicted, ketagihan mendaki gunung. Bahkan ini merupakan sebuah hobi yang baik, menyenangkan, sekaligus menyehatkan. Namun, dalam menekuni suatu hobi, apapun bentuknya, akan jauh lebih baik bila kita mengenali seluk-beluknya. Minimal, pengetahuan dasar harus dimiliki untuk menghindarkan diri dari segala kejadian buruk yang mungkin saja terjadi.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (2)
NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (1)

Pendaki Pemula

Menurut Dedi “Ciko” Setiadi, seorang anggota WANADRI yang sangat fasih dalam penguasaan medan hutan dan gunung, peristiwa tragis seperti yang belum lama ini terjadi di Gunung Bawakaraeng banyak menimpa pendaki pemula. Bukannya mendewakan pendaki yang sudah pakar (expert), tapi ada beberapa hal yang kadang luput dicermati oleh pendaki pemula.

Menurut Ciko, yang banyak terlibat dalam berbagai operasi SAR bersama BASARNAS, para pendaki pemula biasanya memiliki rasa bisa dan ingin sampai puncak, namun tidak dibarengi dengan pengetahuan serta penguasaan materi PALBAL dan PALJAL. Materi PALBAL meliputi pengetahuan mengenai perencanaan, perbekalan, dan perlengkapan. Sedangkan materi PALJAL mencakup perencanaan perjalanan. Artinya, seorang pendaki harus benar-benar merencanakan pendakiannya, dengan mengukur kemampuan tubuh dan mempersiapkan fisik serta mental sebaik mungkin, serta pengetahuan mengenai medan yang akan ditempuh.

Seorang pendaki pemula diharapkan untuk tidak pergi sendiri, atau beramai-ramai tetapi keseluruhan rombongan adalah pemula. Akan lebih baik jika mereka berangkat dengan didampingi minimal satu orang yang sudah memahami medan. Setelah perencanaan yang matang, para pendaki harus benar-benar menyiapkan perbekalan serta perlengkapan.

Lalu, apa beda perbekalan dan perlengkapan? Perbekalan adalah segala sesuatu yang habis dipakai. Meliputi logistik atau perbekalan bahan makanan serta air minum bila ditengarai tempat yang akan dituju jauh dari sumber air. Sementara itu, perlengkapan adalah segala sesuatu yang tidak habis dipakai, seperti alat-alat penunjang perjalanan pendakian tersebut.

Perlengkapan ini pun dibagi menjadi dua. Ada yang disebut dengan perlengkapan kelompok, semacam alat komunikasi dan navigasi, P3K, tali webbing, serta tenda. Ada juga perlengkapan pribadi yang meliputi pakaian ganti, jaket, kantung tidur (sleeping bag), pisau lipat, atau piranti apa pun yang dapat menunjang serta mempermudah para pendaki dalam perjalanannya.

Hobi berkegiatan di alam terbuka, termasuk naik gunung, asal dilakukan dengan persiapan matang dan bekal pengetahuan yang memadai, merupakan kegiatan positif yang menyenangkan sekaligus menyehatkan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Hobi berkegiatan di alam terbuka, termasuk naik gunung, asal dilakukan dengan persiapan matang dan bekal pengetahuan yang memadai, merupakan kegiatan positif yang menyenangkan sekaligus menyehatkan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Kemalangan atau pun kemujuran dalam hidup manusia memang rahasia Tuhan semata. Tidak ada satu pun orang yang dapat memperkirakan kapan ajal menjelang. Termasuk di pendakian gunung. Namun perencanaan matang dan kecermatan menghitung segala kemungkinan yang dapat terjadi dalam perjalanan, adalah hal yang tidak dapat diabaikan begitu saja.

Ada lima faktor yang wajib dipertimbangkan serta dipahami dalam hobi naik gunung. PEEPO, singkatan dari People (Manusia), Environtmental (Lingkungan), Equipment (Perlengkapan), Procedure (Prosedur), dan Organization (Organisasi). Kelima faktor inilah yang sering kali diabaikan oleh para pendaki sehingga menjadi penyebab kemalangan dalam pendakian.

Manusia

Manusia adalah faktor utama dalam segala kegiatan, termasuk dalam pendakian. Kesiapan fisik dan mental sangat diperlukan selain perilaku personal yang merupakan faktor penentu keberhasilan atau kegagalan sebuah perjalanan.

Satu hal yang paling penting adalah etika. Hindari sifat egois serta “sok tahu” dan “sok jagoan”  tanpa dibekali pengetahuan yang cukup. Ingat, faktor manusia sering menjadi penyebab kecelakaan dalam kegiatan di alam bebas.

Lingkungan

Kenali lingkungan yang akan ditempuh, meliputi  kondisi alam termasuk kontur tanah, bebatuan, sumber air, serta cuaca.  Pengenalan lingkungan ini akan sangat erat kaitannya dengan pemilihan waktu yang tepat dalam melakukan pendakian sehingga dapat dihindari pendakian dalam cuaca yang tidak tepat.

Namun, apabila pendakian dalam cuaca ekstrem tidak dapat dihindari, pengenalan cuaca ini sangat penting untuk menentukan peralatan apa saja yang harus dibawa. Sebagai contoh, pendaki yang akan melakukan pendakian di musim hujan, tidak bisa hanya sekedar menggunakan jaket tipis tanpa pelapis. Di gunung bercuaca dingin dengan curah hujan yang tinggi serta berangin, persiapan yang tepat sepert ini dapat menghindarkan pendaki dari hipotermia.

Perlengkapan

Menjelajahi alam seperti gunung dan hutan tentu  sangat berbeda dengan bermain ke tempat wisata pada umumnya. Perlengkapan yang tepat sangat diperlukan, bahkan bersifat wajib agar terhindar dari hal-hal buruk. Seperti telah disinggung di atas, ada perlengkapan kelompok dan perlengkapan pribadi yang sangat perlu disiapkan dengan baik.

Ambil contoh apa yang terjadi di Gunung Bawakaraeng, Sulawesi Selatan. Seperti yang diberitakan oleh beberapa media, kelompok yang terdiri dari delapan orang mahasiswa tersebut tampaknya tidak memiliki perlengkapan serta perbekalan yang baik. Satu dari tiga orang korban tersebut pada awalnya memang tidak berniat untuk ikut pendakian. Ia hanya ingin menunggu kawan-kawannya yang “muncak” di kaki gunung tersebut.

Ketidaksiapan seperti ini bisa berakibat fatal. Terbukti, ketika badai datang, tubuhnya tidak dalam kondisi siap untuk menerima cuaca yang ekstrem datang tiba-tiba. Sebagaimana diberitakan, yang bersangkutan mengalami hipotermia dan menghembuskan napas terakhirnya di jalur pendakian.

Prosedur

Ikutilah segala prosedur yang telah ditetapkan. Baik prosedur umum pendakian atau pun prosedur yang ditetapkan oleh masing-masing pengelola gunung. Sebagai contoh adalah Prosedur Simaksi (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) yang berbeda di setiap gunung. Ada Simaksi yang bisa langsung dilakukan ketika datang, dan ada Simaksi yang harus dilakukan secara daring dengan berbagai syarat yang menyertainya. Tentu setiap pengelola memiliki alasan dalam setiap peraturan yang mereka tetapkan.

Selain Simaksi, contoh lain adalah prosedur jalur pendakian. Bila pengelola melarang para pendaki untuk melewati jalur tertentu, biasanya karena jalur tersebut berbahaya, seperti rawan longsor atau jalur tersebut adalah daerah cagar alam yang memang sangat terlarang untuk dimasuki. Pelanggaran prosedur terbukti menyebabkan banyak pendaki tersesat atau menemui halangan serta rintangan dalam proses pendakiannya.

Organisasi

Para pegiat alam biasanya tergabung dalam sebuah organisasi kepecintaalaman. Di sinilah tugas organisasi, untuk merangkum dan merangkul anggotanya sehingga mereka tidak hanya sekadar mengajak pergi ke alam, bersenang-senang di alam, tanpa memberikan pengetahuan dasar yang dibutuhkan dalam menghadapi apa pun yang mungkin terjadi di alam liar.

Begitu pun dengan anggota. Mereka diharapkan terus memperkaya diri dengan berbagai pengetahuan dan pelatihan untuk mempersiapkan mental dan membentuk karakter yang baik sehingga benar-benar siap menempuh perjalanan. Hanya dengan kesiapan seperti ini, mereka benar-benar dapat bersinergi dengan diri sendiri, alam, dan lingkungan yang ingin ditempuh.

Setelah memiliki pengetahuan serta kemampuan dasar, yang tak kalah penting bagi pendaki adalah kewajiban untuk mengenali karakter masyarakat yang daerahnya akan dilewati atau dituju. Menghormati budaya serta kearifan lokal masyarakat setempat, adalah kebaikan yang harus dijunjung tinggi.

Ikuti kata pepatah “Dimana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung”. Menghormati alam serta masyarakatnya akan berbanding lurus dengan rasa aman serta rasa cinta yang akan didapat oleh siapa pun yang mendahulukan “adab daripada ilmu”. Lebih dari apa pun di atas, berdoa sebelum melakukan pendakian, berpasrah diri pada Sang Maha dan biarkan Tuhan yang bekerja untuk segala keselamatan selama dalam masa pendakian.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//