NGULIK BANDUNG: Perang Susu (Melk-Oorlog) di Bandung (1) Perseteruan Antarperusahaan Susu
Ternak sapi perah sudah ada di daerah Lembang setidaknya sejak abad ke-19. Para pengusahanya berseteru satu sama lain lewat iklan di koran.
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
14 Oktober 2021
BandungBergerak.id - “Tidak perlu khawatir untuk datang ke Hindia, karena sekarang sudah mudah untuk mendapatkan susu di sini.” Kalimat tersebut merupakan sebuah kalimat dalam iklan pariwisata, yang ditulis besar-besar oleh Melkerij (perusahaan susu) “Petamboeran” dalam sebuah pamflet Gids voor Indie : Handleiding en Hotel Pension, Toko en Dienstengids Voor New Comers en Touristen in Ned-Indie, yang dikeluarkan oleh Departemen Kepariwisataan Hindia Belanda pada tahun 1933. Pemerintah saat itu sedang getol-getolnya berpromosi agar semakin banyak turis Eropa tertarik untuk berwisata di negara koloni Belanda ini.
Iklan tersebut tampak lucu saat ini Betapa tidak, bagaimana mungkin susu dan peternakan bisa menjadi daya tarik para wisatawan untuk melancong ke sebuah negara koloni, yang jauh dari Benua Eropa tersebut? Keindahan Nusantara yang saat itu masih menjadi wilayah koloni bagi Belanda, tak diragukan lagi. Sebuah negeri tropis, hijau dengan iklim yang senantiasa hangat ini memang membuat pelancong tertarik untuk datang. Namun, berbagai kebiasaan orang Eropa yang tidak terdapat di Hindia Belanda, menjadi kendala. Salah satunya terkait budaya minum susu.
Bagi orang Eropa, susu serta produk turunannya seperti keju, mentega, yoghurt dan penganan lain, bisa dikatakan sebagai produk utama, yang harus dikonsumsi setiap hari. Bisa dikatakan, bagi orang Eropa, susu serupa dan sebanding dengan nasi serta umbi-umbian bagi masyarakat di Nusantara, alias “wajib” hukumnya untuk dikonsumsi. Berbanding terbalik dengan masyarakat pribumi kala itu yang melihat bahwa susu yang berasal dari hewan, bukanlah produk yang layak untuk dikonsumsi oleh manusia.
Dalam berbagai literatur, bagi orang pribumi, susu bahkan dianggap sebagai cairan putih yang menjijikkan, dianggap sebagai nanah yang berasal dari kerbau. Susu, bagi pribumi adalah minuman yang “diperuntukkan” bagi orang Belanda atau sebagian golongan pribumi yang memiliki kuasa. Tak heran kemudian ada anekdot yang mengatakan: “Tak perlulah minum susu seperti orang-orang Belanda, nenek moyang kita sangat getol mutih (puasa dengan hanya minum air bening dan umbi-umbian), itu saja sudah bisa jadi orang ‘pintar’ dan ditakuti Belanda, apalagi minum susu, bisa jadi manusia super!”. Bahkan secara sarkastis dikatakan: “Jika mau berkuasa, minumlah susu”. Kalimat semacam itu cukup membuat golongan pribumi semakin antipati terhadap minuman berwarna putih ini.
Karena budaya minum susu memang tidak dikenal di Nusantara, keberadaan susu perah pun bisa dikatakan tidak ada saat itu. Walau demikian, seiring dengan kedatangan orang-orang Belanda di Nusantara, tak pelak membuat kebutuhan susu di negeri ini menjadi sangatlah penting. Namun sejak kapan keberadaan hewan sapi perah di Indonesia tidak tercatat dengan pasti. Berbeda dengan keberadaan sapi pedaging, yang tercatat diimpor oleh Pemerintah Hindia Belanda, dan menetapkan daerah Sumba sebagai pusat pengembangbiakan sapi dari jenis O Ngole yang berasal dari India.
Memang tidak ada catatan resmi mengenai kapan awal mula keberadaan sapi perah di Indonesia. Namun kemungkinan Bandung, sejak abad ke-18, sudah menghasilkan susu sapi segar, walaupun belum banyak. Hal tersebut dapat disimak dari catatan Heer Medici, dalam kunjungannya ke Negorij Bandoeng, pada tahun 1786 yang melakukan perjalanan berkuda bersama rombongannya dari Batavia. Rombongan mereka disuguhi susu segar yang berasal dari Bandung, saat mereka beristirahat di Cianjur. (Ahmad Sunjayadi, 2007)
Peternakan Sapi Perah di Bandung
Bendera Prisenvlag, si tiga warna rood Wit Blaw (Merah Putih Biru) berkibar di sepanjang jalan, hiasan-hiasan dengan lengkungan-lengkungan indah penuh warna dipasang disana sini. Gamelan ditabuh, para penari melenggokkan tubuhnya mengikuti irama tetabuhan, sebuah acara yang dihelat khusus ketika Gubernur Jenderal mengunjungi peternakan General de Wet, milik seorang peternak besar Tn. Hirschland beserta rekanannya Tn. Van Zijjl, yang didirikan tahun 1903. Bersama dokter hewan pemerintah Tn. Van Derschroeff mereka menyambut kedatangan Gubernur. Tampak pula peternakan Baroe Adjak, milik keluarga Ursone selain mengibarkan bendera tiga warna, juga mengibarkan bendera Italia, negara asal mereka.
Peristiwa di atas ditulis dengan sangat apik oleh koran De Preangerbode, 18 Juni 1921, saat memberitakan anakan sapi turunan dari sapi impor yang berasal dari Friesland, sebuah provinsi di Belanda lahir. Warga, terutama para ibu, turut bersuka cita menyaksikan peristiwa ini. Dalam kesempatan yang sama Gubernur Jenderal memberikan bantuan berupa tiga ekor sapi jantan Friesland yang sengaja diimpor sebagai upaya untuk mengembangbiakkan sapi perah di daerah Cisarua, Lembang. Tentu saja, bantuan ini disambut hangat oleh Tn. Hirschland, karena akan menjadi aset yang sangat berharga.
Berita tahun 1921 tersebut menunjukkan betapa berharganya ternak sapi penghasil susu saat itu. Kelahiran anakan sapi perah yang indukannya harus didatangkan dari negara lain itu pun, disambut dengan suka cita oleh masyarakat Eropa yang tinggal di Hindia Belanda di masa tersebut. De Preangerbode edisi 4 Juli 1921 menulis, sapi dari Friesland sudah didatangkan ke Hindia Belanda beberapa puluh tahun sebelumnya oleh para perintis peternakan seperti Bervoets, Lucasen, dan peternak lainnya. Berita tersebut jelas mengkonfirmasi secara resmi bahwa ternak sapi perah sudah ada di Nusantara, khususnya di daerah Lembang, Jawa Barat setidaknya sejak abad ke-19.
Setelah dirintis oleh para peternak awal tersebut, impor sapi perah dilanjutkan oleh para peternak lain dengan cara yang jauh lebih mudah. Pemerintah menginisiasi sebuah perjanjian impor yang saling menguntungkan dengan manajemen kapal uap Rotterdamshe Lloyd, yang dapat memberikan harga angkut yang jauh lebih murah dari Friesland ke Hindia, selama kapal dapat menganggut 50 hingga 60 ekor ternak sekali angkut. Kemudahan tersebut dimanfaatkan dengan sangat baik oleh para peternak, sehingga kemudian dikenallah peternak-peternak besar seperti, Hirschland dan Van Zijjl, Ursone Bersaudara, dan Van Bagooyen.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Boemi Hajoe, Kebun Stoberi Eropa Pertama di Lembang
NGULIK BANDUNG: Jejak Bangsa Boer di Lembang (2)
NGULIK BANDUNG: Jejak Bangsa Boer di Lembang (1)
Persaingan Para Peternak Sapi Perah
Dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Dewan Kota mengatur segala kehidupan masyarakat. Demikian juga yang berlaku di Bandung kala itu. Terutama aturan yang berhubungan dengan urusan publik atau kemasyarakatan, seperti mengatur perekonomian serta perdagangan. Contohnya, Dewan kota juga mengatur tentang distribusi produk minuman semacam sirup dan limun. Seluruh produsen minuman ini (mau tidak mau) tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh Dewan Kota (Het Niews van derr Dag Voot Nederlands-Indie, 3 september 1925).
Berbanding terbalik dengan para pengusaha minuman sirup dan limun ini, para pengusaha susu enggan mematuhi aturan bikinan Dewan Kota tersebut. Dalam mempromosikan produknya, para pengusaha menggunakan cara mereka masing-masing. Mereka menggunakan media cetak untuk memuji produk mereka masing-masing, dengan cara yang tidak sehat.
Koran Het Niews van der Dag Voot Nederlands-Indie, 3 september 1925, kembali melaporkan, hal ini dimulai oleh Tn. Goldbach sebagai agen pemasaran di Bandung, untuk sebuah peternakan besar dan terkenal General de Wet, milik Tn. Hirschland dan Van Zijll dari Tjisaroea (Cisarua, Lembang). Secara sepihak, atas analisis dari ahli kimia yang mereka miliki sendiri, Tn. Goldbach mengklaim bahwa susu yang dihasilkan oleh General de Wet sebagai susu dengan kualitas nomor satu. Pernyataan sepihak ini diiklankan terus-menerus secara berkala pada beberapa media cetak yang beredar di Hindia Belanda.
Apa yang dilakukan oleh Tn. Goldbach, rupanya memancing pengusaha-pengusaha lain untuk menggelitik masyarakat Bandung kala itu dengan serangkaian penyanggahan terhadap klaim sepihak dari General de Wet. Masing-masing pengusaha memasang iklan serupa di berbagai media cetak, dengan isi yang mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh General de Wet, tidaklah benar. Hal tersebut terbukti dari laporan susu kota yang menyatakan bahwa kualitas susu mereka sebagai nomor dua di Kota Bandung.
Penyataan para pengusaha susu tersebut dibalas lagi oleh pihak General de Wet, lagi-lagi dengan serangkaian iklan yang secara berkala dimuat dalam beberapa surat kabar. Kali ini General de Wet menulis dengan menyertakan bukti hasil analisis kimia dari apoteker di Tjisaroea, bahwa jelas susu yang mereka hasilkan merupakan susu dengan kualitas nomor satu. Pernyataan tersebut ditambahkan dengan kalimat yang menyatakan ketidakmengertian mereka, bagaimana mungkin susu dengan kualitas terbaik seperti yang mereka miliki, digolongkan pada susu dengan kualitas nomor dua, sedangakan selama ini mereka selalu menang dalam tender yang diadakan oleh Rumah sakit Militer Tjimahi (kini Rumah Sakit Dustira).
Perseteruan pun semakin panas dan tidak sehat. Hal ini berlangsung terus dan berkepanjangan selama bertahun-tahun. Setelah situasi di atas terjadi, lantas langkah apa yang dilakukan oleh pemerintah? Adakah cerita-cerita lain yang terjadi? Penulis akan melanjutkannya pada tulisan selanjutnya.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman