NGULIK BANDUNG: Mata Air Cikendi, Dulu Berjasa kini Dilupakan
Mata Air Cikendi merupakan saudara kandung Gedong Cai Cibadak. Keduanya berada di wilayah Lembang Weg atau kini Hegarmanah. Nasib mereka kini berbeda.
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
7 April 2022
BandungBergerak.id - Bangunan itu tampak dingin, sepi dan menyendiri di tengah perkampungan Hegarmanah, Jalan Cikendi, Bandung. Dengan warna cat yang memudar, tampak bekas air tergenang di tepi temboknya yang kusam. Dari bangunan itulah bersama dengan Gedong Cai Cibadak-1921 Kota Bandung, pernah mendapatkan pasokan air yang melimpah.
Jalan Cikendi tak jauh dari kawasan ramai dan padat Setiabudi, Kota Bandung. Sepintas orang takkan mengira kalau di kawasan sibuk Setiabudi masih terdapat lahan hijau seperti Cikendi. Sejumlah pepohonan di sana berukuran besar-besar, diperkirakan usianya sudah cukup tua. Perkara nyamuk, tak perlu diragukan lagi banyaknya, dengan jarum-jarum mereka yang mampu menembus pakaian. Hal ini menandakan tak banyak tangan yang mencampuri situasi alami hutan alami di tengah kota itu!
Dari bangunan tua itulah terdengar suara air yang mengalir deras, temboknya dingin dan kusam, kokoh berdiri di tengah hutan kota tersebut. Merujuk tulisan timbul yang terdapat pada fasadnya, M.A. CIKENDI TH.1921, menunjukkan bahwa bangunan yang berfungsi sebagai pengumpul air pada mata air atau bron ini didirikan pada tahun 1921, di tahun yang sama dengan “saudara kandungnya”, Gedong Tjai Tjibadak atau Tjibadak Bron didirikan.
Sekilas model bangunan Cibadak dan Cikendi terlihat mirip, hanya soal perawatan yang membedakannya. Apakah kedua bangunan pengumpul air tersebut inheren atau justru memiliki hubungan kausalitas?
Perkembangan Kota Bandung
Menurut majalah Mooi Bandung Maandblad Van Bandoeng En Omstreken Oct. 1933, edisi ke empat, sejak awal 1900-an dan semakin tampak nyata dimulai pada tahun 1913, Kota Bandung telah berubah reputasinya dari sebuah bergdessa atau desa yang kumuh menjadi sebuah kota tujuan wisata. Tidak hanya dikenal sebagai daerah pegunungan yang menawarkan suasana sejuk nan romantis, Kota Bandung sudah menjadi salah satu kota tujuan pariwisata. Terutama sejak adanya perhelatan Jaarbeurs, acara yang menjadi tempat orang-orang Eropa sengaja datang ke Kota Bandung untuk bersenang-senang.
Selama hampir 35 tahun sejak akhir abad ke-18, tidak lebih dari 339 orang Eropa, termasuk perempuan dan anak-anak tinggal di Bandung. Jumlah mereka terus bertambah sejak dibangunnya berbagai fasilitas seperti tempat-tempat pertunjukan, gereja, sekolah, serta tempat-tempat pelesir lainnya. Pada tahun 1986 terdapat 1.134 orang Eropa di Kota Bandung, dan pada tahun 1933 menjadi lebih dari 20.000 orang termasuk juga orang Eropa yang tengah menempuh pendidikan yang berasal dari kota lain. Sehingga bila ditambah dengan penduduk asli, yaitu suku Sunda, serta para pelayan yang didatangkan dari Batavia dan daerah lain di Jawa, maka Bandung sudah benar-benar menjadi kota metropolitan ke-3 di Hindia Belanda.
Merujuk apa yang dituliskan dalam artikel di majalah Mooi Bandoeng tersebut, dapat dibayangkan permasalahan yang dihadapi oleh Kota Bandung pada saat itu. Bandung yang terus membenahi diri termasuk memperbaiki sarana sanitasi dan higienitas kotanya memiliki masalah baru. Bukan hal yang sulit sebenarnya, karena orang-orang Eropa yang terdidik secara barat dalam hal kesehatan, dibantu oleh orang-orang Sunda yang cenderung mudah beradaptasi dengan kebiasaan orang Eropa dalam mengelola pembuangan, saluran air, tempat cuci. Namun kebutuhan akan air berbanding lurus dengan apa yang sedang dibenahi saat itu.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Makna Rorokan dan Filosofi Arsitektur Rumah Adat di Kasepuhan Ciptagelar (Bagian 3)
NGULIK BANDUNG: Kasepuhan Ciptagelar, Merangkul Teknologi dan Mewujudkan Kemandirian Pangan (Bagian 4)
NGULIK BANDUNG: Mereka yang Berkhidmat di Kasepuhan Ciptagelar (Bagian 5)
Sumur Artesis Lokal Kewalahan
De Preanger Bode, 15 Mei 1920 melaporkan bahwa Wali Kota menyerahkan gambaran pasokan air kepada Dewan Kota, yang dia dapatkan dari Directeur Der Waterleiding Het Volgende (Direktur Pasokan Air). Suplai air di Bandung saat itu masih mengandalkan sumur-sumur artesis lokal. Adapun sumur-sumur artesis tersebut adalah Tjitjendo dengan debit air 6,2 liter per detik, Tjitepoes dengan debit air 4,8 liter per detik, Merdika dengan debt air 10,2 liter per detik, Pasir Kaliki 15,5 liter per detik, Bloeboer 16 liter per detik, dan Lembang weg 26,3 liter per detik. Bila merujuk pada data tersebut maka kesediaan air yang berasal dari semua sumur artesis itu tidak akan mencukupi kebutuhan warga tanpa adanya reservoir atau bak tampung.
Sebuah artikel pada harian Bataviaasch Niewsblad, 13 Mei 1920, melaporkan bahwa air menjadi masalah serius kota-kota utama di Hindia Belanda seiring dengan populasi penduduk yang semakin bertambah, termasuk Kota Bandung. Masalah air menjadi makin serius dengan meningkatnya persentase pembangunan perumahan, serta berubahnya selera desain arsitektural bangunan perumahan kala itu. Rumah dengan desain-desain modern banyak dibangun dengan model dua tingkat, sehingga dibutuhkan debit air yang tinggi untuk membuat air dapat mengalir ke bagian atas rumah. Maka mencari sumber-sumber air dengan debit air yang tinggi serta membangun sumur tampung atau reservoir tidak dapat ditunda lagi.
Mata Air Cikendi Menjadi Harapan Baru
Menurut harian De Locomotief, 4 April 1919, Ir. De Jongh, seorang insinyur pertambangan telah lama melakukan riset tentang sumber-sumber alam yang berada di sekitaran Bandung. Risetnya belum selesai namun dia mendapatkan sebuah kumpulan mata air pada tahun 1918 dengan debit yang sangat bagus, yang disebut sebagai sumber Tjikendi (Cikendi) di daerah Lembang Weg (daerah Hegarmanah sekarang).
Penelitian Geologis yang dilakukan kemudian semakin membuktikan bahwa sumber tersebut steril saat ditangkap langsung dari sumber aslinya tanpa perlu pengolahan lebih lanjut. Hanya dibutuhkan dukungan dana yang besar dari pemerintah, untuk memasang pipa-pipa khusus untuk mengalirkan air dari Cikendi hingga dapat ditampung pada reservoir atau sumur tampung agar dapat dialirkan pada rumah-rumah warga, setidaknya bagi masyarakat di sekitaran Lembang weg.
Selain mata air Cikendi sebenarnya ada sumber lain yang telah dibidik, yaitu mata air Tjibadak (Gedong Cai Cibadak) yang juga berlokasi di Lembang Weg. Namun karena debit mata air Cibadak kurang mencukupi maka sumber tersebut dibidik menjadi reservoir atau sumur tampung hingga ditemukan sumber air yang tepat untuk mengisinya. Maka sumber air yang paling mudah diakses untuk segera dikerjakan adalah mata air Cjikendi yang berada di paal 4 atau sekitar empat pos dari Bandung.
Tumpukan pipa-pipa besar akan disiapkan, tanah akan digali, pembangunan rumah sumur akan dilakukan. Ketika rumah bak tampung air itu rampung, maka dinding batu akan dibelah hingga terbuka dan pipa-pipa drainase dimasukkan untuk mengumpulkan semua air agar ditampung dalam bangunan pelindung bak air tersebut (De Preanger Bode, 28 agustus 1920).
Tjikendi Bron Menyelamatkan Bandung
Mata air Cjikendi mungkin tidak dapat memenuhi kebutuhan seluruh warga Bandung, beberapa ruas wilayah di daerah Dago masih belum mendapatkan pasokan air dengan layak. Pipa-pipa telah dipesan dan pekerjaan baru untuk proyek Tjibadak Bron diperkirakan akan selesai di akhir tahun 1921. Namun dengan diresmikannya mata air Cikendi di pertengahan bulan Januari 1921, hampir semua masalah yang terkait dengan air akhirnya dapat teratasi (De Preanger Bode, 17 Januari 1921). Masyarakat bersuka cita sampai menertawakan hal yang terjadi ketika kota masih mengandalkan sumur artesis.
Betapa krusialnya keberadaan sumur penampung mata air Cikendi. Ini digambarkan pada artikel yang sama di De Preanger Bode, 17 Januari 1921, yang mengungkap masalah menjadi serius dan pelik tentang sanitasi. Sumur-sumur artesis lokal yang mengalir malam hari di rumah-rumah warga, ternyata menggelontor begitu saja saat ditampung dan tidak dimatikan dengan sistem kran yang dapat dibuka tutup. Maka saat mengalir tersebut, pasokan air yang berada di sumur artesis itu otomatis menjadi kosong.
Masalah lain timbul dengan adanya rumah-rumah kos murah yang disewa oleh mahasiswa-mahasiswa yang mengisi tempat kos murah beramai-ramai. Mereka bisa berbagi air pada pagi hari untuk mandi, tetapi tidak cukup air untuk menyiram kotoran. Diperparah saat sore hari tidak ada lagi air tersisa untuk mandi dan menyiram kotoran sisa pagi hari, sehingga penyakit kolera dan pes menghantui Kota Bandung saat itu.
Nasib Mata Air Cikendi dan Pancuran 7
Bagi masyarakat sekitar Cikendi, Hegarmanah dan daerah Secapa, mata air ini hanya dikenal sebagai Pancuran 7, karena air yang terkumpul dari mata air yang berada di atasnya, dikumpulkan dalam sebuah bak tampung dan digelontorkan begitu saja dari tujuh buah pancuran yang kini dimanfaatkan oleh warga sekitar. Air yang mengalir begitu jernih dan segar mengucur dengan derasnya, sesekali digunakan oleh warga untuk mencuci atau mandi tanpa ada kran yang dapat dibuka atau ditutup dan selebihnya dibiarkan mengalir dengan bebasnya terbuang begitu.
Sumber air Cikendi atau Tjikendi Bron terpaut usia hanya 11 bulan saja dari saudaranya kandungnya Tjibadak bron. Diresmikan pada pertengahan bulan Januari 1921, dan menyelamatkan Kota Bandung dari krisis air saat itu. Keduanya merupakan bagian yang sama dari sebuah proyek besar rancangan pencarian sumber dan penyediaan air bersih kota Bandung yang tercantum dalam nota Waterleiding Ontwerp 1920 (Gementee Blad no.138/1921).
Sejarah menentukan nasib kedua mata air itu berbeda. Tjibadak Bron bertemu dengan orang-orang baik, kumpulan anak muda yang tergabung dalam Komunitas Cai, sehingga kini dapat direstorasi dan ditetapkan sebagai cagar budaya. Sedangkan mata air Cikendi masih terbengkalai dan menunggu uluran tangan untuk diperhatikan dan diingat jasa-jasanya.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman