• Berita
  • Mata Air Cikendi tidak Terawat, Beda Nasib dengan Gedong Cai Cibadak

Mata Air Cikendi tidak Terawat, Beda Nasib dengan Gedong Cai Cibadak

Mata air Cikendi di Hergarmana, kawasan Bandung utara, sebagai paru-paru kota yang kini terdesak pembangunan. Warga berharap dirawat dan dilestarikan.

Mata air Cikendi di kawasan Hergarmanah, Kota Bandung, Senin (10/1/2022), tertimbuhn pepohonan liar dan tak terawat. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman11 Januari 2022


BandungBergerak.id – Tepat pada Rabu, 29 Desember 2021 lalu, Gedong Cai Tjibadak (Cibadak) diramaikan oleh banyak orang. Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, dan pimpinan PDAM Tirtawening Kota Bandung turut turun memeringati 100 tahun berdirinya mata air tersebut.

Sebetulnya, Gedong Cai Cibadak tidak sendirian. Pada tahun tersebut usia mata air Cikendi sama genapnya satu abad karena sama-sama dibangun pemerintah Belanda pada 1921. Bahkan konon mata air Cikendi dibuat lebih dahulu sebelum pembuatan Gedong Cai Cibadak.

Dari sisi arsitektur, dua bangunan instalasi air bersih itu ada kemiripan. Posisinya juga sama-sama terletak di hutan yang tersisa di kawasan Bandung utara, tepatnya di kawasan Hegarmanah, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung. Keduanya jadi sumber air baku untuk PDAM Tirtawening dan sama-sama terkepung oleh permukiman elit dan properti mewah.

Namun beda nasib antara Gedong Cai Cibadak dan Cikendi. Di saat gempita peringaatan seabad Gedong Cai Cibadak, mata air Cikendi justru sendirian dan terasing. Pantauan BandungBergerak.id, Senin (10/1/2022), akses ke mata air ini tidak mudah, lokasi bangunan hampir tidak terlihat karena tertutupi oleh rimbunnya pepohonan.

Berjalan kaki menuju Cikendi harus menempuh medan cukup sulit. Orang harus menuruni banyak anak tangga yang cukup curam dan kelok-kelok jalan perkampungan. Bagi yang membawa kendaraan bermotor, bisa mengaksesnya langsung ke Jalan Cikendi dan parkir di depan masjid Nurul Bayan.

Kondisi Mata Air Cikendi dan lingkungan sekitarnya tidak akan memanjakan mata dan telinga seperti Gedong Cai Cibadak. Setelah melewati plang PDAM penanda jalan masuk menuju Cikendi, pemandangan yang terlihat adalah hutan Hegarmanah yang lebat dan sekumpulan nyamuk di mana-mana.

Di sekitar Cikendi juga banyak ditemukan sampah dan tumpukan barang-barang tidak terpakai, serta bekas rumah yang hancur. Kondisi bangunan gedong cainya masih terlihat kokoh, namun kerimbunan tanaman di sana membuat bangunan dan jalanannya menjadi tertutup.

Pendi (61), salah seorang warga Hegarmanah, menyebut kondisi Gedong Cai Cikendi dan lingkungannya berbeda dari yang dulu. Dulu kawasan ini masih banyak dihuni hewan liar, seperti monyet, ular, biawak, dan lain sebagainya.

Pendi mengaku sempat menyaksikan derasnya air yang keluar dari Cikendi pada dulu kala. Namun kini Pendi tidak bisa mendengarkan kembali suara gumuruh air tersebut, karena debit air yang keluar tidak sebesar dulu.

“Dulu air Cikendi masih deras, bahkan suara cepretan air dari pancuran masih terdengar jelas.  Bahkan setahu bapak, kalau mata air Cikendi ini airnya sampai mengairi Kebun Binatang Taman Sari. Sekarang gak tahu, soalnya airnya juga kecil dari yang dulu,” ucap Pendi saat ditemui BandungBergerak.id.

Sementara dari sisi pemanfaatan, mata air Cikendi banyak dimanfaatkan oleh warga sekitar. Hal itu dapat dilihat dari puluhan pipa dan selang air yang melintang di hutan kawasan Hegarmanah. Bahkan orang di sana sengaja menyimpan tangki untuk menampung air dari mata air Cikendi yang dialirkan ke berbagai rumah.

Baca Juga: Wajah Keruh Privatisasi Air, di Manakah Peran Negara?
Menilik Akses Air Bersih di Kota Bandung

Gedung penangkap air Cikendi buatan tahun 1921 tampak kumuh di tengah hutan Hegarmanah, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung, Rabu (29/12/2021). Konon mata air Cikendi dibuat lebih dahulu sebelum pembuatan Gedong Cai Cibadak. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Gedung penangkap air Cikendi buatan tahun 1921 tampak kumuh di tengah hutan Hegarmanah, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung, Rabu (29/12/2021). Konon mata air Cikendi dibuat lebih dahulu sebelum pembuatan Gedong Cai Cibadak. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Pancuran 7

Masih di wilayah yang sama, ada satu tempat yang sering dimanfaat oleh warga sekitar untuk mandi, mencuci, atau memanfaatkan airnya untuk kepentingan lain. Tempat ini dikenal dengan nama Pancuran 7.

Seperti namanya, tempat tersebut memiliki 7 pancuran air yang bersumber dari aliran mata air Cikendi. Warga sekitar sering menggunakannya untuk kegiatan sehari-hari, seperti mandi, mencuci, mengambil air, dan lain sebagainya.

Bagi beberapa orang, Pancuran 7 memiliki esensi yang lain dari sekadar mata air biasa. Air yang mengalir ke Pancuran ini diyakini memiliki khaisat. Oleh karenanya banyak orang dari luar Bandung sengaja datang ke Pancuran 7 hanya untuk mandi dan mengambil khasiat yang diyakininya.

Elin (57) seorang penjaga warung di dekat Pancuran 7 menuturkan banyak orang yang berdatangan ketika bulan Mulud atau ketika malam Jumat Kliwon. Biasanya ketika Mulud, orang mulai mandi pada pukul 10 malam sampai menjelang subuh, dilanjutkan dengan itikaf. Sementara ketika malam Jumat Kliwon, biasanya hanya sampai pukul 9 malam.

Elin bercerita, sebelum membuka warung seperti saat ini, dulu ia jualan pakai wadah kecil. Barang yang dijualnya kopi dan kembang. “Dapat 150 ribu juga serasa dapet uang banyak. Kemudian jualan kembang juga, biasanya dipakai buat mandi kembang,” tutur Elin.

Elin setiap hari mandi di sana, tapi tidak pernah merasa ada sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Padahal kata orang kalau mandi di sana banyak berkahnya. Konon orang yang mau dioperasi pun berhasil tidak dioperasi karena sebelumnya mandi di Pancuran 7.

Di luar kepercayaan mistik itu, warga sekitar berharap mata air Cikendi tetap terjaga dan diperhatikan oleh Pemerintah Kota Bandung, khususnya oleh PDAM Tirtawening. Selain memiliki nilai histioris, mata air Cikendi sangat bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan air bersih yang diramalkan akan semakin sulit di masa depan.

Bahkan kini banyak warga Bandung yang harus mengeluarkan biaya besar untuk mendapatkan air bersih. Tak hanya itu, Cikendi yang berada di kawasan Bandung utara juga sebagai paru-paru kota yang kini terdesak pembangunan.

Mata air Cikendi sendiri menjadi salah satu sumber air baku PDAM Tirtawening. Dalam situs resminya yang diakses Selasa (11/1/2022), PDAM Tirtawening mengatakan bahwa sumber air bakunya ada tiga, yakni air permukaan, mata air, dan air tanah.

Khusus mata air, PDAM Tirtawening memanfaatkan 15 mata air, salah duanya Cikendi dan Cibadak di daerah Bandung Utara. Total debit dari 15 mata air itu 190 liter per detik yang diolah di Resevoir XI Ledeng.

BandungBergerak.id sempat mengonfirmasi tidak terawatnya mata air Cikendi kepada PDAM Tirtawening Kota Bandung, Senin (10/1/2022). Namun PDAM mengatakan konfirmasi tidak bisa diberikan sebelum adanya surat resmi tentang permohonan narasumber yang ditujukan ke Direktur Utama Perumda Tirtawening Kota Bandung. 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//