• Opini
  • Wajah Keruh Privatisasi Air, di Manakah Peran Negara?

Wajah Keruh Privatisasi Air, di Manakah Peran Negara?

Di masa depan, mungkin masa depan itu sekarang, perang bukan lagi dipicu perebutan minyak bumi, melainkan karena berebut air.

Faudzil Adhiem

Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra IKIP Siliwangi.

Seorang anak di Kabupaten Bandung mengambil air pada musim kemarau berkepanjangan, Selasa (7/9/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

8 Januari 2022


BandungBergerak.idSeorang filosof dari Miletos, Thales, mengatakan air merupakan prinsip dasar kehidupan. Bahkan, sebagai unsur utama pembentuk alam semesta. Iya menyebutnya, Arche. Ya, walau pun pikiran Thales sudah digugat, tetapi air memang tak terpisahkan dengan hidup-kehidupan. Bagaimana tidak terpisah? Tanpa air pula kita tak bisa adus, kalau tak adus, bagi umat muslim tak sah salat. Saya tak bisa membayangkan bila air enyah di muka bumi, maka akan adakah tayamum adus?  

Saya tak hendak mendramatisir, itu hanya prediksi kecil dari amsal ketiadaan air, sebab prediksi yang lebih besar dan sedang terjadi dilontarkan oleh Ismail Serageldin, wakil presiden bank dunia, pada tahun 1995, “Jika perang abad-abad ini banyak diakibatkan oleh persengketaan minyak, di masa depan dipicu oleh air.” Dan sekarang tahun 2022. Bagi Vandana Shiva, seorang aktivis lingkungan India, dan saya mengamininya, berarti perang air sedang terjadi, baik perang secara paradigma, atau perang fisik yang bentuknya penolakan terhadap perusahaan air.

Kalau kita melihat ke warung-warung, tidak ada sewarung pun yang tidak menjual air kemasan. Baik itu air putih, atau air-air yang sudah diberi rasa. Air-air itu adalah produk dari privatisasi, yang peristilahannya hadir karena kesalahan dasar dalam memahami air, begitulah kata Vandana Shiva.

Apa yang dimaksud Vandana Shiva sebagai kesalahan dasar? Ialah memahami air sebagai kebutuhan, yang nahasnya deklarasi yang dicetuskan oleh Worl Water Forum itu didukung oleh PBB. Padahal bagi Shiva, air adalah hak, dan karena hak menurut Laeng-Gilliat (dalam Erwin, 2007) tidak diperuntukan untuk jual-beli (komoditas). Air yang muasalnya: water is life menjadi water is comodity, dan ini mengubur pemahaman air sebagai collective good, yang dikelola secara bersama menjadi privat good, yang dikelola oleh swasta. Tak lebih, ini adalah aneksasi air komunitas ke tangan korporat, begitulah kata Shiva.

Sedangkan menurut Erwin (2007:8) privatisasi merupakan proses politik (didesakkan melalui hutang luar negri) diimplementasikan dari resep neoliberalisme, yang pada dasarnya disetujui oleh rezim otoritarian. Pada tahun 1991, ide privatisasi di Indonesia hadir ketika tawaran pinjaman sebesar USD 92 juta dari Bank Dunia Bank kepada PAM Jaya untuk memperbaiki infrastrukturnya. Di susul pada 1999, Bank Dunia memberikan pinjaman sebesar USD 300 juta di sektor sumber daya air atau Water Resources Sector Adjustment Loan untuk penataan kembali kebijakan sektor air di Indonesia. Tentunya, penataan ini untuk memberikan peluang partisipasi sektor swasta (privatisasi) dalam pengelolaan layanan air

Di sinilah neoliberalisme bekerja lewat utang, guna mengusik kebijakan air, yang dalam dalam pasal 33 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 mewajibkan kepada negara untuk mengelola bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk kebutuhan sebesar-besarnya untuk kebutuhan rakyat (melalui swasta—kata ini ditambahkan penulis).

Neoliberalisme

Ruh neoliberalisme, adalah kebebasan. Baik secara filosofis maupun kebijakan ekonomi. Dalam kebijakan ekonomi, negara yang jahat adalah yang turut campur dalam aktivitas mekanisme pasar, kecuali dalam rangka memfasilitasi bekerjanya mekanisme pasar tersebut. Oleh sebab itu, pokok-pokok kebijakan yang bertelur, meliputi deregulasi, liberalisasi perdagangan, dan investasi, serta privatisasi, dan hubungan kerja yang fleksibel.

Ideologi neoliberalisme, yang jahatnya bukan main, yang seperti tuan crab dalam film Spongebob, tidak akan tinggal diam apabila terjadi penolakan privatisasi tehadap air, umpamanya, ia akan mengerahkan seluruh kekuatan relasi kuasa dan lainnya. Lalu pertanyanya, negara hadir di pihak yang mana?!

Baca Juga: Menilik Akses Air Bersih di Kota Bandung
Krisis Air Bersih Melanda Kota Bandung
Data Sumber Sarana Air Minum Penduduk Kota Bandung, Pipa PDAM belum Menjangkau Seluruh Warga

Privatisasi Air

Seorang teman saya, yang tinggal di sebuah rumah di desa Mekar Jaya, tepatnya di kampung Selakuning, bercerita, kala itu, sawah bapaknya tidak teraliri air begitu cukup, dan tak bisa disangkal gagal panen terjadi. Hal itu bukan karena cuaca dan hama penyebabnya, akan tetapi karena air yang biasa mengalir ke sawah, dari mata airnya telah disedot oleh PDAM dengan pipa yang bukan main besarnya.

Suatu masa, di mana air masih mengalir ke sawah bapaknya, ia kerap menunggu sawah, melihat padi-padi menguning dan merunduk, lalu burung-burung yang mematuk-matuk diusir, baik lewat kata-kata: husssss... atau dengan kaleng-kaleng bekas susu yang ditalikan dalam sebuah bambu, dengan cara kerjanya yang digoyang-goyangkan. Ketika para bapak-bapak mengarit padi, dan ibu-ibu menggebot, lalu terpisahlah antara gabah dan buah. Ia – teman saya itu – akan ke sawah, mengangkut setiap padi yang sudah dikarungi, dan esoknya ia akan mengeringkannya, dan pabrik-pabrik heleran akan sibuk memisahkan beras dan bukan beras yang ia bawa. Itulah suatu masa, di mana untuk makan nasi melalui berbagai proses yang nikmat. Suatu masa di mana mata air belum ‘dijarah’ oleh perusahaan air yang mengalirkan air ke kota baru Parahyangan dan daerah lainnya. Suatu masa sebelum sawah itu jadi kebun-kebun pisang dan sayuran.

Itu tak seberapa. Dampak air kemasan, yang bukan saja berada pada sampah yang meruah, dan mikro plastik yang terkandung dalam botolnya, tetapi dari hilirnya juga sudah tak beres. Erwin dalam bukunya yang bertajuk: “Politik Air di Indonesia: Penjarahan Air oleh Aqua-Dadone” menuangkan kepedihan para petani di kecamatan Krucuk, ketika pascaberdirinyan perusahaan air mineral tersebut. Dalam mencukupi kebutuhan supply air petani di daerah ini harus mengandalkan sumur pompa, bergantung pada hujan, dan mengeluarkan uang 1,6 juta rupiah untuk mendapatkan air dari kapiler pada musim kemarau, guna membayar 27 pos air yang dilalui. Dan ini menimbulkan konflik, hingga aksi massa di kalangan petani untuk menyoal pengaturan oleh Aqua-Dadone.

Padahal, ya, konsep saling berbagi dalam QS. Al Qamar [54]: 28 yang berbunyi: “Dan beritahukanlah kepada mereka bahwa air itu dibagi di antara mereka (dengan unta betina itu); setiap orang berhak mendapat giliran minum,” sudah di jelaskan. Lalu mengapa?

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//