Hari Bumi dan Krisis Air Bersih yang Mengancam Kota Bandung
Lewat buku Kehausan di Ladang Air: Pencurian Air di Kota Bandung dan Hak Warga yang Terabaikan, Zaky Yamani membongkar akar krisis air bersih yang mendera warga.
Penulis Iman Herdiana22 April 2021
BandungBergerak.id - Wilayah Sukapakir dikenal sebagai satu potret kemiskinan Kota Bandung. Selain itu, kawasan yang masuk Kelurahan Jamika, Kecamatan Bojonloa Kaler, ini banyak dihuni warga yang kesulitan air bersih. Salah satunya Rukayah. Meski berlangganan PDAM Kota Bandung, sehari-hari ia justru membeli air bersih dari tetangganya yang juga berlangganan PDAM.
Kesulitan akses air bersih yang dialami Rukayah dan warga Bandung lainnya mengisi bab pertama buku Kehausan di Ladang Air: Pencurian Air di Kota Bandung dan Hak Warga yang Terabaikan (2012) yang ditulis Zaky Yamani.
Buku tersebut terdiri atas 6 bab itu menceritakan kesulitan warga miskin Kota Bandung yang beban ekonominya bertambah berat karena tidak memiliki akses terhadap air bersih. Rukayah tinggal di kecamatan padat penduduk, 39.256 jiwa per kilometer persegi, pada tahun 2005 (kurun tahun Zaky mulai menulis buku ini).
Waktu itu, jumlah penduduk Kelurahan Jamika sebanyak 25.146 jiwa atau 1.292 keluarga, 6.460 jiwa di antaranya kategori miskin. Sebanyak 4.000 tidak pernah merasakan duduk di bangku sekolah.
Rukayah pernah menjadi pengumpul uang iuran PDAM. Tapi ia berhenti karena stroke. Juga malu karena air PDAM di wilayah rumahnya sering macet. Kalaupun airnya mengalir, volumenya sangat kecil dan berbau. Itu pun didapat dengan cara begadang, antara pukul 22.00 sampai pukul 5 pagi.
Dari keterangan warga Sukapakir, Zaky bercerita tahun 80-an mereka sama sekali tidak kesulitan air bersih. Selain ada sambungan PDAM, ada sumur gali, sumur pompa, juga WC umum. Dari tahun ke tahun sumber air hilang satu per satu. Sumur gali Rukayah kering sejak 1990.
Waktu itu, Rukayah suka membagi-bagikan air gratis ke tatangga saat musim kemarau. Sekarang, ia harus membeli air ke tetangga tiap harinya. Satu gerobak air berisi 15 jerigen berkapasitas total 125 liter Rp 4.000.
Di bab dua, Zaky menceritakan masalah akses air bersih yang menimbulkan keretakan hubungan antar-warga Bandung. Sempitnya akses terhadap air bersih membuat mereka berebut, bertengkar, menggungjingkan tetangga yang akses ke airnya lebih baik, bahkan berkelahi dengan golok.
Ada warga yang menjadi pemburu air yang berebut selokan kotor. Mereka harus siap bertarung dengan penduduk lain yang sama-sama memburu air. Selokan tersebut untuk dialirkan ke kampung mereka di dataran yang lebih rendah.
Sebenarnya, menurut Zaky, Bandung masih memiliki sumber-sumber air melimpah, seperti dilukiskan pada bab tiga tentang menjamurnya para pedagang air non-PDAM. Keberadaan para pengusaha air ini menjadi dilema, di satu sisi menjadi sumber air alternatif bagi warga yang tidak berlangganan PDAM. Di sisi lain, para pedagang air telah menguasai sumber air yang tadinya digunakan secara kolektif oleh warga.
Zaky mengungkap bisnis air di wilayah Sindang Jaya dan Sindang Jaya, salah satu sumber mata air bagi Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Pendapatan air dari salah satu pengusaha air di wilayah ini mencapai 1.050.000 liter dalam satu bulan. Keuntungan bersih mereka ditaksir Rp 3 juta lebih per bulan.
Menurut Zaky, Pemkot Bandung tidak memiliki data tentang berapa banyak air yang diambil dari mata air Bandung yang dikuasi pengusaha air. Zaky menaksir, dalam sebulan jumlah air dari Sindang Jaya saja mencapai 3,7 juta liter hingga 4,5 juta liter. Hitungan ini berdasar jumlah mobil tangka pengangkut air per hari.
Itu baru di satu sumber mata air. Belum di pusat-pusat penjualan air seperti Pasirwangi, Ujung Berung dan lainnya. Selain itu, Zaky juga membeberkan maraknya penjualan depot air isi ulang yang kualitas airnya dipertanyakan dari sisi standar kesehatan.
Pada bab empat dan bab lima, Zaky membahas sikap dan upaya Pemkot Bandung untuk mengatasi persalan akses air bersih bagi warganya, serta persoalan yang dihadapi PDAM Kota Bandung, satu-satunya intitusi yang diberi tanggung jawab untuk mengurusi dan mengelola akses air bersih Kota Bandung.
Klaim 65 Persen
PDAM Kota Bandung mengklaim jumlah warga Kota Bandung yang terlayani pipa arinya sebesar 65 persen. Sisanya, 35 persen menggunakan sumber air lain, baik dari sumur gali, sumur bor, aliran dari mata air, maupun membeli air dari sumber selain PDAM. Artinya, 100 persen warga Bandung mendapatkan pasokan air bersih. Waktu itu, penduduk Kota Bandung 2.374.198 jiwa (2005). Klaim PDAM ini diberitakan luas media massa.
Namun Zaky menilai klaim tersebut tidak menjelaskan rincian tentang komponen yang menjadi dasar perhitungan jumlah pelanggan PDAM. Untuk menghitung jumlah penduduk Kota Bandung yang telah mendapatkan askes air bersih, dapat dilakukan dengan cara menjumlahkan jumlah pelanggan dari golongan rumah tangga, ditambah golongan sosial umum dan khusus, dikalikan dengan angka rata-rata penghuni rumah di Kota Bandung, kemudian dibagi dengan total popilasi penduduk Kota Bandung.
Golongan rumah tangga serta golongan sosial umum dan khusus adalah pelanggan yang secara riil menggunakan air PDAM untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hasil perhitungannya, baru 21,18 persen warga Bandung yang terlayani PDAM. “Artinya, baru 502.855 penduduk Kota Bandung yang terlayani PDAM,” ungkap Zaky.
Angka tersebut, kata Zaky, berasal dari 125.729 (hasil penjumlahan seluruh golongan rumah tangga dengan golongan sosial umum dan khusus) dikali 4 (angka rata-rata penghuni sebuah rumah di Bandung, hasil pembagian dari 2.374.198 jiwa populasi Bandung dengan 568.320 rumah yang ada di Kota Bandung) dibagi 2.374.198 jiwa (populasi Kota Bandung), dikali 100.
Zaky telah mencari penjelasan soal klaim 65 persen jumlah pelanggan PDAM Kota Bandung. Singkatnya, PDAM tidak memiliki data tersebut. Pencarian angka cakupan pelayanan PDAM akhirnya terjawab melalui Buku Putih Sanitasi Kota Bandung (2010), sebuah dokumen Pokja Saniasi Kota Bandung, Pemkot Bandung.
Di dokumen tersebut tercantum data yang menerangkan masyarakat yang terlayani sambungan langsung PDAM Kota Bandung hanya 30 persen dari populasi Kota Bandung atau hanya 706.815 dari 2.374.198 jiwa penduduk Bandung. PDAM mengklaim cakupan layanan 60 persen jumlah pelanggannya dengan penjelasan bahwa 30 persen populasi terlayani sambungan langsung dan 30 persen sisanya dilayani keran umum, tangki air PDAM, dan penjual air.
“Dengan munculnya angka 30 persen yang sudah terlayani sambungan langsung PDAM, dapat kita asumsikan 70 persen atau 1.661.938 jiwa warga Kota Bandung mengalami kesulitan air bersih,” ungkap Zaky.
Sebanyak 70 persen itu kemudian menjadi peluang besar bagi bisnis penjualan air bersih. Padahal, di bab pendahuluan Zaky menegaskan bahwa air adalah bagian dari hak asasi manusia. Semua orang harus mendapat akses mudah dan murah terhadap air bersih.
Menurutnya, jika di daerah lain privatiasi didorong pemerintahnya, di Bandung privatisasi air mewujud dengan sendirinya sebagai respons atas kebutuhan air bersih. “Pasar besar yang membutuhkan air bersih itu adalah bentukan atau akibat dari kegagalan Pemerintah Kota Bandung dan juga PDAM Kota Bandung dalam memberikan akses air bersih yang adil dan murah bagi setiap warganya.”
Buku Kehausan di Ladang Air maskih relevan dengan kondisi Bandung sekarang. Dalam perayaan Hari Bumi 2021 ini, jumlah penduduk kota ini sudah mencapai 2,5 jiwa. Mereka semua membutuhkan akses air bersih setiap harinya.
Momentum Hari Bumi ialah peringatan atas kondisi lingkungan yang semakin tidak baik-baik saja. Krisis air bersih di Bandung perlu segera mendapat perhatian serius dari pemegang kebijakan.
Informasi Buku
Judul Buku: Kehausan di Ladang Air: Pencurian Air di Kota Bandung dan Hak Warga yang Terabaikan
Penuis: Zaky Yamani
Penerbit: SvaTantra bekerja sama dengan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Bandung Urbane Community, Walhi Jabar, dan FK3I Jabar
Cetakan: I, 2012