• Opini
  • Menilik Akses Air Bersih di Kota Bandung

Menilik Akses Air Bersih di Kota Bandung

Tidak semua warga Bandung mendapat askes air bersih. Mereka yang harus mengeluarkan biaya mahal untuk memenuhi kebutuhan dasar yang mestinya difasilitasi pemerintah.

Muhamad Diva Kafila Raudya

Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad).

Gedung penangkap air Cikendi buatan tahun 1921 tampak kumuh di tengah hutan kawasan Hegarmanah, Kota Bandung, Rabu (29/12/2021). Kondisinya berlawanan dengan gempita peringatan 100 tahun Gedong Cai Cibadak yang juga dibangun 1921 di Kampung Cidadap Girang, 29 Desember 2021 lalu. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

8 Januari 2022


BandungBergerak.idBandung diresmikan menjadi suatu kota di bawah pemerintahan kolonial pada 1906. Pada era kolonial, Kota Bandung dirancang dengan luas 1.299 hektar. Dengan luas tersebut, Kota Bandung dikonsepsikan untuk dihuni oleh 200 ribu jiwa. Seiring berkembangnya waktu dan pertambahan penduduk yang cukup pesat, luas Kota Bandung kian bertambah.

Pada tahun 1987, Kota Bandung diperluas hingga menjadi lebih dari 15.000 hektar (Yasmira, 2014). Mengutip laman Badan Pusat Statistik Kota Bandung (2021), penduduk Kota Bandung saat ini mencapai 2.480.464 jiwa. Selain perlu ditunjang dengan ketersediaan lahan, bertambahnya jumlah penduduk secara pesat, tentu membuat Kota Bandung perlu ditunjang oleh berbagai sarana pendukung lainnya, salah satunya air bersih.

Sejak era kolonial hingga saat ini, pengelola air bersih di Kota Bandung berganti-ganti. Pada 1916 hingga 1928, dikelola oleh Stadsgemente Water Leiding Bandung. Selanjutnya, air bersih dikelola oleh Technische Ambtenaar hingga 1943. Pada masa pendudukan Jepang, pengelolaan dipegang oleh Sui Duko. Pascakemerdekaan, pengelolaan air bersih di Kota Bandung dikelola oleh Perusahaan Air, Dinas Perusahaan Bagian B, dan Dinas Teknik Penyehatan. Hingga akhirnya pada tahun 1974, Gubernur Jawa Barat saat itu mengukuhkan dan mengesahkan PDAM Kota Bandung sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Pada tahun 2009, melalui Peraturan Daerah Kota Bandung No. 15 Tahun 2009 tentang Perusahaan Daerah Air Minum, PDAM Kota Bandung berganti nama menjadi PDAM Tirtawening Kota Bandung (2018).

Dengan adanya Perda tersebut, PDAM Tirtawening menjadi satu-satunya institusi yang diberi tanggung jawab untuk menyediakan air bersih bagi warga Kota Bandung. Hal tersebut juga sejalan dengan semangat UU Nomor 7 Tahun 2004 pasal 5 tentang Sumber Daya Air, yang menegaskan bahwa, “Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif”.

Jika di Kota Bandung pengelolaan air bersih dibebankan kepada institusi daerah, di wilayah DKI Jakarta, kebutuhan air bersih warga diserahkan kepada pihak swasta. Sejak tahun 1958, swastanisasi air di Jakarta melibatkan dua perusahaan yakni PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Briantika, 2020). Hal tersebut tentu membuat harga air menjadi mahal dan membuat warga yang memiliki tingkat ekonomi minim menjadi kesulitan untuk mengakses air bersih.

Masyarakat Kota Bandung juga hampir mengalami hal serupa dengan masyarakat DKI Jakarta. Tatkala pada 2002, Nuriana, selaku Gubernur Jawa Barat saat itu, berencana “menjual” PDAM Kota Bandung kepada salah satu perusahaan asing South Australia Water. Rencana tersebut ditolak mentah-mentah oleh PDAM Kota Bandung, bahkan Soenitiyoso, Direktur PDAM Kota Bandung saat itu, memimpin demonstrasi bersama ratusan pegawai PDAM Kota Bandung lainnya di Gedung Sate untuk menolak rencana tersebut (Hidayat, 2002).

Kembali ke Kota Bandung, PDAM Tirtawening sebagai satu-satunya instansi yang diberi tanggung jawab untuk mengelola air dengan dibiayai oleh publik, mengutip buku Laporan Pekerjaan PDAM Tirtawening (Tatabumi, 2020), pada faktanya di tahun 2019 hanya mendistribusikan air sebanyak 37 juta kubik kepada masyarakat Kota Bandung, yang kebutuhan airnya mencapai 108 juta kubik. Dengan begitu, PDAM Tirtawening hanya mampu memenuhi 34,28 persen kebutuhan air bersih masyarakat Kota Bandung. Lantas bagaimana akses terhadap air bersih bagi 65,72 persen warga kota Bandung. Sebagai suatu kebutuhan dasar, sebagian warga harus berjudi pada penggalian sumur, mengeluarkan uang lebih, atau menggunakan kran umum seperti yang dilakukan oleh warga di balik riuhnya kawasan Braga untuk memperoleh air bersih.

Air Tanah sebagai Alternatif

Air tanah menjadi salah satu alternatif bagi warga kota Bandung yang kawasannya tidak terdapat aliran dari PDAM, salah satunya kawasan Antapani Wetan. Di kawasan ini, mayoritas penduduknya mengandalkan air tanah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tetapi, bukan berarti persoalan akses terhadap air bersih selesai begitu saja. Di salah satu rumah di ujung jalan Malangbong, air yang keluar dari dalam tanah tampak berwarna gelap. Bahkan, sang pemilik rumah harus menggunakan 8 alat saring agar air dapat jernih. Itu pun tetap saja, di dalam bak air tetap terlihat kotor sehingga tak layak untuk diminum.

Kawasan kampung kota dengan kepadatan penduduk dan jalan tikus yang menjadi kekhasannya, tampaknya menjadi kawasan yang paling sering mengalami persoalan akses air bersih. Di balik hiruk-pikuk pekerja percetakan di Jalan Pagarsih, terdapat jalan kecil yang menghubungkan berbagai gang, salah satunya Gang Sukapakir. Saat ini, hampir seluruh warga Gang Sukapakir menggunakan saluran air sibel yang disediakan oleh pihak RW untuk mendapatkan air yang digunakan untuk mandi dan mencuci dengan biaya 7 ribu rupiah per kubik. Untuk keperluan masak dan minum, warga Gang Sukapakir harus mengeluarkan lagi biaya untuk membeli air ledeng yang dijual oleh penjual gerobak.

Tetapi tak semua warga Gang Sukapakir memiliki kemampuan ekonomi yang sama. Bu Ratna, salah satu warga Gang Sukapakir, masih menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Ratna dulunya merupakan salah satu pelanggan PDAM di Gang Sukapakir. Pada 2017, ia mengeluarkan uang sebesar satu juta rupiah karena dijanjikan kemudahan air yang akan terus mengalir. Tetapi kenyataan berkata lain. Air dari saluran PDAM tidak pernah mengalir, petugas PDAM pun tak pernah datang untuk membenahi masalah tersebut. Ia tak seperti warga lainnya yang mampu mengeluarkan uang untuk membayar pemasangan instalasi air sibel beserta biaya bulanannya. Ratna terpaksa menggunakan air keruh yang keluar dari sumur bor lama miliknya untuk kebutuhan mandi dan mencuci. Sedangkan untuk keperluan minum dan memasak, ia harus membeli air ke warga yang menjual air. Harapan ia hanya satu, air mengalir dengan deras, layak, dan murah.

Bergeser 3 kilometer dari Gang Sukapakir, di balik ingar-bingar hiburan di kawasan Braga, tepatnya di Gang Efendi, warga sekitar  mengandalkan pasokan air dari keran umum yang disediakan oleh salah satu hotel yang dibangun tepat di depan Gang Efendi. Keran umum tersebut merupakan bentuk tanggung jawab oleh pihak pengembang terhadap warga. Sialnya, air yang disediakan dari fasilitas keran umum tak layak dikonsumsi karena akan berubah warna menjadi hitam setelah dimasak. Dahulu, warga Gang Efendi hampir seluruhnya menggunakan air tanah untuk memperoleh air bersih. Namun, pembangunan hotel dan mal di kawasan Braga membuat air tanah tersedot semua hingga air sumur menjadi habis.

Sebagai suatu alternatif, penggunaan air tanah menjadi marak di Kota Bandung. Pada 2018, air tanah di Kota Bandung mengalami defisit hampir 4 juta kubik. Hal tersebut membuat warga yang mengandalkan air tanah harus menggali lebih dalam untuk mendapatkan air. Eksploitasi terhadap air tanah membuat kekritisan air tanah di Kota Bandung mencapai 158 persen (Marbun, et al., 2018). Hal tersebut disebabkan oleh menjamurnya hotel, mal, apartemen, dan bangunan lainnya yang menggunakan air tanah secara ugal-ugalan. Dengan tingginya eksploitasi air tanah, membuat air tanah di Kota Bandung diprediksi akan habis pada 2050 (Siswadi, 2019). Selain itu, eksploitasi air tanah membuat Kota Bandung dibayang-bayangi dengan bencana turunnya permukaan tanah yang dapat menyebabkan berbagai bencana.

Baca Juga: Data Sumber Sarana Air Minum Penduduk Kota Bandung, Pipa PDAM belum Menjangkau Seluruh Warga
Sistem Pangan dan Pertanian Indonesia Semakin Rentan, Akses Warga Kian Menciut
Krisis Air Bersih Melanda Kota Bandung

Privatisasi dan Komersialisasi Air

Dengan sebagian besar warga Kota Bandung yang tidak dialiri oleh PDAM, tentu mendapatkan respons dari para pemilik modal. Mereka memasok kebutuhan air bersih warga Kota Bandung, tentu dengan harga yang lebih mahal. Privatisasi dan komersialisasi air muncul mulai dari bentuk kecil, seperti penguasaan air oleh warga untuk kemudian dijual kembali pada warga lainnya, atau dalam bentuk lain seperti penjual air gerobak dan depot pengisian truk tangki serta air kemasan.

Di kawasan Ujung Berung, jalanan dipenuhi dengan pemandangan hilir mudik truk pengangkut air. Mereka mendatangi beberapa pangkalan pengisian air di kawasan Cigending. Kawasan Cigending memang dikenal sebagai daerah yang memiliki kekayaan air dari Bukit Manglayang. Kawasan inilah yang memasok kebutuhan para penjual air gerobak hingga depot air minum yang menjamur di Kota Bandung. Para pemilik truk membeli air seharga 40 ribu rupiah untuk sekali pengisian sebesar 6.000 liter kepada berbagai depot pengisian air yang menjamur di Cigending. Kemudian air tersebut dijual ke berbagai daerah di Kota Bandung dan sekitarnya dengan harga 200 ribu rupiah untuk memenuhi permintaan air bersih.

Meski dikenal dengan kawasan yang memiliki kekayaan air, para warga di kawasan Cigending tetap saja harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan akses air bersih. Tidak adanya aliran air dari PDAM, ditambah dengan tingginya zat besi yang tentunya mempengaruhi kualitas air tanah, membuat warga sekitar harus membeli air pada pengusaha yang memiliki depot air. Salah satu warga mengatakan bahwa ia harus mengeluarkan uang sebesar 100 ribu rupiah setiap bulannya kepada pemilik perusahaan air. Tetapi warga mengaku tidak keberatan dengan hal tersebut. Mereka merasa biaya tersebut sepadan dengan air yang bersih dan terus keluar selama 24 jam.

Di kawasan Sukahaji, warga RW 02 saat ini hampir sudah tidak ada yang menggunakan pasokan air dari PDAM. Pak Soni, Ketua RW 02, dahulu memanfaatkan aliran PDAM untuk memperoleh akses air bersih. Tetapi, pada tahun 2018, aliran air dari PDAM tak pernah mengalir kembali. Kini ia dan ratusan rumah lainnya di lingkungan RW 02, menggunakan pasokan air dari sumur artesis yang dikelola oleh salah satu warga di sana. Meski kondisi ekonominya stabil, tetapi ia agak mengeluh karena harga air kini lebih mahal daripada listrik. Ketika masih menjadi pelanggan PDAM, uang yang harus dikeluarkan untuk pembelian air rata-rata sebesar 25 hingga 35 ribu rupiah per bulan. Kini, ia harus membayar air sebesar 7 ribu rupiah per kubik, dan membuat tagihan air membengkak hingga 120 ribu per bulan. Ia juga tak menampik, bahwa warga lainnya, yang memiliki penghasilan minim, tentu merasa keberatan dengan harga air.

Berbeda dengan warga RW 02 Sukahaji, beberapa warga RW 07 Kelurahan Ciroyom, sama sekali tak pernah mendapatkan aliran air dari PDAM. Bagi beberapa warga yang kondisi rumahnya memungkinkan, mereka memasang sumur bor untuk mendapatkan air tanah. Tapi, mayoritas rumah tangga lainnya masih harus membeli air, baik yang dijual oleh tetangga, ataupun yang dijual oleh penjual air gerobak. Mereka yang membeli air dari tetangga, harus mengeluarkan 7 ribu rupiah untuk air yang mengalir selama 1 jam. Sedangkan untuk yang membeli air dari penjual gerobak, mereka harus mengeluarkan uang sebesar 3 ribu rupiah untuk mendapatkan air sebanyak 100 liter.

Sekarang bayangkan, dengan kebutuhan perorang atas air mencapai 120 liter/hari, dan dengan asumsi satu keluarga memiliki 5 anggota keluarga, berapa uang yang harus dikeluarkan untuk membeli air seharga 3 ribu rupiah per 100 liter dalam satu bulan? Dengan asumsi tersebut, satu keluarga harus mengeluarkan uang sebesar 540 ribu rupiah setiap bulannya untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih. Lalu. bagaimana akses air bersih bagi 100 ribu warga kota Bandung yang memiliki penghasilan sebesar 500 ribu per bulan?

Bagi masyarakat yang ditunjang dengan kemampuan ekonomi, tentu mengeluarkan uang lebih untuk membeli air yang lebih mahal tak terlalu menjadi masalah. Tetapi, bayangkan bagaimana masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan dan jauh dari kawasan ladang air sehingga harus membeli air dengan harga yang cukup mahal? Seolah-olah, menggunakan air adalah hal dilematis. Di satu sisi air menopang kehidupan sehari-hari, di sisi lain warga merasa keberatan untuk membeli air yang cukup mahal dengan himpitan ekonomi yang semakin membengkak.

Warga Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung, mengambil air saat krisis air bersih melanda Cekungan Bandung pada 2017. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Warga Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung, mengambil air saat krisis air bersih melanda Cekungan Bandung pada 2017. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Tak Ada Uang tak Ada Air

Perasaan dilematis untuk membeli air dirasakan oleh seorang warga Desa Mekarmanik. Meski secara administratif Desa Mekarmanik masuk ke kawasan Kabupaten Bandung, perjuangan atas air warga Desa Mekarmanik wajib untuk didengar. Konflik antar kelas untuk mendapatkan akses air bersih sangat terlihat jelas di desa ini.

Desa Mekarmanik nyaris tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah dalam hal air. Ibu Rohayati, salah satu warga Desa Mekarmanik, terpaksa menggunakan air keruh untuk mandi dan mencuci dari aliran sungai. Untuk mengebor air tanah, ia tak punya biaya untuk membayar jasa penggalian. Situasi semakin terlihat miris, tatkala 10 meter dari rumahnya, terdapat depot pengisian air tangki. Bahkan, di depan rumahnya, terdapat pipa yang mengaliri air bersih milik salah satu korporasi air kemasan.

Persoalan yang tak Pernah Usai

Persoalan mengenai air bersih nampaknya tak pernah usai. Dalam buku “Kehausan di Ladang Air” karya Zaky Yamani (2012), mengulas peliknya persoalan akses air bersih di Kota Bandung. Dalam buku tersebut, terdapat kisah salah satu warga Sindang Jaya yang harus berjalan sejauh enam kilometer untuk membelokan saluran air di selokan agar mengarah ke pemukimannya sehingga dapat digunakan oleh warga sekitar. Selain itu, banyak juga beberapa kisah warga yang merupakan pelanggan PDAM Kota Bandung tetapi airnya tidak pernah mengalir kembali, seperti yang terjadi di Jalan Rajawali dan Jamika.

Dalam buku tersebut juga diulas berbagai hal, seperti maraknya pencurian air di Kota Bandung. Pada 2009, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jawa Barat, merilis hasil audit PDAM Kota Bandung. Dalam laporan audit tersebut, tertulis bahwa PDAM Kota Bandung kehilangan air distribusi sebesar 30 juta kubik, atau sebesar 42 persen dari total volume air yang didistribusikan. Kehilangan air tersebut disinyalir disebabkan oleh maraknya pengaturan meteran air dan sambungan illegal yang diatur oleh beberapa karyawan nakal PDAM Kota Bandung. Hal tersebutlah yang membuat beberapa pelanggan PDAM Kota Bandung saat itu, airnya tidak mengalir sama sekali.

Artinya, dalam kurun waktu hampir satu dekade, sejak buku tersebut dirilis, tidak ada perubahan signifikan di tubuh PDAM Tirtawening Kota Bandung untuk melaksanakan tugasnya yakni memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat Kota Bandung.

Kolektivisasi Air: Merebut Kembali Hak atas Air

Bergeser ke kawasan utara Kota Bandung, tepatnya di bawah kawasan wisata Kuliner Punclut, terdapat mata air Seke Areng yang mampu memenuhi kebutuhan air bersih warga Desa Nyalindung. Seke Areng sudah digunakan oleh warga Desa Nyalindung sejak tahun 1990. Sebelumnya, warga Desa Nyalindung harus berjalan 6 kilometer untuk memperoleh air.      

Kawasan Utara Kota Bandung, memang menjadi kawasan eksotis bagi para pemodal. Dengan pemandangan langsung Kota Bandung ditambah udara yang dingin, membuat kawasan utara Kota Bandung diserbu oleh pemodal, mulai dari industri pariwisata hingga perumahan eksklusif, tak terkecuali lahan di mana Seke Areng terletak.

Seke Areng, terletak di tanah seluas 84 hektare yang membentangi Kota Bandung dan Kabupaten Bandung Barat. Tanah tersebut merupakan lahan bekas perkebunan Hindia Belanda. Tetapi warga sekitar telah menggarap lahan tersebut lebih dari 30 tahun.  Usaha pengalihfungsian lahan di kawasan Seke Areng sudah mulai terjadi pada tahun 2002. Sekelompok preman dan mafia tanah melakukan intimidasi terhadap warga untuk menyerahkan tanah garapan tersebut. Selain diintimidasi, warga juga merasa ditipu karena saat itu sekelompok preman dan mafia tanah menyebutkan bahwa tanah akan digunakan oleh negara. Karena, faktanya tanah tersebut akan digunakan oleh developer perumahan.

Abah Atang, begitulah warga sekitar menyebutnya. Meski sudah memasuki usia lanjut, semangatnya untuk mempertahankan Seke Areng tak pernah redup. Bersama warga lainnya, ia melakukan penghijauan di lahan sekitar Seke Areng agar debit dan kualitas air tetap terjaga. Selain untuk menjaga kualitas air, penghijauan yang dilakukan merupakan bentuk dari aktivasi lahan untuk menghalau masuknya penetrasi kapital yang berpotensi merusak lingkungan.

Selain melakukan penghijauan, dengan didampingi oleh berbagai pihak seperti Walhi Jabar, DPKLTS, dan LBH Bandung, Abah Atang dan warga lainnya juga sempat mengajukan gugatan class action terhadap developer perumahan yang mengancam kelestarian lingkungan. Namun, semangat Abah Atang dan warga lainnya dalam mempertahankan kelestarian lingkungan di kawasan Seke Areng harus dibayar cukup mahal. Kini, Abah Atang berstatus sebagai tersangka atas tuduhan melanggar UU ITE karena dianggap mencemarkan nama baik developer perumahan, ketika ia membagikan video kampanye warga yang menolak pembangunan dan kerusakan lingkungan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//