Sistem Pangan dan Pertanian Indonesia Semakin Rentan, Akses Warga Kian Menciut
Sistem pangan dan pertanian di Indonesia semakin rentan. Akses warga terhadap pangan yang sehat dan beragam pun menciut.
Penulis Delpedro Marhaen3 Januari 2022
BandungBergerak.id - Memasuki tahun kedua pandemi Covid-19, sistem pangan dan pertanian di Indonesia di sepanjang 2021 berjalan kian dekat ke titik rentannya. Akses warga terhadap pangan yang sehat dan beragam menciut.
Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menyebut, kerapuhan sistem pangan di Indonesia kian menganga akibat pagebluk. Tidak sedikit warga perkotaan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau yang menerima pengurangan jam kerja mengalami kesulitan dalam menjangkau pangan yang sehat dan beragam.
“Membayangkan dua tahun terakhir ini, terutama tahun ini karena mulai bangkit dari kondisi pandemi covid-19 harusnya memang terjadi proses penguatan nasib petani yang lebih kuat sehingga kedaulatan petani dan pangannya bisa menjadi lebih terlihat,” ujar Koordinator Nasional KRKP, Said Abdullah, dikutip dari kanal Youtube KRKP, Kamis (30/12/2021) lalu.
Kondisi sulit juga dialami oleh petani yang ada di pedesaan. Para petani padi, misalnya, saat panen raya justru mengalami kesulitan untuk menjual hasil panen dengan harga yang layak. Harga gabah anjlok di bawah harga pembelian yang telah ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan. Anjloknya harga ini ternyata disebabkan oleh sentimen pasar karena ada rencana pemerintah akan mengimpor beras pada awal tahun 2021 lalu.
“Kondisi seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Pada tahun sebelumnya, 2020 dan 2019 juga demikian. Saat itu malah sudah terjadi impor menjelang panen raya. Kejadian ini tentu melukai hati petani kita karena harga anjlok,” ungkap Said.
Merujuk pada data Global Hunger Index (GHI), alat ukur dan lacak tingkat kelaparan global, Indonesia mengalami penurunan 31 poin sepanjang tahun 2020 hingga 2021. Dari 70, peringkat Indonesia menjadi 73. Peringkat ini jauh berada di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Burma.
“Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia jadi negara dengan angka kelaparan yang cukup mengkhawatirkan, walaupun dalam kategori moderat menurut GHI. Namun kalau dilihat dari perbandingan ini, harusnya kita terpacu menjadi lebih baik,” kata Said.
Berdasarkan data tersebut, persoalan paling kuat yang dihadapi Indonesia adalah jumlah kasus stunting anak di bawah umur lima tahun. Jumlah kasus anak stunting di Indonesia berada pada penilaian kategori mengkhawatirkan. Kemudian disusul dengan persoalan jumlah kasus anak berat badan rendah yang berada pada penilaian kategori serius.
Sementara pada data ketahanan pangan tingkat global, Indonesia terus mengalami penurunan. Pada tahun 2018, Indonesia berada di peringkat ke-65, kemudian sempat naik di peringkat ke-62 pada tahun 2019. Tak berlangsung lama, di tahun berikutnya Indonesia kembali turun ke peringkat ke-65. Termutakhir, pada tahun 2021 Indonesia kembali turun ke peringkat ke-69. Serupa data sebelumnya, Indonesia masih berada di bawah Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina dan Vietnam.
Data Pangan
KRKP menilai kebijakan impor bahan pangan selama ini bukan didasarkan pada keperluan. Seperti yang terjadi pada impor beras, misalnya, keputusan dibuat justru saat pasokan sedang tinggi. Impor yang ugal-ugalan kerap terjadi karena pihak penyelenggaraan pangan, termasuk importir pangan, tidak mengacu kekuatan data.
“Data pangan kita belum satu pintu, kerap terjadi perbedaan data antarkementerian dan lembaga pemerintah. Padahal data ini menjadi basis dalam memutuskan kebijakan dan tata kelola pangan,” ungkap Said.
Menurut KRKP, mustahil memperbaiki sistem pangan yang kadung runtuh ini dalam waktu cepat di tengah kondisi daya dukung sistem pangan yang sedang menuju titik landainya. Degradasi lingkungan hidup, perubahan iklim, serta ketimpangan dan kerentanan sosial, didapuk sebagai faktor yang memperburuk dan memperberat upaya pemulihan sistem pangan ke depan.
“Kerusakan hutan dan keanekaragaman hayati, kualitas kesuburan tanah terus menurun, air untuk pertanian yang terdegradasi, cuaca ekstrim yang makin intensif, serta ledakan hama dan penyakit makin serius adalah bentuk-bentuk realitas yang kita saksikan di lapangan,” tutur Said.
Baca Juga: Jawa Barat Menghadapi Kelangkaan Petani Pangan
IPB University: Hidroponik Menjadi Solusi Ketahanan Pangan di Masa Pandemi
Data Luas Lahan Sawah di Kota Bandung 2003-2017, Setiap Tahun Rata-rata 98,5 Hektare Sawah Hilang
Upaya Mandiri
KRKP mengapresiasi usaha-usaha mandiri yang dilakukan masyarakat untuk terus mendorong perbaikan sistem pangan. Kelompok masyarakat, Sedulur Sikep di Dukuh Bombong, Desa Baturejo, Kabupaten Pati, misalnya, sangat kuat mempraktikkan nilai-nilai jawa tradisional, khususnya dalam mengelola cadangan pangan keluarga. Cadangan pangan keluarga atau yang disebut dengan lumbung merupakan sistem pangan di unit keluarga. Memegang norma dan kepercayaan, Sedulur Sikep Sedulur Sikep mengatur produksi, penyimpanan, sampai pada konsumsi pangan.
Selanjutnya, ada kisah heroik petani di Kampung Darim, Desa Kendayakan, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu dalam menghadapi perubahan iklim. Melalui sekolah lapang pertanian biointensif, para petani membalik cara dalam bertani. Jerami yang tadinya merupakan limbah disulap menjadi bahan penambah potasium yang luar biasa dan hemat biaya. Terobosan ini, selain berkaitan dengan efisiensi, juga berdampak pada pengurangan impor pertanian yang erat dengan emisi yang berpengaruh ke perubahan iklim.
Terakhir, para petani yang menerapkan standar dalam produksi beras yang lebih sehat dengan pendekatan sustainable rice platform (SRP). Lewat SRP, para petani didorong membentuk Forum Kabupaten Penghasil Beras Berkelanjutan yang menjadi ruang kolaborasi antarpihak terkait untuk dapat menciptakan ekosistem produksi-konsumsi beras yang inklusif. Dengan begitu, petani akan mendapatkan harga yang layak.
Rekomendasi KRKP
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan bahwa perbaikan situasi pangan ini harus dilakukan secara tersistem, masif, dan bersama-sama. Pemerintah harus segera memulai dengan serius dan tidak bisa sendiri. Persoalan pangan tidak bisa dilakukan secara sektoral dan tebang pilih.
Di akhir catatan kedaulatan pangan 2021, KRKP memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah:
Pertama, dibentuknya satu data pertanian yang terintegrasi, dan dikelola secara inklusif, transparan dan akuntabel. Data ini juga harus bisa dimanfaatkan para pihak secara adil, baik dalam proses pemakaian pengambilan kebijakan maupun pemanfaatan untuk mendukung tata-kelola pangan secara inklusif.
Kedua, Badan Pangan Nasional (Bapanas) bisa memfokuskan pada pembenahan pengelolaan data pangan sebagai agenda pertama kerja badan baru ini. Badan baru ini harus menjadi pelopor bagi pembenahan tata kelola transformasi sistem pangan dan mendukung cita-cita kedaulatan pangan di Indonesia.
Ketiga, kebijakan penguatan resiliensi sistem pangan komunitas. Penguatan resiliensi sistem pangan harus memperhatikan konteks dan karakteristik sosial-kultural masyarakat Indonesia yang beragam.
Keempat, untuk mendukung resiliensi sistem pangan, Pemerintah penting untuk mengembangkan prinsip dan indikator perberasan berkelanjutan, mendorong tumbuhnya inovasi dan kolaborasi lintas pihak dan memfasilitasi Forum Kabupaten Penghasil Beras Berkelanjutan.