NGULIK BANDUNG: Kasepuhan Ciptagelar, Merangkul Teknologi dan Mewujudkan Kemandirian Pangan (Bagian 4)
Di Kasepuhan Ciptagelar, nilai adat dan kemajuan teknologi sama-sama dirangkul, dihidupi. Tercipta kemandirian pangan bagi 30 ribu warganya hingga 90 tahun ke depan.
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
10 Maret 2022
BandungBergerak.id – Sejauh mata memandang, hamparan hijau dengan jajaran ribuan leuit atau lumbung padi menjadi ciri khas wilayah negeri ini. Dua puluh delapan leuit yang berada di kawasan utama Kasepuhan ini, menjadi batas antara persawahanan dan perkampungan. Jajaran leuit tersebut membentuk formasi sebuah benteng, yang berjajar diletakkan lebih tinggi dari area pemukiman warga, seakan menjadi simbol dari sistem ketahanan pangan bagi warganya.
Kasepuhan Ciptagelar yang terletak di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, Kabupaten Sukabumi, memiliki wilayah seluas 4.096 hektare yang secara administrati mengiris Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Bogor. Keseluruhan wilayahnya memang masih berupa hutan, atau leuweung dalam bahasa Sunda.
Lalu bagaimana masyarakat Kasepuhan tersebut dalam upaya mengembangkan kehidupan sosial serta ekonominya, di dalam kawasan yang masih sangat terpencil tersebut?
Pembagian Wilayah Tata Kelola Hutan
Secara adat Kasepuhan Ciptagelar membagi wilayah yang masih berupa hutan dalam tiga kawasan yaitu, kawasan Leuweung Titipan, Leuweung Tutupan, dan Leuweung Bukaan. Kawasan Leuweung Titipan adalah sebuah kawasan hutan lindung yang keberadaannya tidak boleh diganggu atau dimanfatkan sama sekali, termasuk oleh warga kasepuhan sendiri. Apabila melanggar hukum yang berlaku adalah hukum negara dan hukum adat. Wilayah hutan titipan ini sebanyak 50 persen dari keseluruhan wilayah Kasepuhan Ciptagelar.
Setelah Leuweung Titipan, sebanyak 30 persen dari wilayah Kasepuhan Ciptagelar, adalah sebagai Leuweung tutupan atau hutan adat yang dapat dimanfaatkan secara terbatas oleh warganya, seperti memanfaatkan hasil hutan non kayu. Setelah kedua jenis hutan tersebut, yang terakhir adalah Leuweung Bukaan, atau hutan garapan. Leuweung Bukaan, meliputi 20 persen dari keseluruhan wilayah Kasepuhan, yang dibagi menjadi dua, sebesar 10 persen sebagai lahan pemukiman dan 10 persen terakhir sebagai wilayah untuk bercocok tanam yang meliputi ladang atau huma dan persawahan.
Dalam mengatur serta menjalankan kehidupannya masyarakatnya, Abah Ugi menekankan prinsip Pancer Pangawinan yang berarti dua sisi yang saling bertentangan digabungkan hingga menghasilkan sesuatu yang positif. Abah Ugi menilai, teknologi bukanlah sesuatu yang harus dijauhi, namun harus dipilah serta dipilih mana adat yang harus tetap dipertahankan sesuai dengan kaidah hukum serta amanat leluhur dan mana teknologi yang harus diambil dalam rangka memberikan keseimbangan antara tradisi dan zaman yang terus berubah ini.
Salah satu contoh yang luar biasa dan telah dilakukan oleh kasepuhan Ciptagelar, adalah bagaimana mereka merawat dan menjaga hutan-hutan mereka. Dengan pembagian wilayah hutan yang dapat dijamah dan tidak sama sekali, rupanya memiliki nilai positif yang sangat luar biasa bagi kehidupan warganya. Karenanyalah, Kasepuhan Ciptagelar memiliki sumber air yang sangat baik hingga dapat dialirkan tidak saja untuk mengairi persawahan mereka, namun juga mampu menggerakan turbin-turbin yang dibuat atas prakarsa Abah Ugi, sehingga Kasepuhan ini memiliki kemandirian dalam memperoleh energi listrik dengan sistem micro hydro dengan memanfatkan energi matahari.
Maka, tak heran sebuah pemukiman adat nan terpencil di puncak gunung, dengan masyarakat yang sangat kuat menggenggam adat serta tradisi para karuhun, namun mereka memiliki kehidupan yang sama dengan masyarakat perkotaan. Ya, kasepuhan Ciptagelar adalah sebuah kampung adat yang tak lagi canggung dengan alat-alat modern seperti televisi, mesin cuci, lemari pendingin, bahkan mereka memiliki stasiun Radio dan Televisi lokal mereka sendiri!
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Makna Rorokan dan Filosofi Arsitektur Rumah Adat di Kasepuhan Ciptagelar (Bagian 3)
NGULIK BANDUNG: Belajar dari Kasepuhan Ciptagelar, Sejarah dan Tugas yang Diemban (Bagian 2)
NGULIK BANDUNG: Belajar dari Negeri Beribu Leuit, Kasepuhan Ciptagelar (Bagian 1)
Sistem Kepemilikan Tanah
Dalam tata ruangnya, Kasepuhan Ciptagelar memiliki sistem kepemilikan lahan bersama. Setiap keluarga memiliki lahan garapannya sendiri yang tidak boleh diperjual belikan karena statusnya bukan sebagai hak milik pribadi, melainkan sebagai tanah adat. Tidak ada sertifikat yang mengikat setiap lahan, setiap warga bertanggung jawab terhadap lahan garapannya masing-masing. Warga dapat memanfaatkan lahan garapannya tersebut sebagai lahan untuk bertani.
Setiap warga yang mengelola lahan pertaniannya, bebas menggunakannya sebagai lahan persawahan untuk menanam padi, atau berupa ladang atau huma yang dapat ditanami dengan berbagai bibit tanaman selain padi. Walaupun lahan adat tersebut tidak diperjual belikan, namun pengelolaan lahan dapat berpindah tangan kepada sesama warga Kasepuhan, dengan cara memberikan sejumlah uang pengganti sebagai kompensasi karena telah merawat tanah serta tanaman yang tumbuh di atas lahan terebut.
Aktivitas Ekonomi Masyarakat
Sama seperti masyarakat pada umumnya, masyarakat di Kasepuhan Citagelar pun melakukan aktivitas ekonomi agar dapat mempertahankan hidupnya. Banyak profesi yang dijalankan oleh warganya untuk dapat berpenghasilan. Sebagian warga ada yang berprofesi sebagai pedagang, peternak, buruh ataupun pegawai. Seperti yang saya saksikan sendiri, banyak sekali warga yang menekuni profesi sebagai pengrajin souvenir khas Kasepuhan Ciptagelar seperti tas kaneron, gelang simpay, ataupun pengrajin gula aren.
Begitu banyak profesi yang dijalani oleh warga masyarakat Kasepuhan Citagelar, namun rupanya profesi tersebut hanya dijalankan oleh sebagian kecil warga, atau mereka melakukan kegiatan-kegiatan tersebut hanya sebagai upaya untuk menambah penghasilan saja. Warga di kampung ini mayoritas memiliki aktivitas utama sebagai petani, khususnya yang tinggal di kawasan Nasional Gunung Halimun. Bagi masyarakat kasepuhan ciptagelar bertani bukanlah sebagai mata pencaharian, pesepsi yang tertanam dalam benak setiap warga negeri ini, bertani adalah kehidupan itu sendiri.
Selain membuat barang-barang kerajinan untuk dijual kepada pengunjung, sebagai mata pencaharian, warga Kasepuhan Citagelar menanam aneka tanaman seperti sayur mayur, buah-buahan dan tanaman palawija yang dapat ditanam 6 bulan diluar musim tanam padi, yang ketika panen hasilnya dapat dijual. Selain itu terdapat tanaman yang kini sedang dikembangkan oleh pemimpin adat mereka, abah ugi yaitu tanaman kopi, sehingga kini merek memiliki satu produk khas asli Kaepuhan, yaitu Kopi Ciptagelar.
Makna Beras, Sistem Pertanian, dan Kemandirian Pangan
Masyarakat kampung adat Ciptagelar umumnya menjalani kehidupan sebagai petani, yang menjalankan pola pertanian secara tradisional. Sistem pertanian yang berbasis adat dikembangkan secara turun temurun di negeri yang indah ini. Di tangan Abah Ugi, sistem pertanian ini tidak hanya sekedar dipertahankan namun dijalankan dengan sangat serius dan penuh tanggung jawab. Bagi pemuda ini, mengembangkan sistem pertanian semacam ini bukanlah sebuah keistimewaan, namun tanggung jawab yang harus diemban.
Dalam menjalankan sistem pertanian tradisional semacam ini, terdapat ilmu astronomi yang harus dikuasai dengan sangat baik. Kasepuhan Ciptagelar secara turun temurun selama beratus-ratus tahun, memegang Bintang Kerti dan Tidar sebagai acuan untuk bercocok tanam.
“Bila posisi kedua bintang tersebut sudah lurus dengan kita, artinya sudah saatnya kita menanam” kata kang Yoyo, Juru Bicara Kasepuhan Ciptagelar.
Masyarakat Indonesia pada umumnya menanam padi sebanyak tiga sampai empat kali dalam satu tahun, namun tidak bagi masyarakat adat Ciptagelar. Bagi mereka, sesuai dengan ketentuan adat, menanam padi cukup satu tahun sekali dan hasil setelah panen nanti dilarang untuk diperjualbelikan. Menurut Kang Yoyo, bagi masyarakat adat Ciptagelar, padi itu adalah kehidupan, jadi bila seseorang menjual padi atau turunannya, ibarat menjual kehidupan itu sendiri.
“Bicara tentang hidup artinya bicara mengenai nyawa. Maka menjual padi atau beras analoginya seperti menghilangkan nyawa” ujar pria kharismatik itu sekali lagi.
Bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, uang tidaklah ditempatkan sebagai nilai tukar utama. Pemilik modal tidak akan dapat membeli beras, yang artinya sekaya apapun seseorang tidak akan mampu membeli kehidupan di Kasepuhan ini. Implikasinya adalah, kehidupan sosial menjadi lebih egaliter tanpa struktur dominasi yang ditetukan oleh para pemilik modal.
Dengan demikian, tak heran bila masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, yang panen hanya satu kali setiap tahun, tetapi memiliki ketahanan pangan yang sangat baik. Kasepuhan Ciptagelar dikatakan sangat berhasil dalam memproduksi pangan mereka secara mandiri. Mereka memiliki persediaan pangan hingga 90 tahun ke depan, bagi 30 ribu warganya, yang tersimpan di dalam lumbung-lumbung padi milik mereka.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman