NGULIK BANDUNG: Makna Rorokan dan Filosofi Arsitektur Rumah Adat di Kasepuhan Ciptagelar (Bagian 3)
Memimpin Kasepuhan Ciptagelar, Abah Ugi Sugriana Rakasiwi dibantuk oleh 'kabinet' yang disebut rorokan. Tidak dipilih, penentuannya berdasarkan garis keturunan.
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
3 Maret 2022
BandungBergerak.id- Kampung Gede Ciptagelar, yang terletak di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, merupakan pusat pemerintahan dari kasepuhan yang telah berdiri sejak tahun 1368 Masehi. Seperti yang telah saya paparkan dalam artikel sebelumnya, bukanlah suatu kebetulan kampung ini ditetapkan sejak tahun 2001 ini sebagai pusat pemerintahan yang ke-19. Kampung adat ini, dalam ngalalakon atau melaksanakan tugasnya memang selalu berpindah-pindah sesuai dengan perintah para karuhun.
Apabila dianalogikan pada sebuah negara, presiden sebagai pemimpin dalam menjalankan roda pemerintahannya dibantu oleh para menteri dalam kabinet yang dipilihnya. Begitu pula dengan Kasepuhan Ciptagelar. Membawahi 568 kampung yang merupakan bagian dari kesatuan adat Banten Kidul, kasepuhan ini juga memiliki sistem pemerintahan. Abah Ugi Sugriana Rakasiwi sebagai ketua adat, dalam menjalankan tugasnya, dibantu oleh “kabinet” yang disebut Rorokan.
Rorokan sebagai Kabinet Kasepuhan Ciptagelar
Menurut Yoyo Yogasmana, Humas Kasepuhan Ciptagelar, rorokan berasal dari kata rorok (orok) yang berarti bayi. Rorokan dianalogikan sebagai bayi yang dipelihara, diadopsi atau dikelola dari masa ke masa, dari generasi ke generasi. Begitu pun dengan kabinet pimpinan Abah Ugi tersebut. Pembagian kerja berdasarkan kemampuan serta kompetensinya diwariskan secara turun-temurun.
Berdasarkan pembagian tugasnya, terdapat tujuh rorokan yang memiliki fungsi masing-masing dan bertanggung jawab langsung kepada abah sebagai ketua adat yang memimpin Rorokan Jero. Adapun ketujuh rorokan tersebut adalah Rorokan Padukunan yang bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan ritual-ritual adat, Rorokan Pamakayaan yang bertugas mengurusi segala sesuatu yang berhubungan dengan pengairan beserta salurannya, Rorokan Paninggaran, Rorokan Bengkong jeung Indung Beurang atau dukun beranak dan dukun sunat, Rorokan Panghulu yang bertanggung jawab untuk menikahkan warga, Rorokan Panahaban yang bertanggung jawab terhadap kebersihan, Rorokan tatabeuhan yang mengurusi segala hal yang berkaitan dengan alat-alat musik tradisional yang biasa digunakan setiap adanya acara ataupun ritual, dan yang terakhir adalah Rorokan Pangabasan yang memiliki tugas atau bertanggung jawab terhadap pendirian rumah-rumah adat.
Berbeda dengan cara pemilihan anggota kabinet pada sebuah lembaga yang bernama negara, yang biasanya dilakukan dengan sebuah cara sistematis yang dinamakan pemilihan umum, menurut Kang Yoyo, di Kasepuhan Ciptagelar, pemilihan Rorokan yang ditugaskan untuk menjalankan titipan para karuhun ini harus dijalankan sesuai dengan adab yang berlaku pada hukum adat. Seseorang yang menjadi rorokan adalah orang-orang tertentu yang di dalam dirinya mengalir darah yang diwariskan secara turun-menurun menjalankan tugas yang sama, atau memiliki garis keturunan langsung dari “pejabat” sebelumnya.
Sebagai contoh, seorang Abah yang merupakan ketua adat Kasepuhan, bila yang bersangkutan berpulang maka anak laki-laki pertama secara otomatis harus mengemban tugas yang sama sebagai Abah walaupun usianya masih muda. Hal ini seperti yang terjadi pada Abah Ugi Sugriana Rakasiwi, yang memimpin kasepuhan pada usia 23 tahun, karena ayahnya Abah Encup Sucipta, berpulang pada tahun 2007.
Serupa dengan turun-temurunnya “jabatan” seorang Abah, begitu pula dengan para rorokan. Setiap anak pertama yang menjadi keturunan rorokan sebelumnya harus memiliki kesadaran penuh sebagai tapak lacak atau penerus tugas orang tua mereka. Bila Rorokan sebelumnya adalah lelaki maka anak lelaki pertamalah yang harus melanjutkan tugasnya, begitu pun bila Rorokan sebelumnya adalah perempuan seperti Rorokan Indung Beurang atau dukun beranak, maka anak perempuan pertama dari rorokan tersebutlah yang harus melanjutkan tugasnya.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Belajar dari Kasepuhan Ciptagelar, Sejarah dan Tugas yang Diemban (Bagian 2)
NGULIK BANDUNG: Belajar dari Negeri Beribu Leuit, Kasepuhan Ciptagelar (Bagian 1)
Rumah Adat di Kasepuhan Ciptagelar
Salah satu yang menarik dan membuat saya kagum ketika pertama kali menginjakkan kaki di Kasepuhan Ciptagelar adalah bangunan-bangunan yang berdiri. Tampak serupa dan sebangun. Rumah-rumah panggung berdinding bilik bambu dan beratap khas itu, didirikan tentu tak lepas dari aturan adat yang digenggam sangat kuat oleh warganya. Di Kasepuhan Ciptagelar, segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan warga telah diatur sedemikian rupa, termasuk dalam mendirikan rumah yang merupakan tanggung jawab dari salah satu Rorokan, yaitu Rorokan Pangabasan.
Rumah di Kasepuhan Ciptagelar, didirikan harus mengikuti bentuk Tihang Cagak Hateup Salak, yang berarti memiliki tiang yang lurus dan memiliki atap dari ilalang, yang ditumpuk rapi sedemikian rupa menyerupai kulit salak. Rumah-rumah tersebut memiliki filosofi seperti tubuh manusia yaitu, batu umpak sebagai dasar atau kaki, kolong diibaratkan sebagai selangkangan, ruangan yang ditempati oleh penghuninya sebagai beuteung atau perut sebagai tempat untuk hidup, para atau kayu penyangga atap sebagai pundak, dan hateup atau atapnya sendiri sebagai kepala.
Secara garis besar rumah di Kasepuhan Ciptagelar terdapat dua jenis. Yang pertama adalah rumah Abah sebagai ketua adat, dan yang kedua adalah rumah warga. Yang membedakan kedua jenis rumah ini, tidak saja dari segi ukuran serta material yang digunakan, namun juga fungsi. Rumah Abah sebagai ketua adat memiliki ukuran yang jelas lebih besar dengan empat bagian yang meliputi Imah Gede, Pawon, Imah Tihang Awi, dan Imah Tihang Kalapa.
Imah Gede yang berarti rumah besar dalam bahasa Sunda, merupakan bagian rumah Abah yang paling besar. Dalam Imah Gede, terdapat ruangan yang luas yang biasa digunakan oleh Rorokan serta warga untuk bermusyawarah dan mengadakan ritual. Di dalam Imah Gede ini pula tamu diperkenankan untuk masuk, bahkan disediakan tempat untuk menginap. Dan di bagian belakang rumah terdapat pawon yang berfungsi sebagai dapur komunal warga Kasepuhan Ciptagelar yang setiap harinya memasak dalam jumlah besar, bagi warga dan tamu yang datang.
Selain Imah Gede dan Pawon, terdapat Imah Tihang Awi yang berarti Rumah Tiang Bambu dalam bahasa Sunda, yang merupakan tempat tinggal Abah beserta keluarganya sehari-hari. Rumah satu ini bersifat privat yang artinya tidak dapat dimasuki oleh orang selain keluarga inti. Selain Imah Tihang awi yang bersifat privat, terdapat rumah lain yang memiliki sifat semi privat, yaitu Imah Tihang Kalapa. Imah Tihang Kalapa yang berarti Rumah Tiang Kelapa dalam bahasa sunda, adalah bagian rumah lain yang biasa ditempati oleh Abah sendiri, namun kadang dapat dimasuki oleh orang yang memiliki tujuan tertentu, seperti tamu yang akan Tumpang Seupah Nyarita Datang, atau menemui Abah secara khusus dalam rangka meminta izin untuk masuk ke wilayah Kasepuhan.
Tahan Gempa Bumi dan Selaras dengan Lingkungan
Seperti yang telah saya paparkan di atas, Rumah Adat di Kasepuhan Ciptagelar dibagi menjadi dua jenis yaitu, Rumah Abah dan Rumah Warga. Rumah Abah memang memiliki material yang berbeda dengan rumah warga biasa. Imah Tihang Awi dan Imah Tihang Kalapa memiliki bahan penyangga dari batang pohon kelapa dan bambu yang berdiri tegak ke atas, yang tidak dapat dijumpai pada rumah warga biasa. Hal tersebut rupanya memiliki filosofi yang menunjukkan bahwa Abah sebagai pemimpin adat memiliki hubungan vertikal langsung ke atas, kepada para leluhurnya sekaligus menjadi perantara antara warga dan para leluhurnya.
Walaupun memiliki sedikit perbedaan pada struktur, material dan filosofi dengan rumah warga, namun banyak persamaan yang menjadi hukum adat yang berlaku mutlak di Kasepuhan ini. Keseluruhan bangunan di Kasepuhan Ciptagelar memiliki struktur berupa rumah panggung yang sama-sama berdinding bilik bambu dengan atap daun kirai atau rumbia yang dianalogikan sebagai tubuh seorang manusia, yaitu batu umpak sebagai kaki, ruangan yang ditempati sebagai perut, tiang penyangga sebagai bahu dan atap sebagai kepala.
Struktur rumah adat yang berupa rumah panggung bisa dikatakan sangat unik. Dengan material berupa bambu sebagai tiang-tiang penyangga, serta dinding dari anyaman bambu, membuat struktur rumah semacam ini sangat fleksibel dalam mengikuti gaya gerak apabila terjadi gempa bumi. Sehingga tak heran, bila masyarakat adat melihat ini sebagai sebuah kebajikan serta kebijakan para karuhun dalam menata dan menetapkan struktur rumah yang hingga kini mereka pertahankan.
Dengan struktur rumah semacam ini, alih-alih lari berhamburan keluar rumah sambil mencari tanah lapang, seperti kebanyakan masyarakat lain saat terjadi gempa bumi, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, justru masuk ke dalam rumah dalam upaya mereka mencari perlindungan. Mereka sangat percaya bahwa rumah mereka dapat menjadi pelindung terbaik dari hal-hal buruk yang dapat terjadi di luar rumah saat gempa bumi terjadi.
Aturan adat yang berlaku dalam Ngadegkeun Imah atau mendirikan rumah di Kasepuhan Ciptagelar, ternyata memiliki makna yang sangat mendalam. Selain memiliki struktur rumah panggung yang tanah terhadap gempa, ternyata kolong di bawah rumah panggung pun memiliki makna yang sangat unik. Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, menolak mendirikan rumah dengan menggali fondasi, karena mereka meyakini hal tersebut akan mematikan kehidupan di bawah tanah, alias membunuh kehidupan makhluk yang hidup di dalam tanah. Membunuh adalah dosa yang sangat besar, sehingga mereka meyakini rumah yang didirikan dengan mematikan sebuah kehidupan, tidak akan memberi keberkahan bagi manusia yang hidup di atasnya.
Tak kalah unik dengan makna kolong pada rumah panggung, ternyata atap rumah pun menjadi perhatian yang sangat dalam bagi mereka. Ada alasan mengapa masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar tidak menggunakan genting sebagai atap rumah mereka. Genting yang biasa digunakan oleh masyarakat perkotaan, menggunakan tanah liat sebagai material pembuatannya. Sedang tanah bagi manusia adalah tempat pembaringan terakhirnya ketika wafat alias dikubur. Maka bagi masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, dengan menggunakan genting tanah di atap rumah mereka, tak ubahnya bagai mengubur orang yang masih hidup atau menganggap rumah yang beratap genting tanah, seperti kuburan tempat bagi orang yang telah wafat.
Kasepuhan Ciptagelar sekali lagi memberi saya ilmu dan hikmah tentang kehidupan.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman