• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Belajar dari Kasepuhan Ciptagelar, Sejarah dan Tugas yang Diemban (Bagian 2)

NGULIK BANDUNG: Belajar dari Kasepuhan Ciptagelar, Sejarah dan Tugas yang Diemban (Bagian 2)

Pusat pemerintahan Kasepuhan Ciptagelar sudah belasan kali berpindah. Kini pun isyarat untuk menempati tempat baru sudah diterima. Tinggal menunggu waktu.

Merrina Listiandari

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman

Imah Gede kompleks bangunan yang membentuk mirif huruf U merupakan pusat pemerintahan sekaligus kediaman pribadi ketua adat Kasepuhan Ciptagelar. (Foto Koleksi Pribadi Merrina Listiandari)

24 Februari 2022


BandungBergerak.id–Hari ke dua keberadaan kami di kampung adat ini, disambut oleh rintik hujan yang membasahi tanah kasepuhan Ciptagelar. Wangi tanah basah bercampur bau asap yang berasal dari hawu, atau tungku tanah dalam bahasa sunda, membuat lengkap suasana perdesaan yang masih kental. Betah sekali rasanya, duduk di pawon rumah milik Humas merangkap Juru Bicara Adat Kasepuhan, Kang Yoyo Yogasmana, beserta istrinya, Ibu Umi Kusumowati. Pawon tersebut berfungsi sebagai dapur sekaligus tempat berkumpul sambil menerima tamu.

Saya masih mengingat percakapan beberapa hari sebelum berangkat ke kasepuhan adat ini, bersama Bapak Titi Bachtiar, seorang ahli Geografi, penulis buku best seller Bandung Purba, yang juga adalah guru bagi saya. Ada hal yang beliau sampaikan saat itu, “Pelajari dan resapi apa yang ada di sana”. Dengan keyakinan bahwa setiap tempat, terutama kawasan dengan masyarakat yang masih sangat kental memegang adat serta tradisi, pasti memiliki banyak local wisdom yang dapat saya jadikan pembelajaran dalam hidup. Maka ketika beliau memberikan pesan tersebut, tanpa banyak berpikir saya menjawabnya dengan dua kata pendek “Siap, Pak”. Ya, saya siap untuk belajar.

Seperti yang saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya tentang Kasepuhan Ciptagelar, saya tidak memiliki banyak ekspektasi, ketika berangkat. Sehingga saya lebih memilih untuk mengikuti alurnya saja dan menikmatinya dalam diam. Satu saja yang saya inginkan saat itu, saya ingin mendengar suara “alam”. Rupanya keinginan saya didengar Tuhan dan saya benar-benar menikmati segala sesuatu yang saya dengar di kampung adat tersebut. Tidak hanya sekedar suara hewan malam, bahkan diskusi-diskusi panjang saya bersama Kang Yoyo pun saya rasakan sebagai suara alam yang penuh dengan ilmu dalam menyikapi kehidupan.

Ruangan paling besar di Imah Gede yang biasa diperguankan para Rorokan berkumpul dan membicarakan segala kepentingan adat. (Foto Koleksi Pribadi Merrina Listiandari)
Ruangan paling besar di Imah Gede yang biasa diperguankan para Rorokan berkumpul dan membicarakan segala kepentingan adat. (Foto Koleksi Pribadi Merrina Listiandari)

Makna Kasepuhan

Menurut Kang Yoyo Yogasmana, kata Kasepuhan, merujuk pada asal kata, ka-sepuh dan an sebagai imbuhan. Kata ka dalam bahasa Sunda berarti ke atau menunjukkan destinasi. Sepuh artinya adalah orang tua, atau yang di tuakan sehingga menjadi panutan. “Maka kata Kasepuhan bagi masyarakat adat Ciptagelar, dapat dipahami sebagai tempat di mana sepuh atau orang yang di tuakan tersebut berada, dan ke tempat itulah kami datang dan dari tempat itulah kami akan pergi,” kata dia.

Kampung Cikarancang, merupakan pusat dari 568 perkampungan yang tersebar di wilayah yang meliputi Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi. Pemimpin dari seluruh wilayah tersebut, yaitu Abah Ugi Sugriana Rakasiwi, tinggal di kampung ini. Maka, kampung tempat tinggal ketua adat atau orang yang dituakan itulah yang menjadi kampung gede, sekaligus pusat pemerintahan, yang selanjutnya dinamakan Kasepuhan Ciptagelar.

Masih kata Kang Yoyo, Kasepuhan Ciptagelar ini tidak menutup pintu bagi siapa pun yang datang. Baik bagi warga yang menjadi bagian dari kesatuan adat Banten Kidul, ataupun bagi masyarakat umum dari seluruh Indonesia ataupun mancanegara, selama seluruh pendatang mematuhi hukum adat yang berlaku di Kasepuhan Ciptagelar. Adapun yang paling pertama dan utama ketika memasuki wilayah adat, seluruh tamu yang datang harus menemui bagian penerimaan tamu, yang selanjutnya akan diantar oleh bagian tersebut untuk meminta izin masuk wilayah kampung gede Ciptagelar, yang disebut sebagai nyarita datang pada Abah sebagai ketua adat.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Belajar dari Negeri Beribu Leuit, Kasepuhan Ciptagelar (Bagian 1)
NGULIK BANDUNG: Kisah Keluarga Ursone, dari Pemusik Hingga Menjadi Juragan Susu di Bandung (1)
NGULIK BANDUNG: Kisah Keluarga Ursone, dari Pemusik hingga Menjadi Juragan Susu di Bandung (2)

Abah Ugi Sugria Rakasiwi sebagai pemimpin adat sekaligus pemimpin Rorokan Jero Kasepuhan Ciptagelar. (Foto Koleksi Pribadi Merrina Listiandari)
Abah Ugi Sugria Rakasiwi sebagai pemimpin adat sekaligus pemimpin Rorokan Jero Kasepuhan Ciptagelar. (Foto Koleksi Pribadi Merrina Listiandari)

Kasepuhan Berpindah Berdasarkan Wangsit

Dalam diskusi bersama Kang Yoyo Yogasmana dan kawan-kawan seperjalanan saya, di pawon kediaman Kang Yoyo yang sangat nyaman, akhirnya saya mengetahui bahwa Kasepuhan Ciptagelar yang membawahi sebanyak 568 kampung di bawahnya, bukanlah Kasepuhan yang letaknya terus menetap. Setidaknya semenjak tahun 1368, Kasepuhan ini telah mengalami perpindahan letak pusat pemerintahan sebanyak 19 kali.

Kasepuhan sendiri memiliki lakon atau mengemban tugas yang merupakan amanat dari para karuhun atau leluhur sejak tahun 1368 tersebut. Termasuk perintah untuk berpindah, yang disampaikan kepada Abah sebagai pemimpin adat, melalui wangsit yang diterimanya. Maka ketika tahun 2001 Abah Encup Sucipta, mendiang ayah Abah Ugi, setelah melalui proses ritual, mendapatkan wangsit untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Gunung Karancang.  Pada akhirnya jadilah Kampung Cikarancang, yang menjadi Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar sekarang.

Kepindahan Kasepuhan pada tahun 2001 tersebut, otomatis mengganti nama Kasepuhan yang sebelumnya bernama Kasepuhan Ciptarasa. Setiap nama yang disematkan dari setiap pemindahan pusat pemerintahan tersebut, bukanlah tanpa arti. Ciptarasa memiliki makna merasakan apa yang menjadi pesan atau titipan yang harus diemban oleh Abah sebagai pemimpin adat. Maka ketika wangsit yang diterima pada tahun 2001, Abah Encup menerima perintah dan memutuskan untuk mengganti nama kasepuhan dari Ciptarasa ke kasepuhan Ciptagelar.

Tugas yang Diemban Kasepuhan Ciptagelar

Nama Ciptagelar, tidak hanya sekedar memiliki arti. Tetapi juga memiliki makna mendalam yang dipercaya sebagai tugas untuk ngalalakon atau melakoni apa yang disampaikan oleh leluhur kepada Abah Encup yang dikenal juga dengan nama Abah Anom, pemimpin Kasepuhan saat itu.

Terdapat dua kata yaitu cipta dan gelar. Menurut Kang Yoyo, secara linguistik kata gelar memiliki arti memperlihatkan atau menunjukkan. Dengan mengemban tugas atau lakon yang dijalankan saat ini, kasepuhan memiliki misi untuk menggelarkan kembali, atau memperlihatkan tatanan tradisi yang di wariskan oleh para karuhun.

Tujuannya untuk untuk bersama-sama mengenal kembali tatanan adat istiadat serta tradisi yang selama ini dijaga, setidaknya bagi warga kasepuhan sendiri. Sedangkan bagi siapa pun yang ingin mengenal Kasepuhan Ciptagelar, diharapkan apa yang sedang digelarkan oleh kasepuhan ini menjadi informasi bagi masyarakat di luar kasepuhan. 

Abah Ugi Sugria Rakasiwi ketika menerima tamu saat Nyarita Datang atau Nyarita Pulang. (Foto Koleksi Pribadi Merrina Listiandari)
Abah Ugi Sugria Rakasiwi ketika menerima tamu saat Nyarita Datang atau Nyarita Pulang. (Foto Koleksi Pribadi Merrina Listiandari)

Berpindah Pusat Pemerintahan Lagi

Obrolan santai penuh gizi bersama Kang Yoyo pagi itu, saya lanjutkan lagi pada malam hari setelah seluruh rangkaian kegiatan hari itu tuntas dijalani. Saya masih penasaran dengan pemindahan pusat pemerintahan yang konsisten telah dijalankan selama 19 kali, dalam 653 tahun terakhir.

Bila tahun 2001 kasepuhan berpindah di tempat yang saya kunjungi saat itu, apakah ada kemungkinan kasepuhan pun akan mengalami perpindahan lagi di masa yang akan datang?

Pria kharismatik itu menjawab rasa penasaran saya, “Oh iya, setiap pemindahan tersebut, sifatnya hanya sementara saja, tergantung dari wangsit yang diterima oleh Abah”.

Dari penjelasan kang Yoyo, rupanya saat ini Kasepuhan pun sudah menerima perintah baru. Setelah Abah Encup berpulang pada tahun 2007, tampuk kepemimpinan maka otomatis dijalankan oleh putra pertama beliau, yang menjadi Abah saat ini, yaitu Abah Ugi Sugriana Rakasiwi. Sama seperti ayahnya, Abah Ugi Sugriana Rakasiwi pun menerima wangsit dari karuhun bahwa sudah saatnya kasepuhan ngalalakon, atau menjalankan tugas yang memiliki visi misi baru dari leluhur. 

Dengan wangsit yang diterima oleh Abah Ugi, artinya kasepuhan sudah harus berpindah lagi. Lalu, di manakah tempat selanjutnya kasepuhan harus melakoni atau menjalankan tugas yang baru dari para karuhun?

Ternyata bersamaan dengan wangsit ngalalakon tersebut yang diterima Abah, di saat yang sama pula informasi mengenai lokasi yang baru pun diterima. Saat ini kasepuhan dalam upaya melakukan persiapan dengan membangun tempat yang telah “terpilih” tersebut. Mengenai kapan kepindahan tersebut dilaksanakan, saat ini, kasepuhan dalam hal ini Abah Ugi masih menunggu perintah dari para karuhun. 

Hanya Warga Tertentu yang Wajib Ikut Pindah

Mendengar penjelasan Kang Yoyo tentang kasepuhan yang sewaktu-waktu bisa berpindah letak pusat pemerintahannya, maka tak heran bila melihat struktur bangunan di Kampung Gede Ciptagelar dibuat tidak permanen. Hal tersebut bisa jadi, agar memudahkan mereka untuk berpindah kapan pun Abah menerima perintah. Namun ada lagi pertanyaan yang memenuhi benak saya, apakah seluruh warga kampung gede pun harus ikut, bila perintah tersebut datang?

Seakan tahu apa yang ada dalam pikiran saya, Kang Yoyo kembali melanjutkan penjelasannya, “Tidak semua keluarga harus berpindah ke tempat yang baru, karena tempat yang menjadi tempat tinggal Abah menjadi pusat pemerintahan, maka yang wajib untuk pindah adalah keluarga Abah beserta tujuh keluarga anggota “kabinet”, yang disebut rorokan.” Adapun nama-nama rorokan tersebut antara lain adalah Rorokan Jero, Rorokan Padukunan, Rorokan Pamakayaan, Rorokan Paninggaran, Rorokan Pangabasan, Rorokan Panahaban, Rorokan Indung Beurang, serta Rorokan Tatabeuhan.

Apakah rorokan tersebut, apa fungsi dan bagaimana kasepuhan dalam menjalankan roda pemerintahannya, saya akan tuturkan dalam artikel selanjutnya.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//