• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Kisah Keluarga Ursone, dari Pemusik Hingga Menjadi Juragan Susu di Bandung (1)

NGULIK BANDUNG: Kisah Keluarga Ursone, dari Pemusik Hingga Menjadi Juragan Susu di Bandung (1)

Keluarga Ursone memutuskan hijrah dari Italia ke Hindia Belanda. Mencari penghidupan yang lebih baik.

Merrina Listiandari

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman

Sociëteit Concordia di Bandoeng. Foto diambil sekitar tahun 1905. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

25 November 2021


BandungBergerak.id - Bagi masyarakat pecinta sejarah di Bandung dan sekitarnya, nama keluarga yang berasal dari Italia ini, begitu lekat dalam benak sebagai keluarga legendaris. Siapa tak kenal dengan daerah Lembang, sebagai salah satu daerah penghasil susu di tatar Priangan? Keluarga Ursone inilah salah satu pionir peternak sekaligus produsen susu sapi segar, hingga salah satu dari mereka menginisiasi pendirian Pusat Pengolahan Susu Bandung atau Bandoengsche Melk Centrale  (BMC) yang hingga kini masih berdiri.

Sebagai salah satu “Raja Susu” di Bandung, keluarga Ursone yang memiliki lahan yang banyak serta luas ini dikenal memiliki kekayaan yang sangat berlimpah. Keluarga Ursone tercatat menghibahkan 6 hektar lahan Baroeadjak (kini Baruajak), untuk pendirian Observatorium Bosscha. Tak hanya itu, keluarga ini pun pernah terlibat dalam aksi kemanusiaan, dan menyumbangkan dana dalam misi pencarian tiga remaja malang yang hilang di Gunung Tangkubanparahu, tahun 1924 (Jalan Tangkuban Parahu, BandungBergerak.id).

Keluarga Ursone memiliki segalanya, dan tentunya keberhasilan mereka tidak didapat dalam waktu semalam, bagai membangun perahu dalam kisah dayang Sumbi dan Sangkuriang.  Mereka adalah keluarga pekerja keras yang merintis usaha bahkan dalam cara yang tidak pernah mereka rencanakan sebelumnya. Siapakah mereka, serta bagaimana kisah keberhasilan mereka? Berdasarkan penelusuran sumber dan data yang didapat, penulis akan menuturkan jejak, perjalanan serta sepak terjang keluarga ini di Hindia Belanda.

Baca Juga: Menggali Sejarah Kuburan Tua Belanda di Bandung dan Cimahi
Gedong Cai Cibadak, Riwayat “Ledeng” Pertama Kota Bandung
NGULIK BANDUNG: Perang Susu (Melk-Oorlog) di Bandung (1) Perseteruan Antarperusahaan Susu

Hijrah dari Italia

Hampir sama dengan Indonesia, yang terdiri dari beragam suku serta budaya, yang memiliki sejarah panjang hingga bersatu dan menjadi sebuah negara yang kini dikenal sebagai Republik Indonesia. Italia, sejak era klasik sudah dihuni oleh berbagai bangsa serta peradaban yang membentuk kerajaan-kerajaan tersendiri, seperti suku Italic yang membentuk Kerjaan Romawi, yang memudahkan negara lain untuk memecah belah serta mengontrol wilayah tersebut. Italia pun memiliki sejarah panjang dalam melepaskan diri dari kontrol negara lain, hingga terjadi sebuah gerakan politik revolusioner yang bernama Risorgimento, yang memicu terjadinya perang kemerdekaan Italia, yang berhasil menyatukan negara-negara di Italia, pada tahun 1861 (Unification of Italian States, history.state.gov).

Sama seperti semua negara yang baru menyatakan kemerdekaannya, Italia pada masa itu mengalami ketimpangan dalam hal pembangunan serta industrialisasi. Sentralisasi pembangunan saat itu masih berpusat di Italia bagian utara dan kolonial kerajaan. Daerah selatan yang cenderung masih menganut sistem feodal akhirnya tertinggal dalam hal pembangunan ekonominya. Hal seperti ini sangat berpengaruh pada kondisi masyarakat di daerah selatan, yang semakin sulit. Harus memiliki modal finansial yang tidak sedikit dan rencana matang agar terlepas dari keterpurukan.

Keluarga Ursone berasal dari Kota Alessandria, yang berada di Italia bagian selatan yang miskin, pasti merasakan sulitnya perekonomian Italia, di akhir abad 19 tersebut. Satu sisi, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Hindia Timur, yang resmi dinyatakan pailit dan pada tanggal 31 Desember 1799, menyerahkan seluruh utang dan asetnya pada Pemerintah Belanda (Ong Hok Ham, Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong, 2002). Sejak penyerahan oleh VOC kepada Pemerintah Belanda tersebut, wilayah yang ditinggalkan VOC itu resmi diberi nama Hindia Belanda, sebuah negara koloni baru dengan wilayah maha luas nan kaya raya.

Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal yang ditugaskan di tanah koloni ini, disebut sebagai peletak dasar pertama pemerintahan negara baru ini. Maka sejak saat itu, untuk menjalankan roda pemerintahan, selain menggunakan orang-orang lokal yang dipilih dengan syarat tertentu, didatangkanlah orang-orang dari negeri kincir angin tersebut. Singkatnya, tak hanya pasukan bersenjata saja yang masuk negeri ini, namun juga warga sipil yang lambat laun terus berkembang di seluruh wilayah Hindia Belanda, tak terkecuali Bandung.

Baca Juga: Menggali Sejarah Kuburan Tua Belanda di Bandung dan Cimahi
Gedong Cai Cibadak, Riwayat “Ledeng” Pertama Kota Bandung
NGULIK BANDUNG: Perang Susu (Melk-Oorlog) di Bandung (1) Perseteruan Antarperusahaan Susu

Foto udara perkebunan teh di Wanasoeka di Bandjaran. Foto diambil sekitar tahun 1925. Di perkebunan ini keluarga Ursone bertani. (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Foto udara perkebunan teh di Wanasoeka di Bandjaran. Foto diambil sekitar tahun 1925. Di perkebunan ini keluarga Ursone bertani. (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Bermusik lalu Berkebun

Semakin berkembangnya masyarakat Eropa di tanah jajahan ini, tentu kebutuhan untuk hidup ala Eropa pun semakin meningkat. Tidak hanya kebutuhan primer seperti sandang dan pangan yang masih didatangkan dari negara-negara di wilayah Eropa, kebutuhan akan hiburan pun terus meningkat. Maka Hindia Belanda terbuka bagi warga Eropa yang ingin mencoba peruntungannya di tanah ini. Hubungan simbiosis mutualisme antara warga yang telah lama menetap dan masyarakat Eropa pendatang yang membawa harapan dari tanah airnya, akan sebuah wilayah koloni yang dianggap menjanjikan. Keluarga Ursone adalah salah satunya.

Beberapa surat kabar berbahasa Belanda yang terbit saat itu, di antaranya Java Bode dan The Locomotief, pada tanggal 6 dan 9 November 1884 memberitakan kedatangan kapal uap Godavery yang mampir di pelabuhan Singapura dari Eropa, ke Batavia. Dalam daftar penumpang kapal tersebut, terdapat nama A. Ursone (belakangan diketahui sebagai P.A. Ursone) dan G. Ursone, dua orang kakak beradik yang berasal dari keluarga pemusik dari Italia. Situasi ekonomi yang buruk di wilayah Italia bagian selatan saat itu, membuat mereka mengadu peruntungan mereka di negara koloni yang membutuhkan orang-orang dengan kemampuan seperti mereka.

Belanda memang sebuah negara yang dikenal dengan sistem dan kedisiplinan yang tinggi dalam mencatat serta mengarsipkan dokumen-dokumen mereka, termasuk dokumen-dokumen yang berkaitan erat dengan Hindia Belanda. Beruntung, jejak tentang kedua kakak beradik yang pertama kali menjejakkan kakinya di Batavia ini kembali ditemukan. Dalam Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indie?, 1895, sebuah catatan data kependudukan Hindia Belanda yang rapi mencatat nama penduduk beserta profesinya, ditemukan nama Ursone, resmi tercatat sebagai satu-satunya guru musik di Bandung.

Warga Bandung akhirnya merasa lega sekaligus berbahagia karena pada akhirnya mereka memiliki sebuah kelompok musik tetap, yang didirikan oleh tiga orang bersaudara asal Italia, de Gebroeders Ursone atau Ursone Brothers. Tak hanya masyarakat yang berbahagia, ketiga bersaudara Ursone pun merasa beruntung dan tidak salah dalam menetapkan pilihan mereka untuk datang, berkarier sebagai pemusik, dan menjadi warga Priangan. Tidak sekedar mendapat nama yang masyhur, pekerjaan dan penghidupan yang sulit mereka dapatkan di Italia dapat mereka jalani dengan baik di negara koloni ini.

Satu dekade sejak awal kedatangan mereka di Hindia, keuangan mereka terus berkembang pesat hingga mereka mampu berinvestasi sebidang tanah di daerah Lembang, setelah sebelumnya berkongsi dengan rekanannya mengelola sebidang tanah dengan sistem sewa di daerah Wanasoeka, Banjaran, untuk ditanami kopi. Sebagai saudara tertua, Tn. Pietro Antonio Ursone, berpikir bahwa menjadi pemusik tidaklah abadi, untuk bertahan dan melanjutkan hidup mereka harus melakukan hal lain yang dapat bertahan lama. Maka P.A. Ursone memilih untuk menggantungkan Harpa, alat musik yang selama ini menemani hidupnya dan menjalani hidup sebagai petani anggur dan kopi (De locomotief, 14 November 1995).

Mendirikan Kuintet

Setelah sang kakak menggantungkan Harpanya, tinggalah dua orang kakak beradik  pemain biola dan suling yang masih aktif bekerja sebagai pemain musik. Namun keadaan tidak pernah sama seperti sebelumnya, setelah kakak mereka hengkang dari grup, permainan keduanya tidak lagi sebaik dulu, baik dalam pertunjukan musik dansa atau dalam konser. Mereka merasa timpang dan harus segera mencari jalan keluar. Satu-satunya solusi yang paling baik, adalah mencari pemain harpa untuk menggantikan kakak tertua mereka dan mencari pemusik yang baik, tentu harus berasal dari negara yang memang menghasilkan para pemusik hebat, Italia!

Diputuskan yang tertua di antara keduanya, yaitu Guizeppo Ursone untuk kembali ke Italia, mencari pemain harpa yang tepat untuk menggantikan kakak pertama mereka, sementara adik terkecil mereka tetap tinggal di Hindia Belanda. Dalam pencariannya, Guizeppo ternyata tidak beruntung di Italia dan kembali ke Hindia dengan tangan kosong. Namun di Batavia, justru dia menemukan hal lain, sebuah kelompok musik kuartet dari Napoli dibawah arahan Tn. G. Fuselia, dengan pemain Biola, Cello Alto dan seorang pianis, entah dia beruntung, atau pesona seorang Ursone membuatnya begitu mudah untuk mengajak mereka bergabung, yang jelas kuartet tersebut telah berubah menjadi kwintet (De locomotief, 14 November 1995).

Ursone mengajukan proposal pada Soceiteit Concordia, gedung pertunjukan masyarakat di Bandung yang selama ini memberikan ruang yang begitu leluasa pada Ursone Brothers untuk bermain di sana. Dia mengatakan akan membentuk sebuah formasi baru dengan bergabungnya sebuah kuartet yang berasal dari Italia. Kwintet yang baru dibentuk ini akan menghasilkan sebuah paduan yang sangat harmoni, memberikan nuansa baru dengan musik kualitas konser, yang akan menguntungkan bagi gedung pertunjukan tersebut dan memberikan kebahagiaan bagi masyarakat Bandung. Proposal yang diajukan oleh Tn. G.Ursone dikabulkan oleh Soceiteit Concordia dan mereka menjadi pemain tetap di gedung tersebut, seperti semula (De Preanger Bode, 30 September 1887).

Lalu, sampai kapankah mereka bermusik? Akankah mereka mengikuti jejak kakak mereka bertani? Lalu langkah apa yang selanjutnya dilakukan oleh keluarga ini hingga menjadi juragan susu di Bandung? Kisah lengkapnya, akan dilanjutkan pada artikel selanjutnya.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Redaksi

COMMENTS

//