Menggali Sejarah Kuburan Tua Belanda di Bandung dan Cimahi
Di balik kuburan-kuburan tua itu kita bisa menggali kisah gurunya Sukarno, makam Freemason, sampai sejarah akhir Perang Dunia 2 di Bandung.
Penulis Adi Marsiela26 Maret 2021
BandungBergerak.id - Tidak mudah menolak ajakan jalan-jalan dari seorang kawan. Tapi bagaimana jika jalan-jalan itu ke kuburan? Apa yang anda bayangkan? Sesuatu yang absurd, menantang, atau mungkin menggelikan?
Tetapi bagi komunitas pecinta sejarah dan heritage, komplek pemakaman justru jadi tempat belajar yang menyenangkan. Jauh dari kesan menyeramkan, seperti yang umum beredar dalam urban legend masyarakat.
Seperti pelajaran sejarah yang bisa dipetik saat kunjungan ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pandu, Kota Bandung. Di makam seluas 12,7 hektare itu terdapat dua komplek pemakaman, yakni Ereveld Pandu atau pemakaman Belanda seluas 3 hektar yang berisi 4 ribu tanda makam, dan Pemakaman Umum Pandu yang sedikitnya diisi 21.800 tanda makam.
Menariknya, informasi sejarah justru lebih banyak tersebar di komplek Pemakaman Umum Pandu. Waktu itu saya berkeliling pemakaman ini bersama Komunitas Aleut, kelompok penggemar sejarah kota yang berbasis di Kota Bandung.
Setelah melewati gerbang masuk yang dibikin Belanda tahun 1932, kita bisa menemui mausoleum milik keluarga Ursone, warga negara Italia yang pertama ada di Bandung. Keluarga ini merupakan pemilik peternakan sekaligus perusahaan susu sapi yang berlokasi di Lembang, sebelah utara Bandung. Mereka memulai usahanya pada tahun 1895 dengan label Lembangsche Melkerij Ursone.
Bangunan makam yang didominasi marmer itu merupakan pindahan dari daerah Kebon Jahe. Pada sisi kiri dan kanannya ada patung perempuan dengan kerudung yang menunduk ke arah tengah bangunan. Untuk masuk ke dalam, kita harus melewati empat anak tangga. Di bagian dinding luar, terukir sembilan nama serta tanggal kelahiran dan kematian. Di bagian kolom atau tiang sebelah kanan ada satu atas nama J.A.G van Dick. Pada bagian atasnya tertulis ‘FAM URSONE’.
Tak jauh dari bangunan makam ‘FAM URSONE’, kita bisa melihat sisa-sisa makam berbentuk laci. Secara total ada 52 laci. Namun yang utuh tinggal beberapa saja. Dari makam laci yang hancur penutupnya, saya sempat mengintip ada sisa tulang belulang di bagan dalam laci.
Salah seorang anggota komunitas, Vecco Suryadi, berkata peti jenazah dimasukkan ke dalam laci itu dengan cara didorong. Pada bagian dasar laci ada rel untuk memudahkan proses tersebut.
Dengan berkeliling di TPUPandu, kita juga bisa menemukan batu nisan dengan pahatan jangka dan mistar yang identik dengan simbol Freemason. Bedanya di atas makam Ben Srasters ini, jangkar yang biasanya di atas mistar dipahat terbalik posisinya. Empunya makam ini meninggal pada tanggal 6 Mei 1936. Pada bagian paling bawah pahatan tampak tulisan ‘rust in verde’. “Masih perlu ditelusuri perannya di loji Freemason sebagai apa,” ungkap Vecco.
Salah satu tempat peristirahatan terakhir yang menarik ditelusuri adalah milik Charles Prosper Wolff (C.P.W) Schoemaker, arsitek kenamaaan asal Belanda. Nisan makam C.P.W Schoemaker berbentuk tiga persegi panjang dengan ketinggian berurutan pendek ke paling panjang, dari kiri ke kanan. Pada persegi bagian tengah, nisannya diwarnai hitam dengan list berwarna jingga. Demikian juga dengan keterangan nama dan informasi lainnya.
Pria yang dilahirkan di Banyubiru, Ambarawa pada 25 Juli 1882 ini memang dikenal sebagai perancang bangunan-bangunan yang kini menjadi heritage Kota Bandung. Beberapa di antaranya adalah, Gedung Merdeka tempat pelaksanaan Konferensi Asia Afrika, Hotel Grand Preanger, Gedung Landmark, hingga Villa Isola di komplek Universitas Pendidikan Indonesia.
Adik dari Richard Schoemaker, arsitek yang lebih dulu berkarya di Bandung, adalah lulusan pendidikan Akademi Militer di Belanda dengan pangkat letnan zeni militer. Sekembalinya ke Hindia Belanda, Wolff Schoemaker bekerja sebagai arsitek militer pada tahun 1905. Namun, pada tahun 1911, dia keluar dan bekerja sebagai insinyur teknik pada Dinas Pekerjaan Umum Batavia (Dienst Burgerlijk Openbare Werken) pada tahun 1913.
Pemeluk agama Islam ini juga merancang Masjid Kaum Cipaganti pada tahun 1934 di Nijlandweg. Masjid itu tampak mencolok karena lokasinya berada di tengah-tengah kawasan permukiman orang Eropa di Bandung Utara pada pasa pemerintahan Bupati Raden Tg. Hassan Soemadipraja. Wolff Schoemaker dimakamkan di Pandu pada tahun 1949.
Vecco menceritakan hal unik terkait pengurusan makam itu. “Makam ini sudah dibayarkan pajaknya oleh Guruh Soekarno Putra untuk dua puluh tahun mendatang,” ujar Vecco sembari menambahkan Wolff Schoemaker merupakan dosen dari ayahnya, Sukarno semasa menempuh pendidikan di Bandung. Menurutnya, makam tersebut juga mendapat perawatan dari alumni Institut Teknologi Bandung.
Wisata Sejarah Makam Cimahi
Kota tetangga Bandung, Cimahi, juga memiliki pemakaman Belanda. Ereveld Leuwigajah, namanya. Komplek makam kehormatan milik Kerajaan Belanda ini hanya bisa dicapai melalui satu pintu. Pintu ini lebih menyerupai terowongan beton dengan lubang berbentuk kotak di tengahnya. Lebar temboknya sekitar 10 meter. Panjangnya ada lima meter. Bagian tengah dengan lebar empat meter jadi akses masuknya. Di bagian dalamnya, bisa menampung setidaknya 10 tukang bunga dan air buat mereka yang mau ziarah.
Di bagian depan tembok berwarna krem itu terpasang tulisan ‘Ereveld Leuwigajah’ dari pelat besi yang dicat emas. Apabila pengunjung berjalan lurus sekitar 400 meter ke dalam pemakaman, mereka akan menemukan tulisan yang sama. Kali ini terpasang di pagar teralis berwarna hitam.
Pada kedua sisi gerbang terdapat tiang dari batu alam. Di bagian atasnya ada pot besar. Pengunjung yang hendak masuk bisa memencet bel atau menggoyangkan tali yang tergantung pada lonceng dari tembaga di sisi kanan.
Pada 16 Mei 2016, Tjimahi Heritage, pernah mengagendakan kunjungan ke Ereveld Leuwigajah. Komunitas pecinta sejarah ini tadinya membuka pendaftaran untuk 50 orang saja, tetapi yang daftar membengkak menjadi 80 orang. “Ternyata kalau agendanya ke kuburan lebih banyak yang mendaftar,” ujar Machmud Mubarok, Koordinator Tjimahi Heritage.
Machmud mengatakan, pemakaman itu menjadi salah satu daya tarik Kota Cimahi yang dahulu dikembangkan sebagai kota militer oleh Pemerintah Hindia Belanda. Kota dengan tiga kecamatan itu berada di sebelah barat Kota Bandung, yang awalnya hendak dijadikan Ibukota Hindia Belanda.
Setidaknya hal itu terungkap dalam studi HF Tillme, seorang ahli kesehatan lingkungan di Semarang yang menyimpulkan kondisi dan kualitas fisik perkotaan di pantai utara Jawa kurang sehat dan tidak ideal sebagai pusat administrasi pemerintahan pada tahun 1916 silam. Makanya ibukota diusulkan dipindahkan ke pedalaman yang udaranya lebih nyaman dan segar. Bandung jadi salah satu alternatifnya. “Banyak yang tidak tahu keberadaan komplek pemakaman ini,” ungkap Machmud.
Opzichter atau pengawas Ereveld Leuwigajah, Franky Tuhumury, mengatakan pemakaman ini merupakan satu dari tujuh pemakaman serupa yang ada di Indonesia. Makam ini mempunyai jumlah tanda makam atau nisan terbanyak dibandingkan makam lainnya yang dikelola Oorlogsgraven Stichting atau Yayasan Makam Kehormatan Belanda.
“Total yang dimakamkan di sini ada lima ribu dua ratus orang korban perang di Hindia Belanda pada era tahun 1941 sampai 1945. Baik militer maupun sipil,” kata Tuhumury.
Awalnya, ungkap dia, tanah pemakaman itu hanya dipergunakan untuk mengubur orang yang meninggal dari tempat pengasingan di komplek tangsi Batalyon ke IX dan ke X Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL). Namun jumlahnya bertambah selepas ada kebijakan memindahkan jenazah yang tersebar pada 22 ereveld dari Aceh sampai Ambon, yang dibangun antara tahun 1946-1950.
Atas permohonan pemerintah Indonesia, setelah penyerahan kedaulatan di tahun 1960-an, pemakaman itu dikumpulkan di Pulau Jawa saja. Mereka disebar ke tujuh ereveld. Total korban yang ada di Pulau Jawa mencapai sedikitnya 25 ribu orang.
“Untuk Ereveld Leuwigajah, pemakaman kembali dari sisa jenazah para korban itu berasal dari Muntok, Padang, Tarakan, Medan, Palembang, dan Balikpapan,” kata Tuhumury sembari menambahkan tanah pemakaman itu sepenuhnya menjadi milik Pemerintah Belanda dan diperkenankan untuk mengibarkan bendera Belanda pada waktu-waktu tertentu.
Tidak ada perbedaan antara satu nisan dengan nisan lain di hamparan rumput yang selalu dipotong rapi setiap bulannya ini. Tentara berpangkat dengan serdadu biasa, semuanya sama. Pembedanya berada pada bentuk nisan berdasarkan agama dan kepercayaan. Buat yang beragama nasrani, nisannya berbentuk salib, sementara untuk yang perempuan ada penanda lain berupa tiga lingkaran pada tiga ujung salib. Yang beragama Islam, pada bagian atas nisannya ada tiga benjolan. Untuk yang beragama Budha, bagian atas nisannya berbentuk setengah lingkaran. Sementara mereka yang Yahudi ditandai dengan bintang Daud di bagian atas nisan.
Selain itu, ada juga nisan yang berbentuk perisai untuk menandai di pada satu lokasi dikuburkan lebih dari satu jenazah. Sementara nisan yang lebih kecil ukurannya, sambung Tuhumury menandai korbannya adalah anak-anak. “Semua tanda makam ini terbagi ke dalam delapan fak atau sektor. Ada sekitar 500 nisan anak-anak,” tambah Tuhumury.
Salah satu nisan yang banyak diziarahi pengunjung di luar keluarga adalah milik Herman Thomas Karsten, arsitek sekaligus perencana wilayah permukiman. Guru besar pada Technische Hoogeschool (Intitut Teknologi Bandung-sekarang) yang meninggal semasa ditahan di kamp inteniran Cimahi oleh Jepang pada 21 April 1945. Semasa hidup, Karsten merancang antara lain, Kampung Kwarasan, Menara Air di Magelang, kawasan Jalan Ijen di Malang, Balai Kota Padang di Sumatera Barat, Pasar Lingkis Cinde di Palembang.
Karyanya yang fenomenal adalah Pasar Johar di Semarang pada tahun 1933. Kala itu, rancangan Karsten merupakan pasar terbesar dan modern. Karya itu menjadi fenomenal karena menggunakan konstruksi jamur yang terkenal akan perhitungan dan pelaksanaannya membutuhkan ketelitian serta ketepatan yang tinggi.
Hari Peringatan Bersama Indonesia-Belanda
Sejak dua tahun terakhir, Ereveld Pandu di TPU Pandu, Bandung, jadi tempat peringatan berakhirnya Perang Dunia 2. Peringatan ini dilakukan komunitas lokal Bandung, Kelompok Anak Rakyat (Lokra) Bandung, bersama Oorlogsgraven Stichting.
Mereka memperingati momen internasional itu tiap tanggal 15 Agustus 1945, tepat dua hari sebelum peringatan Kemerdekaan RI 17 Agustus-an. Peringatan ini diisi upacara yang terdiri dari pembacaan sejarah kilas balik Perang Dunia 2, peletakan karangan bunga, menghentingkan cipta selama 2 menit, dan menyanyikan lagu kebangsaan Belanda dan Indonesia.
Gatot Gunawan, pendiri komunitas Lokra, menjelaskan 15 Agustus bagi Belanda adalah hari peringatan menghormati korban Perang Dunia 2, khususnya para korban Belanda di Indonesia. Peringatan ini dilatarbelakangi masuknya Jepang ke Indonesia. Di hadapan Jepang, Belanda sempat bertekuk lutut. Jepang kemudian menahan orang-orang Belanda dan Eropa di kamp-kamp tahanan yang disebut interniran. Titik-titik interniran tersebar di Bandung dan Cimahi.
Bagi Indonesia, akhir Perang Dunia 2 pada 15 Agustus juga memiliki arti penting. “15 Agustus adalah pemicu Indonesia merdeka karena Perang Dunia 2 berakhir. Bagi Belanda 15 Agustus sebagai peringatan korban perang. Di Bandung ini adalah peringatan bersama,” terang Gatot, saat dihubungi BandungBergerak.id melalui sambungan telepon, Jumat (26/3/2021) malam.
Rencananya, 15 Agustus tahun ini Lokra bersama Oorlogsgraven Stichting akan kembali menggelar peringatan bersama. Mereka menjadwalkan menghadirkan orang Belanda yang leluhurnya dimakamkan di Pandu. Gatot mengaku sudah menemukan beberapa orang Indo-Belanda yang buyutnya dimakamkan di Pandu.
"Kita menghubungi mereka melalui media sosial. Mereka siap menghadiri peringatan,” tutur Gatot. Selain menghadirkan orang Indo-Belanda, Lokra juga akan mengundang komunitas lainnya.