• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Perang Susu (Melk-Oorlog) di Bandung (2) Peternak Kecil Jadi Korban

NGULIK BANDUNG: Perang Susu (Melk-Oorlog) di Bandung (2) Peternak Kecil Jadi Korban

Klaim sepihak untuk kualitas susu nomor satu memicu perang harga. Peternak kecil berjatuhan terseret menjadi korban.

Merrina Listiandari

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman

Dokter hewan Vrijburg sedang memeriksa kesehatan ternak sapi perah di salah satu peternakan sapi di Bandung. Foto diambil sekitar tahun 1920. (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

21 Oktober 2021


BandungBergerak.id - Klaim sepihak yang dilakukan oleh Tn. Goldbach yang menyatakan peternakan General de Wet di Tjisaroea, Lembang, milik Tn.Hirschland dan Van Zijll sebagai penghasil produk susu segar nomor satu di Bandung menuai reaksi negatif dari pengusaha susu lainnya. Sah-sah saja klaim dilakukan sebagai upaya meningkatkan pasar serta distribusi. Disayangkan, Tn. Golbach melakukan klaim tersebut hanya berdasarkan laporan dari laboratorium swasta tanpa melakukan konfirmasi dan pemeriksaan ulang pada laboratorium kota.
Klaim yang dilakukan oleh Tn.Golbach berbeda dengan laporan resmi kualitas susu Kota Bandung, hal itulah yang akhirnya menjadi pemicu polemik. Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1920 sudah menetapkan aturan mengenai pengolahan susu yang disebut dengan Melk-Codex. Aturan tersebut sangatlah ketat dalam menggolongkan kualitas susu yang diproduksi oleh setiap peternak untuk masuk ke dalam kelompok grade 1, 2, atau 3 (Mooi Bandoeng, Ahmad Sunjayadi, 2007).

Melk-Codex, menghitung jumlah mikroba atau bakteri Psychotropic dalam susu segar. Pemerintah, dalam hal ini Dinas Kesehatan kota menetapkan bahwa susu segar layak minum harus memiliki jumlah mikroba di bawah satu juta untuk setiap satu sentimeter kubik susu tanpa pengolahan lebih lanjut. Produksi susu sapi segar inilah yang digolongkan ke dalam susu yang memiliki kualitas nomor satu. Apabila dalam satu sentimeter kubik ditemukan jumlah mikroba lebih dari satu juta, maka susu dengan kualitas seperti ini harus diolah lebih lanjut untuk dibuat susu bubuk atau susu kental kalengan.

Perselisihan Menimbulkan Kekacauan Harga

Perang klaim kualitas susu ini menyebabkan perusahaan yang mengaku memiliki susu segar dengan kualitas utama menaikkan harga jual produksi mereka. Peternakan General de Wet yang memulai. Peternakan milik Tn. Hirschland ini menaikkan harga yang biasa dibanderol 20 sen per botol 600 ml menjadi 25 sen.

Harga yang tinggi tersebut menimbulkan kecemburuan pada perusahaan susu lain. Peternakan General de Wet bertahan dengan harga tersebut dengan alasan ongkos produksi mereka yang tinggi karena mempekerjakan seorang dokter hewan untuk memastikan kualitas serta higienitas produk.

Kenaikan harga susu ini menyebabkan kericuhan di masyarakat, terutama bagi ibu rumah tangga. Para ibu mengeluhkan kekhawatirannya dalam mengelola keuangan akibat kenaikan harga susu yang merupakan salah satu produk pangan utama bagi masyarakat Eropa di Hindia.

Keadaan ini yang dimanfaatkan oleh pengusaha susu besar lainnya. Mereka mencoba untuk merebut pasar dengan menjual susu segar dengan harga 20 sen per botol 600 ml. Langkah ini di ikuti oleh peternakan lain, bahkan ada yang berani memberi potongan harga menjadi 18 sen per botol untuk setiap pembelian 3 botol susu sekaligus (Het Niews Van Den Dag voor Nederlandsch-Indie, 23 Juli 1931).

Konflik berkepanjangan di antara pengusaha susu ini memakan waktu hingga bertahun-tahun. Situasi yang belakangan diistilahkan oleh media berbahasa Belanda di Hindia sebagai melk-oorlog atau perang susu ini, semakin diperumit dengan para pengusaha kecil yang tidak lagi mampu bersaing dalam hal pelayanan serta higienitas. Demi mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, mereka menjual produk dengan cara melempar harga ke pasaraan di bawah harga normal.

Para pengusaha kecil tersebut membanting harga di angka 12 hingga 10 sen per botol 600 ml, bahkan ada yang menjual dengan harga 7 sen per botol, di bawah harga normal 20 sen per botol. Situasi ini menekan para pengusaha kecil. Usaha yang mereka rintis mati-matian terancam gulung tikar. Namun, di sisi lain situasi ini tentunya menguntungkan masyarakat pengguna sehingga bisa menekan pengeluaran rumah tangga yang rutin membeli susu. Persaingan semakin tidak sehat, dan perang susu terus berkecamuk (Het Niews Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indie, 23 Agustus 1931).

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Perang Susu (Melk-Oorlog) di Bandung (1) Perseteruan Antarperusahaan Susu
NGULIK BANDUNG: Boemi Hajoe, Kebun Stoberi Eropa Pertama di Lembang
NGULIK BANDUNG: Jejak Bangsa Boer di Lembang (2)
NGULIK BANDUNG: Jejak Bangsa Boer di Lembang (1)

Potongan berita koran De Koerier tanggal 15-12-1931 yang menceritakan pertemuan pertama antara Wali Kota Kuhr dan 26 pemasok susu di Bandung membicarakan penyelesaian perang susu. (Sumber: Delpeher.nl)
Potongan berita koran De Koerier tanggal 15-12-1931 yang menceritakan pertemuan pertama antara Wali Kota Kuhr dan 26 pemasok susu di Bandung membicarakan penyelesaian perang susu. (Sumber: Delpeher.nl)

Usulan Perdamaian dari Keluarga Ursone 

Bisnis susu merupakan sebuah usaha yang menjanjikan di Bandung pada masa tersebut. Menurut koran De Niewe Vorstelanden, 20 September 1927, Bandung disebut sebagai sentra peternakan dan penghasil susu sapi segar. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya pebisnis baru di bidang tersebut. Setidaknya terdapat 35 peternakan baru yang tumbuh dan berkembang dalam lima tahun terakhir. Mereka adalah rakyat kecil yang menginvestasikan segalanya pada bisnis baru ini.

Jatuhnya harga susu segar di pasaran, tentu sangat mempengaruhi para pengusaha kecil ini. Perang susu yang dimulai akibat kekonyolan seorang distributor utama pada perusahaan besar, General de Wet, milik Tn. Hirschland mengakibatkan semua pengusaha bersaing dalam harga jual yang semakin tidak sehat.

Ketika harga jual turun di bawah harga pasar, sebesar 20 sen per botol 600 ml, peternakan General de Wet kembali berulah. Peternakan Tn.Hirschland yang saat itu mampu memproduksi lebih dari 600 liter susu sehari, tiba-tiba mengumumkan akan mendistribusikan sebanyak 1.100 botol produksi mereka dengan harga 10 sen per botol. Bandung gempar dan pengusaha kecil menangis.

Salah satu kisah yang paling menarik serta mengharukan, tentang pengusaha kecil ini dimuat dalam koran Het Niews Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indie, 30 Agustus 1931. Tn. Streithorst, seorang pensiunan berusia 60 tahun, dengan gaji 450 Gulden sebulan, menginvestasikan seluruh penghasilan serta uang pensiunannya dalam bisnis yang menjanjikan ini. Dia bersusah payah mendirikan perusahaan susu ini, walau dalam tekanan orang-orang di sekelilingnya yang mengatakan, memulai bisnis di Hindia, bukanlah ide yang baik. Namun dia bersikeras untuk membuktikan bahwa anggapan tersebut salah. Tn. Streithorst, hanyalah contoh. Banyak kisah serupa di Bandung saat itu, dan awalnya semua usaha mereka berjalan dengan baik berbalik terpuruk menjadi korban akibat terseret perang susu.

Perang susu yang terus berkecamuk mempengaruhi perekonomian secara luas karena susu merupakan salah satu kebutuhan primer masyarakat Hindia. Diam-diam keluarga Ursone, memperhatikan serta memikirkan situasi yang buruk ini. Bagi mereka keadaan ini tidak bisa terus dipertahankan, harus dipikirkan untuk mencari solusi terbaik agar situasi ekonomi dapat lebih terkendali. Koran Het Niews Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indie, 8 Desember 1931, memberitakan, salah satu dari Ursone bersaudara mengajukan proposal kepada Wali Kota untuk mendirikan Pusat Pengolahan Susu (Melk-Centrale), sebagai upaya untuk menghentikan Melk-Oorlog (perang susu) ini.

Rencana Mendirikan Pusat Pengolahan Susu (Melk-Centrale)

Wali Kota Bandung kala itu, Ir. Von Wolzogen Kuhr, menerima usulan Ursone Bersaudara, dengan mengadakan pertemuan dengan seluruh pengusaha serta pemasok susu (De Koerier, 15 Desember 1931). Agenda rapat membicarakan tentang perang susu yang harus segera diakhiri dan mencari cara yang menguntungkan serta memuaskan seluruh pihak. Sesuai dengan usulan dari Tn. Ursone, Wali Kota mendedahkan rencana untuk mendirikan Melk-Centrale, kepada seluruh peserta rapat.

Pertemuan dihelat tanggal 14 Desember 1931. Wali Kota Kuhr menyampaikan bahwa dengan berdirinya Pusat Pengolahan Susu, nantinya seluruh perusahaan susu, baik besar atau kecil tidak perlu khawatir lagi dengan perkara distribusi serta harga jual. Lembaga yang akan dibentuk ini, nantinya memiliki peran agar dapat menghimpun, mengelola serta mendistribusikan seluruh produk dari seluruh pengusaha susu di Bandung, dengan harga yang ditetapkan seragam. Dengan kata lain Melk Centrale, kelak akan berperan sebagai lembaga one stop service untuk produk susu.

Dalam pertemuan tersebut di sepakatilah harga jual yang dianggap saling menguntungkan dan disetujui oleh seluruh pihak. Harga yang ditetapkan tersebut, adalah:

1. Harga jual satuan, ditetapkan harga 20 sen per botol dengan berat bersih 700 gram;
2. Harga untuk partai besar, seperti pada hotel, rumah sakit, dan rumah kost yang diakui pemerintah, ditetapkan harga 18 sen per botol dengan berat bersih 700 gram;
3. Untuk perusahaan susu, yang produksi hariannya di bawah 600 liter, ditetapkan harga beli 19 sen per botol;
4. Untuk perusahaan susu dengan produksi harian lebih dari 600 liter, ditetapkan harga beli 20 sen per botol.

Hasil rapat tersebut cukup menenangkan para pengusaha susu yang hadir dalam pertemuan tersebut. Keputusan yang terkait dengan pendirian Melk-Centrale akan diputuskan selanjutnya dalam rapat umum yang akan diselenggarakan kemudian. Seluruh pengusaha susu Bandung akan diwakili oleh 3 perwakilan perusahaan besar, dan tiga perusahaan kecil, dengan ketua Dr. De Ven dari Biro Penasihat Ekonomi. Pertemuan hari itu pun selesai, palu diketuk tiga kali, dan perang susu, berakhir!

Setelah pertemuan tersebut apakah rencana untuk mendirikan Melk-Centrale dapat berjalan sesuai rencana? Simak tulisan berikutnya.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//