NGULIK BANDUNG: Mereka yang Berkhidmat di Kasepuhan Ciptagelar (Bagian 5)
Mereka meninggalkan kehidupan modern dengan berbagai fasilitasnya demi takzim di Kasepuhan Ciptagelar. Mandra si Doel Anak Sekolahan salah satunya.
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
31 Maret 2022
BandungBergerak.id - Keunikan dan keindahan Kasepuhan Ciptagelar yang secara adminstratif berada di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, Kabupaten Sukabumi, dikenal luas oleh masyarakat khususnya di daerah Jawa barat. Negeri unik dengan ciri khas ribuan lumbung padi yang berjajar tampak membentuk sebuah benteng pertahanan yang melingkari wilayah adat yang sangat tepat disebut sebagai Negeri Beribu Leuit. Tak berlebihan bila leuit – atau lumbung padi dalam bahasa Sunda – dianalogikan sebagai benteng pertahanan karena nyatanya dari lumbung-lumbung padi tersebutlah kasepuhan ini memiliki sebuah sistem ketahanan pangan bagi masyarakat adat di sana sedikitnya untuk 90 tahun ke depan.
Negeri yang masih sangat kental memegang amanat para leluhur mereka tersebut, rupanya menjadi magnet tersendiri bagi banyak orang. Tak hanya sekedar berkunjung namun juga pada akhirnya tinggal hingga membaktikan diri di kasepuhan adat. Mereka bukan warga asli, namun keramahan, budi pekerti, prinsip hidup dipegang oleh warga kasepuhan telah memikat orang-orang luar untuk datang ke kampung atat di Gunung Halimun ini.
Sebut saja Mandra, pesohor yang merupakan komedian yang terkenal setelah ikut membintangi sinetron “Si Doel Anak Sekolahan” besutan Rano Karno pada medio 90an, kini memiliki dua buah rumah di Kasepuhan Ciptagelar. Dalam berbagai wawancara yang dilakukan di berbagai media, Mandra menyebutkan yang bersangkutan mendapatkan ketenangan serta kedamaian di kampung adat ini. Keramahan serta prinsip adat yang dipegang masyarakatnya telah memikat hatinya. Tak hanya Mandra, terdapat beberapa nama lain yang berhasil penulis wawancarai saat berkunjung beberapa waktu yang lalu. Inilah mereka di antaranya.
Youk Tanzil, Rasa Cinta dan Kagum Hingga Project di Ciptagelar
Pereli dan crosser kawakan, sekaligus penggagas Ring of Fire Adventure, ini memang sangat mencintai Indonesia. Kecintaannya kepada negeri ini melahirkan beberapa gagasan penting dalam rangka ikut memajukan kepariwisataan Indonesia.
“Indonesia ini sangat indah, memiliki potensi yang sangat besar namun belum dikelola secara maksimal,” kata Youk Tanzil.
Maka dengan harapan kepariwisataan Indonesia dapat terus bergerak maju, sekaligus ingin mewariskan rasa cinta tanah air dari seorang ayah kepada putra-putrinya lewat perjalanan motor, maka ia memiliki ide dengan mendirikan Ring of Fire Adventure pada tahun 1998.
Bersama timnya dan dukungan dari Andi F. Noya, Youk Tanzil mulai mendokumentasikan setiap perjalanannya menjadi sebuah film dokumenter sekaligus TV program yang sangat ciamik mulai tahun 2011, tidak hanya program dalam negeri tetapi mulai merambah mancanegara. Bersama timnya yang berjumlah 9 orang, ia tercatat sebagai tim ekspedisi pertama yang melintasi Trans Papua.
Baginya tak ada yang tak mungkin bila mau berusaha. Tak hanya Papua, daerah yang bagi kebanyakan orang sulit dijangkau, apalagi dengan bermotor, namun hampir seluruh wilayah Indonesia pernah ia jelajahi dan dokumentasikan. Hutan, gunung, sawah dan lautan baginya bukan sekadar penggalan lagu yang dihafal hampir seluruh masyarakat Indonesia namun sebuah keniscayaan dan benar-benar diejawantahkan olehnya beserta tim.
Karena kecintaannya pada Indonesia, membuat Youk Tanzil tergerak untuk menjelajah dan kini hampir seluruh wilayah di Indonesia, dari Aceh hingga Papua telah berhasil ia lalui. Menyadari betapa besar dan luasnya wilayah negara kepulauan ini dengan segala keunikan, keberagaman serta keindahannya, menurutnya “The more I travel the more I see, the more I see the more I learn, the more I learn the more I realize the less I know,” semakin banyak perjalanan yang telah ia lalui semakin ia menyadari bahwa yang diketahuinya selama ini hanyalah sedikit saja. Hingga akhirnya Ia bertemu dengan sebuah kampung adat yang memikat hatinya, Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar.
Masih diingat pengalaman pertamanya ketika menapaki kampung adat satu ini di tengah malam. Youk Tanzil berpikir tidak mungkin melanjutkan perjalanan, dan ia bertemu dengan seorang warga dan meminta izin untuk bermalam di sebuah musala. Tak disangkanya warga tersebut melarangnya, alih-alih membiarkan dirinya bermalam dalam musala tersebut, Youk diminta untuk menginap di rumah warga tersebut.
Youk sangat terkesan dengan lelaki warga asli kasepuhan tersebut yang memberikan kamar pribadinya kepada Youk. Lelaki kasepuhan tersebut, bersama istrinya, memilih tidur di kamar anaknya. Tak hanya sekedar tempat untuk bermalam, pasangan suami istri tersebut juga memberikan berbagai penganan untuk Youk, di tengah segala kesederhanaan mereka.
Seperti kebiasaan orang yang berasal dari kota, ketika diberikan service oleh seseorang, tanpa berpikir panjang keesokan harinya ia berniat memberi uang sebagai imbalan atas kebaikan yang diterimanya. Tanpa diduga pasangan tersebut menolak pemberian Youk. “Kami tidak mencari uang pak, kami hanya mencari kebahagiaan,” alasan pasangan itu. Seketika bagai ada lonceng yang berdering di kepalanya, dia terharu dan menyadari bahwa uang memang bukan segalanya, setidaknya bagi masyarakat di kampung adat ini. Youk Tanzil jatuh cinta.
Bagi Youk Tanzil, Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar adalah kampung yang sangat komplet dengan segala keistimewaannya. Sejak pertama kali datang tujuh tahun yang lalu hingga sekarang, Youk Tanzil rutin datang ke kampung adat ini, berbaur dan berinteraksi dengan masyarakat asli di sana. Kasepuhan Ciptagelar yang dipimpin oleh seorang anak muda yang bernama Abah Ugi ini, adalah kampung tradisional yang berbeda dengan kampung adat lain yang tidak sekedar embrace teknologi, tetapi juga Youk mendapati bahwa kampung merefleksikan Pancasila yang sesungguhnya. Kampung ini sangat terbuka bagi semua orang dengan berbagai latar belakang kepercayaan yang merefleksikan semua sila dalam konsep Pancasila yaitu Believe in God, Humanity, Nationlism, Democracy dan Gotong royong. Tidak ada perbedaan di sana, semua orang berbaur dengan harmoni, tenggang rasa yang kuat di saat isu perbedaan menjadi hal yang sangat krusial saat ini.
Ada satu hal yang menarik di saat Pandemi Covid-19 ini. Kasepuhan Ciptagelar seakan tidak mengenal virus mematikan tersebut. Setidaknya, tidak ada berita yang menyebutkan ada kematian yang disebabkan oleh virus yang tersebar merata di seluruh dunia ini, di kampung adat Ciptagelar. Youk melihat tata cara warga kasepuhan dalam berkehidupan, segala sesuatu yang dilakukan dengan cara yang masih sangat tradisional. Semua warga di kampung adat ini hidup dengan cara yang sangat sehat. Maka Youk Tanzil berpikir hal inilah mungkin yang menyebabkan warga kampung adat ini terhindar dari pandemi, hidup dengan cara-cara tradisional dan sangat sederhana sehingga memberikan kehidupan yang baru. Karenanya, ia berpikir bahwa gaya hidup sehat semacam ini perlu diketahui oleh masyarakat. Youk memutuskan membuat sebuah proyek film dokumenter yang menggambarkan kehidupan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar bertajuk Future from The Past.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Belajar dari Negeri Beribu Leuit, Kasepuhan Ciptagelar (Bagian 1)
NGULIK BANDUNG: Belajar dari Kasepuhan Ciptagelar, Sejarah dan Tugas yang Diemban (Bagian 2)
NGULIK BANDUNG: Makna Rorokan dan Filosofi Arsitektur Rumah Adat di Kasepuhan Ciptagelar (Bagian 3)
Lelaki ini adalah juru bicara Kasepuhan Ciptagelar. Sekilas dari penampilan serta pembawaannya, dia akan dikira warga asli kampung adat ini. Siapa yang menyangka ternyata di balik penampilannya yang unik, Yoyo Yogasmana bukan warga asli Kasepuhan. Dia berasal dari Tasikmalaya, dan pernah mengenyam pendidikan S1 Seni Rupa dari IKIP atau Universitas Pendidikan Indonesia. Tak sekedar menyelesaikan pendidikan S1 di Bandung, lelaki yang dulu aktif berkegiatan di CCF atau Pusat Kebudayaan Prancis di Bandung ini juga lulusan sebuah Universitas di Kanada.
Bisa dibilang, dulu dunia pernah ada dalam genggamannya. Namun tentu ada sesuatu yang membuat “anak kota” ini pulang hingga meninggalkan semua kehidupan modernnya dan berkhidmat di Kasepuhan Ciptagelar. “Ada kejadian yang mungkin sangat sulit diterima oleh nalar,” katanya dalam sesi wawancaranya dengan saya saat itu.
Yoyo bercerita bahwa ia beberapa kali “melihat” hal yang sama berulang-ulang dalam mimpinya. Sebuah daerah pegunungan nan subur dengan lumbung padi yang berjajar. Hingga bertahun kemudian Yoyo mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Ciptagelar dan terpaku, karena apa yang ia lihat dalam mimpi terhampar secara nyata persis di depannya. Seakan terpanggil, dan dalam istilah yang disampaikan oleh pemimpin Kasepuhan Ciptagelar sebelumnya yakni Abah Encup Sucipta atau Abah Anom, bahwa Yoyo Yogasmana disebut Kebo Mulih Pakandangan atau diterjemahkan secara bebas berarti kerbau yang pulang ke kandang.
Meninggalkan segala sesuatu yag pernah diraihnya di Kanada, Yoyo mantap untuk membaktikan diri di Kasepuhan Ciptagelar, bersama Abah Ugi, pemuda pemimpin adat kasepuhan. Ia bekerja keras memajukan kasepuhan ini dengan tetap memegang adat dan titipan para karuhun.
Umi Kusumowati, dari Bali menuju Kasepuhan Ciptagelar
Perempuan ayu, tegas nan berkharisma ini memiliki darah Jawa. Ia berasal dari Kota Solo, Jawa Tengah. Namanya Umi Kusumowati, dengan nama yang sangat khas Jawa, tidak lalu membuat kesehariannya sebagai perempuan tradisional yang njawani. Tak berbeda dengan suaminya, Yoyo Yogasmana, Umi pernah tergabung di sebuah Communication NGO yang berkantor di Pulau Bali. Ia bekerja bersama berbagai orang dari mancanegara untuk berbagai wilayah di Indonesia. Hingga satu ketika NGO tempatnya bergabung melakukan penelitian di Kasepuhan Ciptagelar beberapa tahun yang lalu.
Dia terpukau dengan Kasepuhan adat ini, namun sebagai perempuan yang sangat modern, bukanlah tidak canggung baginya saat pertama kali menginjakkan kaki di tanah ini. Dia sangat menyukai kasepuhan adat ini sejak pertama kali datang, namun berpikir berkali-kali bila harus tinggal lama di kampung yang sangat terpencil ini.
Namun manusia hanya mampu berpikir tetapi Tuhan-lah yang memiliki takdir. Dalam penelitiannya di Kasepuhan Ciptagelar, dia bertemu dengan seorang pemuda yang pada akhirnya memikat hatinya, Yoyo Yogasmana. Hingga akhirnya, cerita yang sama dengan suaminya, perempuan cantik ini meninggalkan segala yang pernah diraihnya dulu dan bersama suaminya membaktikan diri di Kasepuhan Ciptagelar ini.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman