RAMADAN (MASIH) DI TAHUN PAGEBLUK #1: Menjahit Harapan di Pinggiran Kosambi
Geliat Ramadan mulai terlihat di kawasan Kosambi, Kota Bandung, seiring dengan munculnya harapan berakhirnya pagebluk. Ini dirasakan Iman, seorang penjahit pakaian.
Penulis Reza Khoerul Iman5 April 2022
BandungBergerak.id – Geliat Ramadan mulai terlihat di kawasan Kosambi, Jalan Jenderal Ahmad Yani, Kota Bandung. Terutama menjelang petang, para pedagang makanan buka puasa sibuk melayani konsumen. Penjual emas dan pakaian pun terlihat ramai oleh calon pembeli. Begitu juga dengan para penjahit di pinggir jalan yang giat memacu mesin jahitnya.
Kawasan Kosambi yang menjadi salah satu sentra perdagangan Kota Bandung memang menjadi tempat yang strategis bagi para pedagang, tak terkecuali para penjahit pakaian pinggir trotoar seperti Iman (42). Pria asal Cipaera ini menuturkan bahwa bisnis jahit-menjahit di Kosambi telah ada sejak sekitar tahun 80-an. Hal ini diperkuat oleh orang tuanya yang juga menjalanan bisnis tersebut.
“Tukang jahit di sini sudah ada sekitar tahun 80-an. Nah, salah satunya pendahulunya sering kami panggil si Sehu. Saya sendiri baru menjadi tukang jahit di sini empat tahun lalu,” ucap Iman, saat ditemui BandungBergerak.id, Senin (4/4/2022).
Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA) akhir tahun 90-an, Iman mulai belajar menjahit kepada orang tuanya. Kemudian keahlian menjahitnya tersebut membawa ia bekerja pada bidang tersebut hingga saat ini.
Awalnya Iman bekerja pada tempat konveksi di daerah Kopo, Kota Bandung. Di sana ia banyak mengerjakan pekerjaan menjahit sepatu atau tas. Namun pada tahun 2018 ia keluar dari pekerjaan tersebut dan memilih untuk membangun tempat jahit sendiri di Jalan Jenderal Ahmad Yani.
Selama dua tahun Iman menjalani bisnis jahit menjahit tanpa ada masalah. Namun petaka datang ketika Kota Bandung dilanda pagebluk Covid-19. Sejak itu Iman dan kawan-kawan mesti menjalani hidup dalam suasana suram dan ketakutan.
“Suram. Suram pisan. Ya meski gitu saya tetep jualan di sini saja. Mau ada orang, mau gak ada orang, ya saya waktu itu tetep di sini. Kalau bicara pendapatan mah, waktu itu seringnya gak dapat apa-apa. Ya kalaupun ada, paling cukup buat sehari,” tutur Iman.
Musim pagebluk menjadi menjadi tahun-tahun yang berat untuk dilalui oleh Iman. Selain was-was oleh penyakit yang kapan saja bisa menyerang dirinya, ia juga dibikin cemas dengan pengawasan dari Satpol PP.
Kendati demikian, ia tetap menjajakan mesin jahitnya, berharap ada orang yang akan memotong atau memvermak sepotong pakaiannya. Namun harapan itu belum juga datang. Sementara hidup harus terus berjalan, terlebih ia dalam keadaan tidak punya istri dan harus menghidupi kedua anaknya yang beranjak dewasa.
Oleh karenanya segala pekerjaan serabutan ia ambil, mulai dari kuli bangunan hingga mengurusi paket di bagian gudang, sambil tetap menjahit apabila ada pesanan dari para langganannya.
Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (1): Dari Terminal ke Terminal
Ramadan di Tahun Pagebluk (2): Koran dan Majalah dalam Dekapan Wahyu
Ramadan di Tahun Pagebluk (3): 30 Tahun Wahidin Menggenjot Becak
Berusaha untuk Bangkit
Pada tahun ketiga pagebluk kali ini, keadaan di kawasan Kosambi bisa dibilang berbeda 180 derajat. Perbedaan yang cukup kentara ini dirasakan oleh Iman. Tak ada ekspresi apa pun yang ia tunjukkan selain rasa jeranya saat ditanya soal pagebluk tahun lalu, bahwa ia tidak ingin kembali merasakan kondisi seperti itu.
Iman merasa telah keluar dari jeratan musim pagebluk. Bisnis jahit-menjahitnya perlahan mulai kembali pada jalurnya. Pada awal Ramadan ini, ia sudah mulai bekerja memacu mesin jahitnya bermerek Linda hingga petang hari.
Para pelangan silih berganti datang ke hadapan Iman untuk dipotongkan pakaian atau memvermaknya. Tidak jarang juga sejumlah pengunjung yang telah berbelanja pakaian, langsung memotong pakaiannya agar bisa segera dipakai ketika sampai di rumah. Banyak juga tentara yang datang menggunakan jasa Iman.
“Hari ini mungkin sudah lebih dari 10 orang yang datang ke saya. Ya macem-macem, ada yang minta dipotong pakaiannya, ada juga yang meminta divermak. Kadang juga bukan cuma pakaian, ada juga yang minta supaya diperbaiki tas atau sepatunya,” ucapnya.
Permintaan untuk menjahit pakaian biasanya akan semakin meningkat pada seminggu di akhir bulan Ramadan. Dengan harga Rp 15.000 untuk memotong pakaian dan Rp 30.000 untuk vermak, Iman optimis bisa meraih penghasilan yang ia harapkan.
Ia terus berharap pagebluk benar-benar berakhir supaya bisa fokus menjahit sambil memperbaiki tatanan kehidupannya yang rontok akibat pagebluk tahun lalu. Ia jera harus bekerja menjadi kuli serabutan. Usianya kini tak lagi muda, tenaganya sudah berkurang sehingga pekerjaan menjahit cocok untuknya.
Di bulan Ramadan ini ia juga berharap diberi kelancaran rejeki agar bisa menghidupi dan membahagiakan keluarga kecilnya. Bahkan kalau mendapat lebih, ia ingin berbagi rejeki kepada orang tuanya.