• Cerita
  • Ramadan di Tahun Pagebluk (20): Bekerja di SPBU demi Sang Ibu

Ramadan di Tahun Pagebluk (20): Bekerja di SPBU demi Sang Ibu

Salsabila Rizky (20) bekerja sebagai operator SPBU di Bandung sejak 1,5 tahun lalu. Bersama sang ibu, dia tinggal berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain.

Salsabila Rizky (20) ditemui di SPBU Jalan Sunda, Kota Bandung, Kamis (6/4/2021) malam. Sudah 1,5 tahun lalu Salsabila bekerja sebagai operator yang harus berdiri melayani konsumen selama 8 jam per hari.

Penulis Emi La Palau9 Mei 2021


BandungBergerak.id - Meski malam terus bertambah gelap, perempuan berseragam merah bercorak putih itu tidak kehilangan kecekatan. Dia isi setiap tangki kendaraan motor dan mobil yang datang kepadanya. Keramahan bagi para pengemudi juga tidak lenyap dari wajahnya.

Nama perempuan belia itu Salsabila Rizky. Sudah sejak 1,5 tahun lalu dia bekerja sebagai operator di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang terletak tidak jauh dari rel kereta api, Jalan Sunda, Kota Bandung. Tidak lama lagi Saalsabila berusia 21 tahun.

Bekerja sebagai operator SPBU, Salsabila harus membiasakan diri berdiri selama 8 jam setiap harinya. Dia juga beradaptasi memegang nosel serta menghafali jenis kendaraan dan letak tangkinya. Merasa sedikit kesulitan di bulan-bulan awal, Salsabila kini telah menguasainya.

“Membedakan kendaraan bisa dari bunyinya. Yang bensin lebih enak. Kalau solar beda,” ucap Salsabila ketika berbincang dengan BandungBergerak.id, Kamis (6/4/2021).

Ada dua sif kerja di SPBU, pagi dan siang, yang masing-masing berlangsung selama satu pekan. Masuk sif siang berarti harus bekerja hingga malam seperti yang sedang dialami Salsabila. Bayaran yang diterima sesuai upah minimum Kota Bandung.

Namun akibat pagebluk, Salsabila harus menerima kebijakan pengurangan jam kerja yang berimpas pada pemotongan besaran upah. Di bulan-bulan awal pandemi tahun lalu, SPBU hanya beroperasi hingga jam 10 malam. Kini, setelah jam kerja kembali normal, Salsabila berharap bisa segera kembali menerima bayaran penuh.

Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (19): Layu (Penjual) Bunga di Jalan Braga
Ramadan di Tahun Pagebluk (18): Kesaksian Pendeta di Kampung Toleransi Jamika
Ramadan di Tahun Pagebluk (17): Perjuangan tanpa Ujung Seorang Guru Honorer

Membiayai Ibu

Sebelum menjadi operator di SPBU, Salsabila bekerja di toko oleh-oleh haji yang menjajakan kurma di kawasan Pasar Baru selama dua tahun. Berkerja selama 12 jam sehari, lulusan sekolah menengah atas (SMA) tersebut diberi upah Rp 60 ribu.  

Nasib baik menghampiri Salsabila ketika datang panggilan wawancara kerja di SPBU Jalan Sunda. Ternyata sang kakak, yang bekerja sebagai pengemudi ojek daring (online), yang memasukkan lamaran atas namanya. Setelah melewati serangkaian tes, termasuk tes psikologi, Salsabila diterima untuk menjalani masa pelatihan (training) selama tiga bulan. Saat ini Salsabila sudah diangkat resmi menjadi pegawai.

Saat ini Salsabila tinggal berdua dengan sang ibu yang sudah berusia 52 tahun di sebuah rumah kontrakan di kawasan Baleendah, Kabupaten Bandung. Biaya sewanya Rp 500 ribu per bulan. Sang ibu sendiri masih bekerja di toko di Pasar Baru meski dengan upah yang tetap tidak seberapa.  

Salsabila merupakan anak bungsu dari dua bersaudara. Sang kakak kini sudah berkeluarga dan hidup mandiri. Sudah sejak Salsabila naik ke sekolah menengah pertama (SMP), ibu dan bapaknya berpisah.  

Dulu keluarga Salsabila memiliki rumah di kawasan Rancaekek. Akibat impitan ekonomi, tidak lama setelah kelahiran si bungsu, rumah tersebut dijual. Sejak itulah, bersama sang ibu, Salsabila tinggal dengan berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain.

“Saat ini fokus saya adalah membiayai ibu dan saya sendiri,” kata Salsabila.

Budaya Mengantre

Menjadi operator SPBU tidak bisa dianggap sebagai pekerjaan enteng. Salsabila Rizky dihadapkan pada berbagai macam perilaku tidak tertib para konsumen. Salah satu pangkal masalah adalah buruknya budaya mengantre di masyarakat kita. Contohnya, aksi pengemudi kendaraan bermotor yang menyerobot jalur antrean mobil.

Salsabila juga beberapa kali mengalami kejadian tidak mengenakkan. Ada konsumen yang menunjuk-nunjuk wajahnya deengan melontarkan Bahasa yang tidak sopan. Lebih menyakitkan lagi, perilaku buruk itu datang dari aparat yang mestinya menjadi contoh bagi masyarakat untuk berdisiplin mengantre.

“Katanya mau tugas negara. Suka bawa-bawa jabatan,” kata Salsabila. “Saya ditunjuk-tunjuk, makanya gak saya layanin sampai dia pergi juga.”

Salsabila mengaku tidak takut menghadapi setiap konsumen yang melanggar disiplin mengantre. Dia tidak sungkan menegur mereka untuk menghormati konsumen lain. Salsabila melakukan itu karena dia meyakini itu hal benar yang harus dikerjakan.

“Siapapun orangnya harus antre. Owner (pemilik SPBU) juga ngantre kalau ngisi bensin,” ungkapnya. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//