• Cerita
  • Ramadan di Tahun Pagebluk (17): Perjuangan tanpa Ujung Seorang Guru Honorer

Ramadan di Tahun Pagebluk (17): Perjuangan tanpa Ujung Seorang Guru Honorer

Dede Suryana (53) sudah 34 tahun bekerja sebagai honorer dengan beragam prestasi. Dengan pendapatan tak seberapa, ia kini kesulitan melunasi sewa rumah kontrakan.

Dede Suryana (53) memperlihatkan salah satu piagam penghargaan yang pernah ia terima di rumah kontrakannya di Jalan PLN Dalam, Bandung, Selasa (4/5/2021) malam. Dede sudah bekerja sebagai guru honorer selama 34 tahun. (Foto: Emi La Palau)

Penulis Emi La Palau5 Mei 2021


BandungBergerak.id - Dede Suryana (53) bukan guru honorer sembarangan. Di dinding ruang tamu rumah kontrakannya di Jalan PLN Dalam, Bandung, terpasang beberapa sertifikat dan piagam penghargaan. Mulai dari tingkat Dinas hingga Kementerian. Dede diakui berprestasi karena komitmennya mengembangkan pembelajaran inklusif.

Belum lama ini Dede memperoleh penghargaan dari Kementerian Pendidikan Republik Indonesia sebagai Guru Sekolah Dasar Inspiratif dalam rangkaian kegiatan Hari Guru Nasional 2020.  Ia menjadi wakil satu-satunya dari Kota Bandung.

Dede sudah mengabdi sebagai guru honorer selama 34 tahun. Toh banyaknya pengalama ndan penghargaan tidak membuatnya jumawa. Justru ia merasa harus semakin banyak belajar. Sudah mengantongi gelar master, Dede masih mengimpikan bisa berkuliah di jenjang S3.

“Kalau ada beasiswa, (saya) ingin lanjut (kuliah),” ungkap lelaki kelahiran 8 Juli 1968 itu, Selasa (4/5/2021) malam. “Guru mengajar itu harus belajar. Jadi, harus terus belajar.”

Komitmen mengembangkan pembelajaran inkusif lahir dari pengalaman personal Dede. Anak lelakinya yang kedua berkebetuhan khusus temporer. Ada benjolan di kepalanya sejak lahir, tidak terlihat oleh siapapun, yang ternyata mengganggu proses tumbuh sang anak. Terhadap sang anak yang sempat terrtinggal dalam pelajaran sekolahnya, Dede menerapkan pola pengajaran khusus yang berhasil membuatnya bisa mandiri.

Dede berulang kali dipercaya menjadi narasumber pada seminar-seminar nasional untuk membagikan pengalamannya mendidik kepada guru lain. Ia dengan senang hati melakukannya karena ingin agar semakin banyak guru menerapkan pola pembelajaran inklusif di sekolahnya masing-masing.

“Saya percaya, kalau penangannya tepat, siswa yang berkebutuhan khusus juga bisa berprestasi,” tuturnya.

Dari Garut ke Bandung

Dede Suryana lahir dan tumbuh di kampung halamannya di Cibatu, Garut. Sejak kecil ia bercita-cita menjadi guru. Ia bermimpi bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi. Namun mimpi itu harus diurungkan karena sang ayah, seorang pensiunan Perusahaan Jawatan Kereta Api yang saat ini menjadi PT Kereta Api Indonesia (KAI), meninggal dunia. Uang pensiunan sang ayah yang jadi satu-satunya gantungan hidup keluarga mendadak lenyap.

Dede, yang memiliki 10 saudara, harus segera bekerja. Berbekal ijazah sekolah menengah atas (SMA), ia memulai pengabdiannya sebagai guru honorer di almamaternya, SMP Tunas Harapan Cibatu. Para mantan gurunya memberikan kepercayaan padanya untuk mengajar, meski hanya lulusan SMA, karena ia dikenal cerdas.

Sejak tahun 1987, Dede mulai aktif mengajar mata pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan alam (IPA).  Selain itu, ia juga membantu mengurus administrasi di sekolahnya.

Pada tahun 2006, Dede merantau ke Bandung dan bekerja di SD Negeri Putraco Indah di Jalan Rajamantri, Turangga. Di sekolah ini, ia fokus mengajar mata pelajaran inklusif unutk siswa berkebutuhan khusus.

Tak disangka, empat tahun kemudian, impian lama Dede untuk bisa berkuliah terwujud. Ia berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Jurusan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Dede meraih gelar sarjana tepat waktu ketika dinyatakan lulus pada 2014.

Semangat Dede untuk terus menimba ilmu tidak pernah kendur. Meski hanya berstatus honorer, ia tidak ingin kalah dengan guru lain yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS).

Pada tahun 2016, Dede memberanikan diri untuk mencari beasiswa pendidikan master. Beberapa kali ia mengajukan permohonan beasiswa ke Dinas Pendidikan Kota Bandung, tapi tidak membuahkan hasil. Kala itu jatah beasiswa hanya diperuntukkan para PNS. Dede akhirnya nekat berkuliah mengambil master Jurusan Manajemen menggunakan biaya pribadi.

Pada tahun 2018, lewat perjuangan yang sama sekali tidak mudah, terutama terkait pendanaan, Dede berhasil memperoleh gelar master manajemen dari Universitas Winayamukti yang memiliki cabang di Bandung. Sayangnya, hingga hari ini ia belum bisa mengambil ijazah asli di kampus karena masih memiliki beberapa tunggakan pembayaran.

Pada Juli 2020, Dede memutuskan berhenti mengajar di SDN Putraco Indah. Ia pindah mengabdi di Sekolah Dasar wasta SDS Bhayangkari 1 Bandung.

Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (16): Guntur Afandi Melangkah tanpa Batas
Ramadan di Tahun Pagebluk (15): Kisah Ida dari balik Kostum Pooh
Ramadan di Tahun Pagebluk (14): Sumini, Buruh Perempuan yang Melawan

Dari Kontrakan ke Kontrakan

Di Bandung, Dede Suryana belum memiliki rumah. Menghabiskan lebih dari separuh hidupnya sebagai guru honorer, ia belum juga diangkat menjadi pewagai tetap. Penghasilan yang tidak seberapa membuat hidupnya serba terbatas. Tidak ada cukup tabungan untuk membeli rumah.

Selama sembilan tahun pertamanya di Bandung, Dede menumpang tinggal di kompleks SDN Putraco Indah, sekolah tempatnya mengajar. Ketika itu ketiga anaknya masih bersekolah di Garut.

Dede pindah ke rumah kontrakan setelah mereka lulus dan ingin tinggal di Bandung. Dari satu kontrakan, mereka berpindah ke kontrakan lain. Kontrakan mereka saat ini, yang terletak di kawasan Mohammad Toha, merupakan kontrakan keempat yang bakal habis masa sewanya pada 25 Mei mendatang.

Dede mengaku tidak mampu lagi membayar biaya sewa seharga Rp 17.5 juta. Jumlah itu terlalu berat baginya. Dede berencana untuk memulangkan terlebih dahulu barang-barang ke Garut sembari mencari cara mendapatkan kontrakan baru dengan harga yang lebih murah. Jika tidak membuahkan hasil, ia bersiap menumpang tinggal di sekolah.

Dede saat ini tinggal bertiga bersama istri dan anak sulung yang baru saja kehabisan kontrak kerja. Anak keduanya sudah hidup mandiri dengan bekerja di koperasi dan tinggal di asrama. Sementara si bungsu perempuan telah menikah.

Begitulah perjuangan panjang, seolah tanpa ujung, seorang guru honorer. Meski menyandang sederet pengakuan sebagai guru berprestasi, Dede harus sering-sering menelan pil pahit yang juga ditelan oleh sebagian besar guru honorer di Indonesia.

Namun toh Dede tidak kehilangan senyum dan syukur. Ia memilih untuk terus bertekun sehingga mampu menunaikan berbagai utang yang masih tersisa, dari uang kuliah S2-nya hingga biaya pendidikan anak.

“Kalau saya, meskipun tidak dihargai, (saya) tetap saja (akan mengabdi) karena tanggung jawab ke siswa,” katanya.

Malam kian larut. Bunyi meteran listrik yang minta segera diisi pulsa menyalak kian nyaring.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//