Ramadan di Tahun Pagebluk (16): Guntur Afandi Melangkah tanpa Batas
Guntur Afandi (48) menyandang disabilitas daksa akibat polio yang menyerangnya di usia dua tahun. Selain terampil menggambar, ia juga seorang atlet.
Penulis Emi La Palau4 Mei 2021
BandungBergerak.id - Temaram lampu neon warna putih menerangi ruang tamu dan teras, menggantikan redupnya cahaya rembulan. Suhu udara mulai dingin, tapi di ruang tamu percakapan dengan Guntur Afandi (48), sang tuan rumah, berlangsung hangat ditemani suguhan kopi dan roti isi cokelat dan keju.
Guntur seorang penyandang disabilitas daksa. Ketika masih berusia dua tahun, ia terserang virus polio. Kedua kakinya mengecil. Yang kiri tidak bisa digerakkan sama sekali.
Tumbuh dan besar dengan keterbatasan fisik seperti itu tidak membuat Guntur lantas putus asa atau sebaliknya, selalu dimanja. Dia mendapat dukungan penuh dari keluarga untuk melakukan apa yang juga dilakukan anak-anak pada umumnya.
Guntur mengenyam pendidikan di sekolah umum hingga lulus dari sekolah menengah atas (SMA) dengan torehan berbagai prestasi. Ia juga tercatat aktif terlibat di berbagai organisasi di sekolah.
Kegemaran pertama Guntur, yang ia sadari sejak duduk di kelas V Sekolah Dasar (SD), adalah menggambar. Ia sering mewakili sekolah dalam berbagai lomba.
Guntur sempat bercita-cita menjadi seorang seniman. Panutannya adalah Jeihan Sukmantoro, salah seorang maestro seni lukis di Bandung. Di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), Guntur bahkan pernah memperoleh nasihat langsung dari sang pelukis. Nasihat yang membuatnya bertekun di gambar hitam putih bercorak realis.
“(Gambar hitam putih) Lebih simpel, tapi maknanya dalam. Terus juga bagi saya lebih mudah memainkan makna dari gambar, (karena) hitam putih lebih ekspresif,” ungkap Guntur, Senin (3/5/2021) malam.
Lulus SMA, Guntur melanjutkan pendidikannya di Jurusan Desain Grafis di Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Indonesia (STISI) Bandung yang saat ini melebur menjadi Fakultas Industri Kreatif di Universitas Telkom. Namun, pendidikannya harus terhenti di tahun kedua, salah satunya akibat keterbatasan ekonomi.
Untuk bertahan hidup, Guntur menggeluti hobinya di dunia gambar. Ia mulai membuka jasa melukis foto bercorak realis yang ia tekuni sejak bangku sekolah menengah pertama (SMP). Selain itu, Guntur juga mulai menerima jasa mendekorasi toko-toko.
“Saya juga diminta menggambar di kaus. Jadi ada permintaan menggambar kaus dari toko, atau si pemesan bawa kaus sendiri,” katanya.
Pada tahun 2011, Guntur menjadi koordinator Kampung Akustik, sebuah kampung kreatif hasil kolaborasi seniman Rahmat Jabaril dan Pemerintah Kota Bandung. Proyek bertujuan mengubah wajah kawasan Cicadas yang terkenal luas lekat dengan kehidupan keras dan premanisme.
Sapuan kuas Guntur menghiasi dinding-dinding gang sepanjang 300 meter dengan lukisan tempat wisata, batik, serta wayang. Tak ketinggalan, ia selipkan juga kritik terhadap praktik penggusuran.
“Banyak pembangunan yang pada akhirnya menggusur tanah rakyat. aya tuangkan dalam bentuk gambar perempuan tidur di atas kotak, saking tidak punya rumah (sebagai bentuk kritik),” ungkapnya.
Kapung Akustik, yang sudah tertata rapi, bergeliat sebagai kampung wisata. Ekonomi warga perlahan tumbuh. Namun sayang, kampung kreatif itu hanya bisa bertahan selama empat tahun. Tak ada lagi bantuan dana yang dikucurkan pemerintah.
Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (15): Kisah Ida dari balik Kostum Pooh
Ramadan di Tahun Pagebluk (14): Sumini, Buruh Perempuan yang Melawan
Ramadan di Tahun Pagebluk (13): Mimin Ristiani, Sang Penjaga Parkir Saparua
Titik Balik
Awal perkenalan Guntur Afandi dengan para penyandang disabilitas lain bermula ketika ia mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Bandung pada tahun 1998. Yang diajarkan adalah keterampilan membuat sapu, kemoceng, dan produk hasta karya lainnya.
Itulah peristiwa yang membuka wawasan Guntur. Ia tersadar, ada banyak orang yang memiliki kemampuan tubuh yang jauh lebih terbatas dibandingkan dirinya tapi memiliki kemampuan lebih. Ia juga menjadi lebih nyaman dengan kondisi fisiknya. Apapun ejekan orang tidak akan mempan.
“Di situ (saya) mulai terbuka (wawasan) bahwa ternyata potensi penyandang disabilitas bisa diarahkan dan berdaya guna, minimal untuk diri sendiri,” ungkap lelaki berkepala plontos kelahiran 23 September 1972 itu. “Kita bisa melakukan sesuatu yang orang umum tidak bisa.”
Pada tahun 1999, Guntur bergabung dengan Pesatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) yang saat ini berganti nama menjadi Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI). Di sinilah ia menemukan dunia baru yang melengkapi dunia menggambar yang lebih dulu ia temukan: olah raga.
Menjadi Atlet
Sejak tahun 2000, Guntur Afandi secara serius menggeluti dunia olahraga. Rajin berkunjung ke Padjajaran, ia beralih dari penggunaan tongkat bantu ke kursi roda.
Pada 24 Maret tahun itu, Guntur bersama lima orang disabilitas lainnya yakni Asep darnawan, Haryawan, Riki Hermansyah, Budi Wibodo, dan Asep Hidayat mengikuti ajang “Kursi Roda Bandung Jakarta Menyambut Tahun Milenium” yang diselenggarkan oleh National Paralympic Commitee Indonesia (NPCI). Mereka bersepeda selama tiga hari dari Bandung ke Jakarta, menempuh jarak sekitar 285 kilomenter.
Tiga tahun kemudian Guntur direkrut menjadi atlet yang mewakili Kuningan untuk mengikuti Paralimpik Olahraga Penyandang Disabilitas di Indramayu. Ia berhasil membawa pulang medali perunggu untuk kategori 5.000 meter maraton menggunakan kursi roda.
Namun, menjadi atlet tidak lantas berarti banjir apresiasi. Setiap kali lomba selesai, Guntur kembali dihadapkan pada masalah hidup keseharian. Ia mengais rezeki dengan bekerja sebagai perajin kayu dan penjual pulsa.
Baru pada tahun 2017 Guntur kembali fokus ke olahraga dengan mendaftarkan diri sebagai atlet. Kali ini ia menekuni boling menggunakan kursi roda. Pada 2018, Guntur mewakili Kota Bandung di Pekan Olahraga Daerah (Porda) yang diselenggarakan di Bogor. Ia berhasil membawa pulang dua perunggu pada kelas ganda (double) dan kelompok bertiga (trio group).
Keputusan Guntur menjadi atlet disabilitas mendapat dukungan penuh dari sang istri, Imas Lelyana (46), dan kedua anak mereka. Dukungan seperti ini yang juga ia peroleh ketika tumbuh sebagai seorang bocah kecil yang terserang polio.
Saat ini Guntur sedang menyiapkan diri mengikuti Porda tahun depan. Namun selama Ramadan, latihan ditiadakan untuk sementara. Selain urusan atlet, Guntur juga aktif sebagai pengurus di Bidang Pemberdayaan Atlet NPCI.
“Menjadi atlet disabilitas, saya merasa ada di rumah sendiri,” tuturnya. “Lebih nyaman.”