• Cerita
  • Ramadan di Tahun Pagebluk (13): Mimin Ristiani, Sang Penjaga Parkir Saparua

Ramadan di Tahun Pagebluk (13): Mimin Ristiani, Sang Penjaga Parkir Saparua

Mimin Ristiani (82) mengais rezeki di kawasan GOR Saparua, Bandung, sejak 56 tahun lalu. Jika tidak segera melunasi sewa kos, dia terancam tidur di taman kota.

Mimin Ristiani (82), juru parkir di jalan di sebelah barat kawasan GOR Saparua Bandung, ditemui Jumat (30/4/2021) siang. Dia sudah mengais rezeki di kawasan ini sejak 56 tahun lalu. (Foto: Emi La Palau)

Penulis Emi La Palau30 April 2021


BandungBergerak.id - Sudah sejak tahun 1965 Mimin Ristiani (82) mengais rezeki di kawasan Gedung Olah Raga (GOR) Saparua, Bandung. Berbagai pekerjaan sudah dia lakoni dalam rentang waktu yang sedemikian panjang, mulai dari pedagang makanan, petugas kebersihan, hingga juru parkir.

Mimin mulanya mengadu nasib sebagai penjual kupat tahu dan gulai, tapi nasibnya tidak terlalu mujur. Dia sering menjadi target razia Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Mimin dilarang berjualan lagi, beberapa piranti memasaknya, seperti panci, dirampas.  Dia menyerah.

“Mana modal dapet minjem. Jadi udah ah dijualin aja barang-barang,” ungkapnya ketika berbincang dengan Bandungbergerak.id, Jumat (30/4/2021) siang.

Mimin memilih menekuni pekerjaan lain. Dia mulai bantu-bantu membersihkan GOR. Setiap kali kawasan yang pernah menjadi salah satu jantung skena musik Bandung itu menggelar acara, dia ikut mengerjakan apa saja, seperti menyapu dan mengepel. Bayaran yang diterima tidak menentu.

Pada tahun 2016, bertepatan dengan peran Bandung sebagai salah satu lokasi gelaran Pekan Olah Raga Nasional (PON) XIX, pengelolaan GOR Saparua berpindah tangan dari Pemerintah Kota Bandung ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Mimi terkena imbasnya. Dia tidak lagi bisa mencari pendapatan dengan membantu bersih-bersih.

Sejak itulah Mimin bekerja menjaga tempat parkir di kawasan barat pintu masuk Saparua. Berangkat jam lima subuh, dia biasa pulang jam sembilan malam. Pendapatan dari pekerjaan menjaga parkir inilah yang digunakan Mimin untuk mencukupi biaya makan dan sewa kamar kosan.

Pandemi Covid-19 memaksa pemerintah menutup ruang-ruang publik, termasuk GOR Saparua. Mimin sangat terpukul oleh kondisi ini. Datangnya Ramadan membuat jumlah kunjungan orang ke Saparua kian susut. Untuk bertahan hidup, dia saat ini lebih banyak mengandalkan santunan orang.

“Semenjak corona, lapangan basket ditutup. (Saya) Berharap (pendapatan) dari ini aja, yang nogkrong, yang bawa anak ke taman,” ungkapnya.

Hidup di Jalanan

Mimin Ristiani lahir dari keluarga yang cukup berada. Bapaknya seorang polisi. Namun sejak ibunya meninggal, ketika Mimin masih kanak-kanak, dia dan dua saudaranya tidak diurus dengan baik oleh sang ayah yang memilih untuk kembali menikah. Sempat hidup bersama ayah dan sang ibu tiri, Mimin akhirnya tinggal bersama neneknya di Padalarang.

Dengan kemampuan ekonomi terbatas, sang nenek tidak mampu membiayai sekolah Mimin. Pendidikannya berhenti di kelas tiga sekolah dasar (SD). Itulah kenapa dia tidak begitu lancar membaca dan menulis.  Mimin memilih untuk mulai membantu kakaknya yang bekerja serabutan.

Mimin merupakan salah satu korban pernikahan usia anak. Dia menikah di usia sekitar 13 tahun. Dari pernikahan itu, dia memiliki satu anak laki-laki yang kemudian dititipkan kepada sang kakak. Demi bertahan hidup, Mimin mulai mencoba bekerja dari jalan ke jalan. Pada tahun 1993, pernikahannya kandas.

“Sedih kalau diceritain. Saya pengin nangis. Ya dari kecil semenjak ditinggal ibu, terus ditinggal suami. Kalau gak kuat mental, udah gila mungkin (saya),” ujar Mimin dengan kedua mata mulai berkaca-kaca. “Suka sesak, karena bebannya berat sekali.”

Mimin hidup di jalanan selama bertahun-tahun. Dia sempat menggelandang jauh hingga ke Jakarta dan Banten, sampai akhirnya kembali ke Bandung dan mulai menetap di kawasan Saparua.

Sejak tinggal di Bandung, Mimin enggan menjadi peminta-minta. Dia mengerjakan apa saja yang bisa menghasilkan uang, mulai dari mengumpulkan botol plastik bekas hingga menjadi juru parkir. Meski banyak keterbatasan dan halangan, Mimin tidak mau berhenti berusaha. Dia pun terus bersyukur.

“(Saya) Coba mandiri. Kuat kuatin aja, kuatin mental. Putus asa adalah dosa,” katanya.

Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (12): Cerita Tiga Barista Difabel Netra
Ramadan di Tahun Pagebluk (11): Bertahan Hidup di bawah Teras Cihampelas

Dikejar Setoran

Sebagai juru parkir, meski di tengah pagebluk, Mimin Ristiani tetap berkewajiban menyetor uang parkir kepada petugas Dinas Perhubungan (Dishub). Setiap pekan jumlahnya Rp 200 ribu. Setoran ini harus ada, tidak bisa tidak.

Mimin tampak kesal. Besaran pendapatannya kian hari kian tidak menentu. Kadang dalam satu hari dia hanya bisa membawa pulang uang Rp 15 ribu. Jumlah itu hanya cukup untuk membeli makan. Itulah kenapa sudah dua pekan terakhir Mimin tidak bisa menyetor uang parkir.

Boro-boro (setor), buat saya aja kadang ga ada. Tapi Dishub ga ngerasain, nagih aja (terus) kayak nagih utang,” keluhnya.

Meski sudah berkepala delapan, Mimin tampak masih kuat dan bugar, tertempa oleh kerasnya perjuangan hidup di jalanan. Bekerja menunggui tempat parkir sembari tetap berpuasa tidak menjadi masalah baginya. Hari ini dia dan cucunya sahur dengan mi instan, sisa sembako paket bantuan. Untuk berbuka puasa, Mimin seringkali diberi takjil oleh warga yang melintas.

Mimin tidak kehabisan syukur, meski tetap saja ada yang jadi pemikirannya. Dia sudah menunggak pembayaran dua bulan sewa kos. Harga sewa kamar ukuran kecil itu per bulan Rp 300 ribu. Mimin makin kebingungan karena saat ini ada satu orang cucu yang ikut dengannya untuk sementara waktu.

Jika tunggakan sewa kos itu tidak segera dilunasi, dia harus bersiap-siap untuk kembali tidur di taman kota.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//