• Cerita
  • Ramadan di Tahun Pagebluk (12): Cerita Tiga Barista Difabel Netra

Ramadan di Tahun Pagebluk (12): Cerita Tiga Barista Difabel Netra

Di Cafe More Wyata Guna Bandung, tiga perempuan difabel netra low vision memperjuangkan hidup mandiri. Yang mereka butuhkan bukan belas kasihan, tapi kepercayaan.

Suasana Cafe More Wyata Guna yang menyambut pengunjungnya pada Kamis (29/4/2021) sore. Warung kopi di Jalan Pajajaran Bandung ini dikelola oleh para difabel netra. (Foto: Emi La Palau)

Penulis Emi La Palau30 April 2021


BandungBergerak.id - Wangi khas kopi arabika Manglayang dan Mandailing begitu pekat menyebar di dalam ruangan Cafe More Wyata Guna di Jalan Pajajaran, Bandung, Kamis (29/4/2021). Dengan cekatan, para barista sedang menyiapkan es kopi susu aren. Sudah pukul empat sore dan baru ada dua pelanggan yang datang.  

Cafe More, yang dibuka untuk publik sejak 13 Desember 2019, dibangun oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia di komplek Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Netra (BRSPDN) Wyata Guna. Seluruh pengelolaannya, dari manajemen hingga layanan ke konsumen, menjadi tanggung jawab para difabel netra yang sebelumnya telah mendapatkan pelatihan selama empat bulan penuh.

Pelatihan yang berlangsung sejak Februari 2019 itu merupakan hasil kerja sama antara Kemensos RI dan Siloam Centre for Blind.  Sudah ada tiga angkatan pelatihan yang menghasilkan barista-barista andal.

Di Cafe More, es kopi susu aren yang dibanderol seharga Rp 18 ribu, jadi salah satu menu andalan. Ada juga hazelnut mochacino seharga Rp 25 ribu. Selain beragam sajian kopi, pengunjung juga bisa menikmati beberapa jenis kue.

Pagebluk membuat warung kopi yang buka sejak pukul 11 pagi itu kian lengang. Omzet penjualan anjlok. Beberapa kali bahkan tidak ada satu pun transaksi.

Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (11): Bertahan Hidup di bawah Teras Cihampelas
Ramadan di Tahun Pagebluk (10): Gundah dan Syukur Seorang Tukang Cukur
Ramadan di Tahun Pagebluk (9): Ira Marlina dan Empat Anaknya

Siti Patimah Iskandar (31), penyandang disabilitas netra low vision yang bekerja sebagai salah satu barista di Cafe More Wyata Guna. (Foto: Emi La Palau)
Siti Patimah Iskandar (31), penyandang disabilitas netra low vision yang bekerja sebagai salah satu barista di Cafe More Wyata Guna. (Foto: Emi La Palau)

Siti Patimah Iskandar

Siti Patimah Iskandar (31), penyandang disabilitas netra low vision, adalah salah satu barista di Café More Wyata Guna. Ia termasuk angkatan pertama pelatihan yang bekerja sejak kafe dibuka. Sifa, sapaan akrabnya, mencintai wangi kopi.

“Saya suka wangi kopi. Kan kalau ke BIP (Bandung Indah Plaza), (saya) suka beli roti yang ada wangi kopi. Sambil lewat, ada banyak kafe yang nyeduh kopi, jadi seneng aja,” ungkap Sifa ketika berbincang dengan BandungBergerak.id.

Sifa mengetahui informasi pelatihan kopi dari grup WhatsApp komunitas difabel dan relawan (volunteer) yang dia ikuti. Selain pengetahuan dasar tentang kopi, Sifa juga belajar tentang profesi kebaristaan dan manajemen kafe. Di café More, Sifa menikmati perannya.

Cuman yang paling sulit bisa bikin latte art,” kata Sifa. “Kendala low vision, latte art-nya jarang berhasil.”

Selain menjadi barista, Sifa bekerja sebagai guru privat. Dia mengajar beberapa siswa diseleksia, yakni siswa yang kesulitan belajar, serta siswa disgrafia di jenjang pra TK, SD dan SMP di rumah mereka masing-masing. Dia merupakan sarjana Jurusan Pendidikan Khusus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang mengambil spesialisasi pendidikan anak dan tuna daksa dan telah lulus pada tahun 2015.

Sifa menyandang disbilitas netra low vision pada kedua matanya sejak lahir. Pada tahun 2001, ketika dia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), kedua matanya sempat dioperasi penggantian lensa sebanyak tiga kali. Sifa juga pernah menjalani rangkaian operasi perawatan lainnya sebanyak tiga kali. Saat ini, kekuatan penglihatan mata kanannya hanya 5 persen dan mata kiri 10 persen.

“Saya baru tahu kalau difabel ketika kuliah. (Dulu) Cuman tahu kalau ada yang berbeda, kayak penglihatannya tidak seperti teman-teman yang lain,” ungkap perempuan kelahiran Sukabumi tersebut.

Sifa lahir sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Perjalanan yang sudah dia lalui sejauh ini tidak selamanya berjalan beriringan dengan restu orang tua. Beberapa keputusan diambil Sifa secara mandiri.

Keinginannya dulu berkuliah di Bandung, misalnya, butuh perjuangan hebat agar kesampaian. Begitu juga dengan cita-citanya menjadi Dance Movement Psychotherapist (DMP) yang tidak pernah mendapatkan anggukan kepala dari orang tua. Pada 2007, Sifa lolos beasiswa di Universitas Negeri Yogyakarta, namun tidak diambil, lagi-lagi karena tidak mendapatkan izin dari orang tua.

Sudah sejak tahun 2019, Sifa belum lagi pulang ke Sukabumi. Dia tinggal sendirian di Bandung. Berbagai ketidaksepahaman dengan orang tua membuatnya tidak enak hati untuk sering pulang.

Pagebluk membuat pendapatan Sifa sebagai barista tidak bisa terlalu diandalkan. Beruntung, dia mendapatkan juga tambahan penghasilan dari hasil mengajar privat. Lebih beruntung lagi, dia pun masih memperoleh kiriman dana dari orang tua yang dalam banyak tidak sejalan dengannya.

“Lebih ke bingung (kalau mau pulang). (Saya) ngerasa bersalah karena justu orang tua sakit kalau (saya) pulang. Yang terjadi kayak gitu,” tutur Sifa.

Isti Kharoh (23), perempuan difabel netra low vision, sedang melayani pengunjung di Cafe More Wyata Guna. (Foto: Emi La Palau)
Isti Kharoh (23), perempuan difabel netra low vision, sedang melayani pengunjung di Cafe More Wyata Guna. (Foto: Emi La Palau)

Isti Kharoh

Isti Kharoh (23), si bungsu dari sepuluh bersaudara, adalah satu lagi barista di Café More Wyata Guna. Perempuan asal Cilacap, Jawa Tengah itu mulai merantau ke Bandung pada 2019 untuk mengenyam pendidikan di Pondok Tahfiz Qur’an di Gedebage, Kota Bandung selama satu tahun.  

Setelah mencari-cari informasi mengenai pelatihan di internet, Isti mendaftar dan mengikuti pelatihan barista angkatan ketiga di Wyata Guna pada Januari 2020. Sempat terhenti akibat pandemi, pelatihan tersebut dilanjutkan di pertengah tahun. Ketika Cafe More dibuka, dia melamar dan akhirnya diterima bekerja.

Isti, yang juga penyandang disabilitas netra low vision, mendapat jatah sif pagi. Sejak pukul 10 pagi, dia membersihkan kafe terlebih dahulu sambil menunggu datangnya pelanggan. Terkadang, jika pelanggan tidak kunjung datang, untuk menghabiskan waktu, Isti membaca Al-Quran.

“Selama puasa ini sepi (kunjungan). Ada satu dua (pembeli).  Namanya orang puasa, jarang ada yang nongkrong,” ungkapnya.

Isti pernah dipercaya untuk mengelola kafe serupa di Bekasi selama beberapa bulan, tapi akhirnya dia memilih kembali ke Bandung. Di Kota Kembang, Isti tinggal berdua bersama temannya di kos tidak jauh dari Wyata Guna.

Penjualan yang sepi di Café More berdampak pada nilai bayaran yang diterima Isti. Tidak lagi ada gaji tetap seperti di bulan-bulan awal kafe beroperasi. Toh Isti tetap bersyukur. Sedikitnya, dia memperoleh pengalaman kerja yang akan bermanfaat di masa mendatang.

Bertekun sebagai barista, Isti menyimpan mimpi besar menjadi pengusaha.

Sri Ayu Astuti (24) sedang meracik kopi pesanan pelanggan di Cafe More Wyata Guna. (Foto: Emi La Palau)
Sri Ayu Astuti (24) sedang meracik kopi pesanan pelanggan di Cafe More Wyata Guna. (Foto: Emi La Palau)

Sri Ayu Astuti

Barista ketiga yang mengelola Cafe More Wyata Guna adalah Sri Ayu Astuti (24). Dia lahir sebagai bungsu dari empat bersaudara di tengah keluarga kurang mampu di Sukahaji, Kabupaten Bandung Barat. Ijazah di jejang pendidikan tertingginya, sekolah menengah pertama (SMP), dia peroleh lewat ujian penyetaraan.  

Tumbuh sebagai seorang difabel netra low vision di tengah masyarakat pinggiran bukan perkara mudah. Sri harus sering berjuang sendirian untuk memperoleh apa yang jadi hak dasarnya.

“Sempet down juga. Cuma kalau semakin down, gak nerima takdir, semakin menyusahkan yang lain. Jadi ya usaha coba terima, mungkin Tuhan punya rencana yang baik,” tuturnya.  

Pekerjaan sebagai barista saat ini menjadi satu-satunya sumber pendapatan Sri. Karena bayaran yang tidak menentu selama pagebluk, untuk bertahan hidup dia mengandalkan sisa-sisa tabungan yang diperoleh ketika masih bekerja sebagai tukang pijat selama dua tahun. Sri juga sesekali menerima jasa pijat.

Mendalami keterampilan sebagai barista, Sri bercita-cita bisa membuka usaha. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, agar bisa mandiri dan tidak menyusahkan orang lain, tapi juga untuk kawan-kawan sesama penyandang disabilitas agar bisa bekerja.

“Difabel netra mudah-mudahan bisa lebih berkembang lagi,” kata Sri. “Mudah-mudahan masyarakat juga percaya bahwa difabel itu bisa berkarya asal dipercaya dan dikasih kesempatan.” 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//