Ramadan di Tahun Pagebluk (14): Sumini, Buruh Perempuan yang Melawan
Sumini (36), lulusan sekolah menengah pertama, sudah 22 tahun menjadi buruh pabrik garmen. Memikul tanggung jawab sebagai orang tua tunggal, dia aktif berserikat.
Penulis Emi La Palau1 Mei 2021
BandungBergerak.id - “Hidup Buruh!” teriak Sumini (36) kencang dari tengah barisan buruh yang berunjuk rasa memperingati May Day 2021 di depan Gedung Sate, Bandung, Sabtu (1/5/2021). Tangannya mengepal. Matahari yang bersinar terik tidak dia hirau.
Sumini merupakan buruh yang sudah bekerja selama 22 tahun di salah satu perusahaan garmen di Cimahi. Agar bisa memperjuangkan hak-haknya, dia bergabung dalam Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Kasbi) Kota Cimahi.
Turun ke lapangan merupakan pilihan sadar Sumini. Sebagai perempuan yang juga buruh, dia merasa hak-hak buruh buruh perempuan masih dipandang sebelah mata. Hak cuti hamil, cuti melahirkan, dan cuti keguguran masih sering dipersulit oleh perusahaan. Belum lagi kerja di luar jam kerja yang tidak dibarengi besaran imbalan yang pantas.
Berpuasa di bulan Ramadan tidak mengendurkan niat Sumini untuk ikut berunjuk rasa. Bersama rekan-rekan sesama buruh di serikat pekerja, dia menyiapkan aksi sejak satu pekan lalu.
“Kerja sambil puasa bisa, masak aksi menyampaikan aspirasi gak bisa?” ungkapnya. “Berjuang bersama Kasbi dengan hati riang gembira, tanpa ada pemaksaan.”
Orang Tua Tunggal
Sumini merupakan warga asli Purwodadi. Dia lahir sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara di tengah keluarga dengan kemampuan ekonomi pas-pasan.
Lulus dari sekolah menengah pertama (SMP) pada 1998, Sumini merantau ke Bandung. Enam bulan lamanya dia mencari pekerjaan dengan memasukkan lamaran kerja berbekal ijazah SMP-nya ke berbagai pabrik. Untuk bertahan hidup, Sumini bekerja serabutan.
Sumini akhirnya diterima bekerja di garmen di Cimahi yang jadi tempatnya menggantungkan rezeki hingga hari ini. Di rumah kontrakan dengan tarif sewa Rp 500 ribu per bulan, dia tinggal bersama dengan satu anak perempuannya yang berusia 12 tahun.
Baru satu tahun lalu Sumini resmi bercerai dengan sang suami yang dia nikahi sejak tahun 2007. Meski awalnya berat, dan merasa kasihan terhadap sang anak, dia meyakini keputusan ini adalah jalan terbaik.
“Ada rasa gak enak sama anak, tapi akhirnya (diputuskan) demi kebaikan juga,” ungkap perempuan kelahiran 17 Mei 1982 itu.
Pada awal pandemi Covid-19 tahun lalu, pabrik tempat Sumini bekerja sempat tidak beroperasi selama tiga bulan. Dia hanya dibayar sebanyak 25 persen gaji. Biaya hidup sehari-hari, ditambah biaya sekolah daring tidak tertanggungkan. Sumini meminta penjaman dari sang kakak yang juga menetap di Cimahi dan bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik plastik.
Sumini juga mendapatkan bantuan dari aksi solidaritas anggota serikat pekerja. Kiriman sembako sangat membantunya bertahan di tengah pagebluk. Dia bersyukur saat ini pekerjaan di pabrik sudah kembali berjalan normal. Bayaran penuh diterima lagi oleh Sumini.
Impian Sumini tidak muluk. Dia berharap bisa menabung uang agar bisa menyekolahkan sang anak sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Dia ingin anaknya bernasib lebih baik dibanding dirinya.
Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (13): Mimin Ristiani, Sang Penjaga Parkir Saparua
Ramadan di Tahun Pagebluk (12): Cerita Tiga Barista Difabel Netra
Ramadan di Tahun Pagebluk (11): Bertahan Hidup di bawah Teras Cihampelas
Melawan
Sumini bergabung dengan Kasbi Cimahi sejak tahun 2010. Organisasi ini dia yakini betul-betul memihak buruh dan rakyat lewat aksi-aksinya. Setelah selesai bekerja pukul tiga sore, Sumini tak jarang melanjutkan kegiatannya di sekretariat Kasbi.
Keterlibatan di serikat pekerja inilah yang membuat Sumini kritis menyikapi segala hal yang menyangkut nasib buruh. Di lingkungan kerja sendiri, misalnya, dia mencermati betapa rentannya para buruh perempuan. Bukan saja oleh pelanggaran hak-hak, tapi juga pelecehan.
Sejak awal, Sumini meyakini bahwa keterlibatannya dalam perjuangan buruh bukan hanya tentang dirinya sendiri. Dia merasa harus berjuang juga demi masa depan anaknya. Sumini membayangkan bagaimana aturan-aturan yang mencekik buruh saat ini bakal mencekik juga anaknya ketika sudah memasuki usia kerja.
“Supaya sistem kontrak dihapus, (ditetapkan) upah layak, tidak hanya untuk saya sendiri, tapi untuk semuanya,” ujarnya.
Meski hanya lulusan pendidikan menengah, Sumini tidak kehabisan semangat dan kesadaran untuk terus memperjuangkan hak-haknya. Dia sudah membulatkan niat untuk terus melawan. Sebagai buruh, sebagai perempuan.